Skandal Berjamaah Dugaan Fee Ilegal Bank Riau Kepri dari PT GRM dan Jamkrida, Sekdaprov Riau Cuma Bilang Begini
SabangMerauke News, Pekanbaru - Pemerintah Provinsi Riau belum memberikan pernyataan substantif ikhwal dugaan skandal fee asuransi yang diterima puluhan kepala cabang Bank Riau Kepri (BRK) dari broker PT Global Risk Management (GRM) dan PT Penjaminan Kredit Daerah (Jamkrida) Riau. Sebagai pemegang saham terbesar, Gubernur Riau belum memberikan pernyataan tentang langkah koreksi terhadap perbankan milik daerah tersebut.
SabangMerauke News mencoba untuk meminta pernyataan dari Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Riau, SF Hariyanto. Namun Hariyanto juga tidak memberikan pernyataan yang konkret. Sebaliknya ia meminta agar ditanyakan langsung ke manajemen BRK.
"Belum tahu saya dinda, silahkan koordinasi dengan Direktur Bank Riau Kepri," terang SF Hariyanto singkat lewat pesan WhatsApp, Minggu (13/2/2022) kemarin.
BERITA TERKAIT: Beredar Daftar Kepala Cabang Bank Riau Kepri Diduga Penerima Suap Fee Ilegal dari Broker PT GRM
SabangMerauke News sejak beberapa waktu lalu juga sudah mengonfirmasi Gubernur Riau, Syamsuar soal skandal dugaan kode etik dan hukum perbankan yang melilit BRK. Namun, Syamsuar tak kunjung menjawab pesan konfirmasi yang telah dilayangkan.
Sebelumnya, Gubernur Riau, Syamsuar dinilai tidak memiliki keseriusan dalam membenahi kondisi internal perilaku pejabat dan pegawai Bank Riau Kepri (BRK). Meski skandal berjamaah dugaan fee ilegal asuransi kredit dari PT Global Risk Management (GRM) dan dugaan penerimaan gelap dari rekanan BRK lainnya telah mencuat kencang ke publik, namun langkah-langkah koreksi dan pembersihan oknum-oknum diduga pelanggar kode etik perbankan dan hukum tidak kunjung dilakukan.
BERITA TERKAIT: Gubernur Syamsuar Dinilai Tak Serius Benahi Masalah Krusial di Bank Riau Kepri: Skandal Fee Ilegal dari Broker GRM Terkesan Dibiarkan!
"Kami menilai Gubernur Riau tidak menggunakan kewenangannya membereskan persoalan krusial di tubuh Bank Riau Kepri. Tidak terlihat keseriusannya. Padahal, isu ini bahkan telah menjadi fakta hukum, telah lama bergulir di publik," kata Direktur Eksekutif Formasi Riau, Dr Muhammad Nurul Huda SH, MH kepada SabangMerauke News, Selasa (25/1/2022) siang tadi lalu.
Nurul Huda menjelaskan, Gubernur Riau sebagai representasi pemegang saham terbesar di BRK seharusnya melakukan perombakan manajemen secara transparan dan tegas. Kasus-kasus yang terjadi di BRK selama ini menjadi potret dan bahan evaluasi bagi Gubernur Riau untuk membersihkan oknum-oknum nakal di tubuh BRK.
BERITA TERKAIT: Lapor Pak Kapolda! Skandal Berjamaah Dugaan Suap Fee Ilegal Asuransi Kredit Bank Riau Kepri dari Broker GRM Belum Tuntas, Tolong Diselesaikan
"Jangan sampai publik melihat terkesan adanya pembiaran. Ini akan sangat buruk di mata publik. Gubernur Riau terkesan diam terhadap persoalan-persoalan krusial di tubuh BRK yang terjadi saat ini," tegas Nurul Huda yang merupakan dosen Fakultas Hukum kampus terkemuka di Riau ini.
