Aneh! Kementerian Perindustrian Tak Kompak dengan Kementerian ESDM Soal Aturan Perdagangan Karbon, Ini Persoalannya
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Perdagangan karbon yang diatur berdasarkan ketetapan di bidang lingkungan hidup, masih membuat beberapa pihak berbeda pendapat. Salah satunya Kementerian Perindustrian.
Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kemenperin Andi Rizaldi menegaskan pihaknya tak setuju dengan usul pasal 7b RUU EBT dari pemerintah. Usul ini disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif.
"Akan tetapi, Kemenperin belum sepenuhnya menyetujui usulan ini terutama di dalam (pasal 7b) ayat 3 yang berbunyi 'Pelaksanaan mekanisme perdagangan karbon dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup'. Ini berpotensi terutama terkait dengan regulasi yang mengatur penggunaan produk dalam negeri," katanya dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI di Jakarta Pusat, Senin (20/11/2023).
"Jadi, kami mengusulkan kalimatnya 'Pelaksanaan mekanisme perdagangan karbon dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan'. Iya (tidak pakai bidang lingkungan hidup)," sambung Andi.
Kemenperin menyebut proyek EBT memakan dana cukup besar. Oleh karena itu, Andi mendesak seluruh pendanaan transisi energi harus memperhatikan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
Berbeda, Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Alue Dohong mengapresiasi apa yang disampaikan Menteri ESDM Arifin Tasrif. Ia menilai penggunaan energi baru terbarukan (EBT) memang perlu dimasukkan dalam nilai ekonomi karbon.
Alue menyebut Indonesia sudah berkomitmen menjalankan transisi energi dalam Paris Agreement. Ini dituangkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC).
"Kita sampaikan akan kurangi emisi 31,89 persen pada 2030 dengan upaya sendiri atau ekuivalen 915 juta ton CO2. Kalau adanya dukungan internasional, komitmen kita 43,20 persen atau 1,24 miliar ton pada 2030," jelas Alue.
Ia mengatakan sektor kehutanan dan energi menjadi tulang punggung utama mencapai target NDC. Alue menyebut 31,89 persen emisi itu ada 12,5 persen atau 358 juta ton dari sektor energi.
Kemudian, dari 358 juta ton emisi tersebut perlu ditekan sebesar 181,45 juta ton dari sektor EBT.
"Jadi, dengan masuknya ini ke dalam RUU EBT maka insentif karbonnya bisa kita manfaatkan. Di samping kita memperoleh energi bersih yang tidak kotor, kita juga bisa memperoleh additional financial lewat perdagangan karbon. Bisa lewat perdagangan emisi, offset emisi, atau pungutan atas karbon," tuturnya.
Komisi VII DPR RI pun tampak heran dengan sikap pemerintah yang belum satu suara. Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto berkelakar dan mengira yang tidak harmonis hanyalah DPR.
Akan tetapi, Menteri ESDM Arifin Tasrif menepis bahwa pemerintah tidak kompak. Ia menyebut pihaknya sudah berkoordinasi sebelum raker ini.
"Kami mohon maaf. Sebetulnya kami menganggap bahwa harmonisasi sudah selesai sehingga dari pihak pemerintah sudah satu suara. Jadi, kita selalu mengikuti semua mekanisme yang ada. Kalau memang ada masalah di antara kita, diselesaikan internal," jawab Arifin.
"Niat kami baik sekali untuk TKDN. Cuma kita harus mengukur kapasitas dan kemampuan sendiri, jangan sampai TKDN menjadi hambatan dan high cost. Perlu kita roadmap masing-masing industri untuk TKDN kapan saja. Itu yang perlu kami ingatkan," sambungnya soal TKDN yang dikeluhkan Kemenperin. (*)