Pemilu 2024 Jangan Digembar-gembor, Ekonomi Indonesia Berpotensi Acak-acakan Setelahnya
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Belajar dari pemilu-pemilu sebelumnya, Pemilu 2024 juga akan memengaruhi dinamika perekonomian Indonesia. Bahkan, dinamikanya sudah terpolakan. Seperti apa bentuknya?
Ekonomi Indonesia pada 2024 berpotensi kalang kabut. Sebab di tengah tekanan ekonomi global, belanja fiskal untuk mendorong laju perekonomian minim, selain belanja untuk Pemilu atau Pilpres 2024.
Kementerian yang memegang anggaran terbesar pada 2024 pun di antaranya Kementerian PUPR sebesar Rp147,37 triliun, diikuti Kementerian Pertahanan Rp139,27 triliun, dan Polri 117,41 triliun. Kemendikbud Ristek hanya Rp98,99 triliun, Kemenkes Rp98,99 triliun, dan Kemensos Rp79,21 triliun.
Khusus untuk Pemilu 2024, Kementerian Keuangan menganggarkan Rp38 triliun sendiri. Khusus tahun ini disiapkan anggaran sebesar Rp30,1 triliun untuk persiapan Pemilu 2024. Anggaran itu dibagikan ke 16 kementerian/lembaga, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
"Di antara daftar belanja fiskal pemerintah yang panjang, tampaknya tidak ada satupun yang diperkirakan akan meningkatkan perekonomian secara signifikan selain belanja terkait pemilu," dikutip dari The Focal Point BCA, Selasa (5/12/2023).
Tim ekonom BCA menilai, antisipasi terhadap pemilu sering kali mengarah pada tren peningkatan kontribusi belanja pemerintah kolektif terhadap angka pertumbuhan PDB dari beberapa kuartal sebelumnya, sementara pola yang sama juga terlihat pada belanja konsumsi lembaga non profit dengan memanasnya kampanye politik.
"Lonjakan belanja ini, akan merembes ke masyarakat luas terutama segmen berpendapatan rendah, sehingga meningkatkan daya beli mereka dan meningkatkan tingkat permintaan agregat di seluruh perekonomian," tulis BCA.
Pengamatan tim ekonom BCA terhadap kondisi likuiditas dalam negeri juga menunjukkan adanya keterkaitan antara situasi likuiditas sektor swasta dan siklus fiskal pemerintah terkait penyelenggaraan pemilu yang sedang berlangsung.
Namun, mereka menganggap, dampak belanja pemilu itu tak akan berlangsung lama setelah berakhirnya penyelenggaraan kontestasi, ada masalah lebih besar dalam jangka panjang yang bisa menekan kondisi ekonomi pada 2024 dan harus diantisipasi pemerintah, seperti dampak el-nino.
"Kekhawatiran pertama kami adalah mengenai daya tahan belanja terkait pemilu setelah pemilu. Pengaruh belanja terkait pemilu terhadap angka pertumbuhan PDB sering kali menghilang segera setelah puncak musim kampanye, sehingga membatasi peningkatan efek pemilu menjadi hanya dua atau tiga perempat," ucap Tim Ekonom BCA.
Oleh karena itu, dampak positif pertumbuhan dari siklus pemilu yang sedang berlangsung menurut mereka mungkin akan berlangsung hanya hingga paruh pertama 2023, sehingga prospek permintaan agregat domestik pada paruh kedua tahun depan tidak memiliki stimulus yang terlihat dari sektor publik.
Apalagi masa kampanye pada kalender pemilu 2023-2024 yang pendek menurut mereka dapat menambah pukulan terhadap daya tahan belanja terkait pemilu.
Meskipun, masa kampanye yang berkepanjangan tentu mempunyai risiko tersendiri menambah ketidakpastian politik seputar perekonomian Indonesia, yang dapat berdampak negatif terhadap persepsi investor terhadap Indonesia dan risiko-risiko lainnya.
"Periode kampanye yang lebih pendek mungkin membatasi dampak pemilu terhadap masyarakat berpendapatan menengah ke bawah, mengingat belanja terkait pemilu lebih relevan bagi rumah tangga di segmen bawah," menurut tim ekonom BCA. (*)