Seharusnya kata Nurul Huda, Gubernur selaku pemegang saham terbesar di BRK memerintahkan dilakukannya pemeriksaan secara independen dan kredibel terhadap manajemen BRK yang diduga telah melanggar kode etik. Baik dari unsur direksi maupun kepala cabang dan pegawai lain yang terlibat dalam skandal fee ilegal asuransi kredit dari broker PT Global Risk Management (GRM).
BERITA TERKAIT: Kejaksaan Diminta Ambil Alih Proses Hukum Skandal Fee Ilegal Asuransi Kredit Bank Riau Kepri, Pakar Pidana: Usut Dugaan Tipikor!
"Bahkan seharusnya mereka yang diduga kuat terlibat harus dicopot, bukan sebaliknya dibiarkan bercokol di BRK dan menikmati jabatan serta fasilitas. Jadi, masalah sebenarnya ada pada Gubernur, karena dia adalah pemegang saham terbesar di BRK namun terkesan tidak melakukan perbaikan," tegas Nurul.
Nurul khawatir, tindakan pembiaran ini akan semakin merusak citra BRK di depan publik dan stakeholder lainnya. Apalagi saat ini BRK disebut-sebut sedang berada di ambang pintu konversi menjadi bank syariah.
BERITA TERKAIT: 'Tumbalkan' 3 Kepala Cabang, Bank Riau Kepri Justru Tetapkan Perusahaan Pemberi Fee Ilegal Jadi Pialang Tunggal, Formasi: Ini Sudah Mainan Atas!
"Ini akan jadi beban besar jika tak dituntaskan. Bisa semakin merusak citra BRK yang katanya akan jadi bank syariah. Oknum-oknum yang diduga kuat pelanggar kode etik perbankan dan hukum harus dicopot dan diganti," pungkas Nurul.
Kalangan aktivis hukum juga telah meminta agar Kapolda Riau, Irjen (Pol) Muhammad Iqbal menuntaskan kasus skandal berjamaah dugaan suap fee ilegal asuransi kredit Bank Riau Kepri (BRK) dari broker PT Global Risk Management (GRM).
BERITA TERKAIT: Desak Suntikan Modal untuk Bank Riau Kepri dan Jamkrida Dibatalkan, ASPEMARI Singgung Kredit Fiktif dan Kongkalikong
Fakta-fakta persidangan mengungkap terang benderang bahwa pemberian fee ilegal secara berkelanjutan tersebut, tidak hanya diterima oleh 3 kepala cabang/ cabang pembantu BRK. Namun, seluruh kepala cabang dan pemimpin operasional BRK yang menjadi mitra PT GRM saat itu juga mendapatkannya.
Kepada Yang Terhormat, Pak Kapolda Riau diharapkan memberi atensi dalam penuntasan kasus ini. Kami percaya Bapak Irjen Pol Muhammad Iqbal akan bisa menuntaskannya, agar tidak menjadi ganjalan dan opini negatif terhadap penegakan hukum yang tuntas dan berkeadilan. Ini akan menjadi prestasi Pak Jenderal di awal menjabat sebagai Kapolda Riau," kata aktivis Rumah Keadilan Riau, Charles Christian SH kepada SabangMerauke News, Sabtu (29/1/2022) lalu.
Charles menjelaskan, fakta persidangan dan putusan terhadap tiga mantan kepala cabang BRK yang sudah divonis menjadi petunjuk berharga yang harusnya ditindaklanjuti. Menurutnya, penghukuman kepada ketiga terdakwa menjadi tidak adil manakala puluhan aktor-aktor lain yang diduga kuat menerima aliran fee ilegal masih bebas dan tetap menjabat di BRK.
"Kasus ini harusnya menjadi pembelajaran bagi perbankan, apalagi BUMD yakni Bank Riau Kepri. Kami berharap Pak Kapolda Riau bisa mengusut tuntas keterlibatan orang-orang yang menerima dan pihak-pihak terkait," kata Charles yang aktif di LBH Visi Keadilan Nusantara ini.
Pejabat Humas BRK, Dwi menyatakan kalau etiap tahun seluruh pegawai menandatangani pakta integritas sebagai bentuk berkomitmen untuk menghindari pelanggaran perbankan. Ia mengklaim apabila terjadi fraud yang dilakukan pegawai BRK, sanksi yang diberikan dapat berupa surat peringatan sampai pemberhentian dengan tidak hormat.
