PLTU Gamang di Lumbung Limbah Cangkang Kelapa Sawit: Kok Pemerintah Tak Tetapkan DMO Seperti Batu Bara?
SABANGMERAUKE NEWS - Kampanye jorjoran transisi energi riuh bersahut-sahutan. Isu ini bahkan menjadi bahan jualan para capres 2024.
Wacana melakukan pensiun dini alias suntik mati Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara mengemuka. Pemerintah tahun ini bahkan telah menargetkan satu PLTU kapasitas besar akan disuntik mati.
Langkah suntik mati PLTU batu bara ini tampaknya sekadar upaya pemerintah untuk menunjukkan keseriusan atas makin beratnya upaya pengendalian perubahan iklim yang konsisten terus berlangsung. Maklum, isu perubahan iklim kian kencang menjadi sorotan global.
Jalan transisi energi pun didengungkan. Langkah penggunaan energi baru terbarukan (EBT) telah dimulai. Penerapan co-firing biomassa pun mulai berjalan, tapi belum memberikan signifikansi yang besar.
Tampaknya, transisi energi dengan menggunakan co-firing biomassa ini terkesan setengah hati. Tidak ada terobosan kebijakan yang diambil pemerintah untuk memastikan ketersediaam stok biomassa bisa diperoleh secara berkelanjutan dan tentunya juga dengan harga terjangkau.
Mari kita lihat soal akses PLTU terhadap limbah cangkang kelapa sawit (palm kernel shell) yang disebut-sebut memiliki potensi besar sebagai bahan co-firing pada PLTU yang selama ini masih bertumpu pada batu bara.
Kesenjangan harga yang tajam antara batu bara dengan limbah cangkang kelapa sawit begitu terjal. Akibatnya, PLTU kesulitan mengakses limbah cangkang sawit sebagai bahan co-firing PLTU. Jika dipaksakan, pasti PLTU tekor sangat dalam.
Sudah ada buktinya. Pada Juni 2022 lalu, PLN sukses melakukan ujicoba 100 penggunaan co-firing cangkang sawit pada PLTU kapasitas 2x7 megawatt (MW) di Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Hasilnya sangat positif.
Namun, terkesan hanya sebagai ujicoba belaka, co-firing menggunakan cangkang sawit di PLTU Tembilahan tidak berlanjut.
PLTU batu bara hari-hari ini kian gamang. Berada di tengah hamparan belasan juta hektare kebun kelapa sawit yang menghasilkan limbah cangkang, namun tak berdaya mengaksesnya dengan harga terjangkau.
"PLTU gamang di lumbung limbah cangkang," demikian kata seorang teman yang concern pada isu co-firing biomassa.
Cangkang kelapa sawit berdasarkan sejumlah riset memiliki kadar sulfur yang lebih rendah dibanding batu bara sehingga emisi yang dihasilkan juga menunjukkan penurunan efektif. Adapun cangkang yang digunakan berasal dari limbah perkebunan, rendah abu dan termasuk sebagai karbon netral, sehingga akan berimbas kepada lingkungan yang lebih baik.
Kini, para pedagang (eksportir) cangkang kelapa sawit berpesta pora. Sementara, PLTU kewalahan untuk mendapatkannya di tengah tuntutan arus besar transisi energi ramah lingkungan dan energi hijau (green energy).
Dengan asumsi luasan kebun kelapa sawit di Indonesia mencapai 16 juta hektare lebih, diperkirakan potensi limbah cangkang bisa mencapai 10 juta ton per tahun.
Produksi cangkang kelapa sawit dari satu ton TBS kelapa sawit diperkirakan mampu menghasilkan limbah cangkang kisaran 6 hingga 7 persen. Apabila dikalkulasikan dengan berat cangkang per 1 ton TBS kelapa sawit, maka didapatkan kisaran 144 kilogram setiap ton-nya.
Adapun harga rata-rata cangkang kelapa sawit saat ini diperkirakan mencapai 105 Dollar US per ton. Tentu saja, harga tersebut tak bisa 'dimakan' oleh PLTU, kecuali memang ingin dibuat rugi.
Sejauh ini, keberadaan cangkang sawit yang sebenarnya merupakan limbah industri kelapa sawit banyak diekspor ke luar negeri, utamanya ke Jepang. Di Negeri Sakura ini, cangkang sawit dijadikan bahan baku pembangkit listrik yang cenderung lebih ramah lingkungan. Negara ini konsisten dengan penggunaan sumber energi ramah lingkungan.
Justru sebaliknya, Kementerian Perdagangan RI sangat aktif berkampanye kepada pengusaha Jepang untuk ramai-ramai membeli cangkang sawit dari Indonesia, khususnya Riau. Tampaknya, mimpi mewujudkan energi ramah lingkungan ini belum menjadi isu bersama di tataran kementerian.
Lantas, mengapa pemerintah tak kunjung mengambil terobosan kebijakan agar PLTU bisa mendapatkan akses limbah cangkang sawit dengan harga relatif murah secara berkelanjutan?
Tentu saja pertanyaan itu patut diajukan. Soalnya, pemerintah sebelumnya telah meneken kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) untuk komoditi batu bara dan minyak kelapa sawit (CPO).
Tapi, mengapa untuk limbah cangkang sawit pemerintah tidak menetapkan DMO? Padahal, kebijakan ini sangat dinantikan oleh PLTU, jika memang konsisten pada agenda transisi energi.
Mengapa untuk barang sekelas limbah industri kelapa sawit yakni cangkang saja negara terkesan tak berkuku menunjukkan kedaulatannya?
Kok industri sawit mengembat sampai ke limbah-limbahnya, ya? (*)