Merdeka! Ribuan Korporasi Sawit di Kawasan Hutan Dapat Pengampunan Negara, Proses Penetapan Denda Tertutup
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera akan memberikan pengampunan terhadap ribuan korporasi kelapa sawit yang mengelola kawasan hutan secara ilegal. Kebijakan yang populer disebut 'pemutihan' itu akan menyasar lebih dari 1.000 perusahaan sawit di Indonesia.
Direktur Jenderal Plantologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Hanif Faisol Nurofiq menyatakan, tidak akan ada pencabutan izin terhadap perusahaan yang mengikuti prosedur sesuai Undang-undang Cipta Kerja
“Lebih dari 1.000 perusahaan kalau data nasionalnya (yang masuk daftar pemutihan). Enggak ada (yang dicabut izinnya),” kata Hanif Faisol Nurofiq dilansir cnnindonesia, Rabu (22/11/2023).
Hanif menjelaskan ribuan perusahaan itu telah diberi waktu untuk memenuhi persyaratan administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 110A Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker).
BERITA TERKAIT: Dokter Minta Luhut Panjaitan Kurangi Beban Kerja, Bagaimana Nasib Satgas Kelapa Sawit dan Cuan Negara Rp 50 Triliun?
Dalam Pasal 110 a UU Ciptaker dikatakan, "perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan, tapi memiliki perizinan berusaha, maka dapat terus berkegiatan asalkan melengkapi semua persyaratan dalam kurun waktu maksimal tiga tahun". Sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, prosedur penyelesaian keterlanjuran penggunaan kawasan hutan ilegal berakhir pada 2 November 2023 lalu.
Hanif menyebut jika perusahaan sawit ilegal itu tidak melengkapi administrasi, maka akan dikenakan denda.
Mekanisme pengenaan denda diatur dalam aturan turunan UU Ciptaker yakni Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Namun demikian, Hanif menegaskan aturan pemutihan itu tidak berlaku untuk perusahaan yang berada dalam kawasan hutan konservasi.
"Jadi semuanya diselesaikan, jadi ada kepastian, kecuali di area konservasi itu enggak boleh, dia harus keluar," ujarnya.
Tuntut Transparansi
Sebelumnya, transparansi pengenaan denda kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan telah digugat oleh publik. Hingga berakhirnya batas waktu penerapan skema penyelesaian keterlanjuran kebun sawit dalam kawasan 'terlarang' berdasarkan UU Cipta Kerja per 2 November kemarin, hingga kini akses publik dalam mengawal perkembangan penerapan denda masih sangat tertutup.
"Kami melihat bahwa proses penyelesaian sawit dalam kawasan sangat tertutup dan tidak transparan. Publik tidak diberikan informasi yang cukup untuk mengetahui sejauh mana perkembangan proses ini dalam peran masyarakat sipil melakukan mengawasi atas proses yang berlangsung," kata Achmad Surambo dalam siaran pers bersama Sawit Watch, Indonesian Human Right Committee For Social Justice (IHCS) dan Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA) diterima SabangMerauke News, Jumat (3/11/2023) lalu.
Menurut Surambo yang merupakan Direktur Eksekutif Sawit Watch, sejak awal, Surat Keputusan (SK) yang diteken Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya terkait daftar data informasi subjek hukum menguasai hutan tanpa izin, khususnya kebun sawit dalam kawasan hutan lewat jalur penyelesaian Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja, tidak dapat diakses oleh publik.
Kelompoknya juga menolak keras proses pemutihan sawit di dalam kawasan hutan. Alasannya, kebijakan tersebut dapat menjadi celah bagi perusahaan melakukan pelanggaran serupa di masa depan.
"Proses pemutihan usaha perkebunan sawit di kawasan hutan dapat menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum yang menciptakan dampak tambahan terkait penyelesaian permasalahan tanah masyarakat di kawasan hutan. Harusnya proses penyelesaian melalui mekanisme yang diatur dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (UU P3H) dapat dilanjutkan," kata Surambo.
Ia menjelaskan, pada September 2023 lalu, pihaknya telah mendaftarkan gugatan uji materi pasal pemutihan sawit di dalam kawasan hutan kepada Mahkamah Agung. Gugatan materil ini sebagai upaya memastikan agar perusahaan sawit tidak mengabaikan tanggung jawab atas ketidakpatuhan dan pelanggaran yang dilakukan sejak bertahun-tahun lalu.
"Namun hingga saat ini kami belum mendapat kepastian atau hasil akhir atas gugatan yang kami lakukan tersebut," terangnya.
Denda Lebih dari Rp 50 Triliun
Ahmad Zazali, Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA) mengurai hasil simulasi dan estimasi penghitungan denda administratif berdasarkan kategori Pasal 110B UU Cipta Kerja yang dikeluarkan Kementerian LHK.
Dari simulai tersebut menunjukkan bahwa untuk sawit dalam kawasan hutan seluas 10.000 hektare dengan lama usaha produktif 10 tahun, dan keuntungan bersih per tahun per hektar setara Rp25 juta serta tutupan hutan sebesar 20 persen, maka akan menghasilkan denda sebesar Rp500 miliar.
"Artinya setiap 1 hektare sawit dalam kawasan hutan akan menyetor ke rekening Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor Kehutanan sebesar Rp50 juta. Jika diasumsikan semua perkebunan sawit dalam kawasan hutan milik perusahaan seluas 2,1 juta hektare membayar denda, maka negara seharusnya mendapatkan pendapatan dari PNBP Kehutanan sebesar Rp105 triliun," tegas Zazali.
Jumlah cuan tersebut, belum termasuk denda administratif dari perkebunan milik perorangan, kelompok tani atau koperasi yang luasnya di atas 5 hektare serta denda administratif kategori Pasal 110A UU Cipta Kerja. Besaran perkiraan denda tersebut jauh di atas target Kementerian LHK yang menyebut denda administratif hanya Rp50 triliun.
Zazali menyerukan perlunya publik mengetahui secara pasti sudah berapa banyak pelaku usaha perkebunan sawit yang sudah melakukan pembayaran denda administratif kategori Pasal 110A dan 110B.
"Transparansi dan akuntabilitas dari Kementerian LHK dinantikan publik," katanya.
"Pasca berakhirnya batas waktu penyelesaian sawit dalam kawasan hutan pada 2 November lalu, menjadi menarik untuk kita ketahui langkah apa yang akan ditempuh pemerintah selanjutnya," tambah Surambo.
Ketidakpastian Hukum
Penasehat Senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS), Gunawan menjelaskan, kebijakan pemutihan sawit dalam kawasan hutan menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum yang menciptakan dampak tambahan terkait penyelesaian permasalahan tanah masyarakat di kawasan hutan.
Seharusnya pengakuan hak atas tanah masyarakat dan reforma agraria tidak merujuk pada aturan tentang perizinan berusaha sebagaimana diatur di dalam UU Cipta Kerja dan aturan pelaksananya yang justru menghambat pencapaian reforma agraria dan peremajaan sawit rakyat.
Guna mengejar pencapaian perkebunan sawit berkelanjutan perlu didukung dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dengan melibatkan partisipasi publik secara lebih bermakna yang akan menciptakan transformasi sawit.
"Perusahaan perkebunan tidak lagi ekspansi lahan ke kawasan hutan, melainkan percepatan penganekaragaman produk olahan sawit,” kata Gunawan. (R-03)