"Kita (BRK, red) memiliki whistleblowing system di website bank. Ini merupakan sarana pelaporan bila adanya indikasi pelanggaran dari pegawai dan dijamin kerahasiaannya," kata Dwi dalam keterangan tertulis, Minggu kemarin.
Hanya saja, saat ditanyakan sudah berapa pegawai pimpinan operasional yang dijatuhkan sanksi dalam kasus fee asuransi kredit BRK dari broker PT GRM dan PT Jamkrida Riau, Dwi tidak lagi memberikan penjelasan.
Tiga Kepala Cabang BRK Divonis Pengadilan
Dalam kasus fee ilegal asuransi tersebut, tiga mantan kepala cabang BRK telah dijatuhi vonis bersalah hukuman 2,5 penjara oleh PN Pekanbaru dan Pengadilan Tinggi Pekanbaru.
Ketiga terdakwa tersebut yakni Hefrizal yang merupakan mantan kepala cabang pembantu BRK Senapelan dan juga mantan kepala cabang BRK Taluk Kuantan. Kemudian terdakwa Mayjafri yang merupakan mantan kepala cabang BRK Tembilahan serta Nur Cahya Agung Nugraha mantan kepala cabang pembantu BRK Bagan Batu, Rokan Hilir.
Ketiga terdakwa menerima uang fee secara ilegal secara rutin berkelanjutan tiap bulan dari Kepala Cabang PT GRM Perwakilan Riau, Dicky Vera Soebasdianto sejak 2018-2020 lalu. Jumlah fee berdasarkan produksi premi kantor cabang yakni 10 persen dari premi yang angkanya mencapai ratusan juta. Penyerahan uang dilakukan lewat nomor rekening yang dibuka oleh Dicky atas nama dirinya. Namun kartu ATM dan buku tabungan diserahkan Dicky kepada ketiga kepala cabang BRK tersebut.
Fakta persidangan yang lebih mengagetkan, ternyata pemberian fee ilegal tidak saja diterima oleh ketiga terdakwa. Dicky dalam kesaksiannya di bawah sumpah menyebut kalau seluruh kepala cabang yang menjadi mitra GRM telah menerima fee yang sama polanya dengan ketiga terdakwa. Jumlahnya mencapai 40 kantor cabang/ cabang pembantu dan kedai BRK di Riau dan Kepulauan Riau. Ada sekitar 50 orang pejabat operasional BRK yang diduga menerima dari GRM.
Seorang penyidik dari Ditreskrimsus Polda Riau yang bersaksi di persidangan tak membantah keterangan Dicky tersebut. Seluruh data produksi asuransi kredit sudah dipegang penyidik yakni lewat sistem Smart Credit milik PT GRM. Hanya saja saat itu, sang penyidik mengaku kalau berkas 3 terdakwa yang masih lengkap sehingga naik ke penyidikan.
Kesaksian terdakwa juga menyebut kalau pemberian fee tidak saja dari GRM. Namun juga dari broker lain yang digandeng oleh BRK. Saat itu, BRK menggandeng 4 broker asuransi, termasuk GRM.
Adapun kerjasama dengan broker ini terjadi sejak Dirut BRK dijabat oleh Irvan Gustari dan berlanjut di era dirut BRK yang menjabat saat ini, Andi Buchari. Pengikatan kerja sama antara BRK dengan PT GRM diteken oleh Irvan Gustari dan Dirut PT GRM, Rinaldi Anwar Buyung.
Rinaldi Anwar Buyung sudah diperiksa di pengadilan. Ia membantah kalau pemberian fee sebagai kebijakan perusahaan dan menuduh pemberian uang sebagai inisitif dari Dicky.
Namun bantahan tersebut tidak berkesesuaian dengan adanya surat perjanjian antara Rinaldi dan Dicky soal pemberian uang yang disebut sebagai 'fee marketing' kepada kepala cabang BRK yang menjadi mitra GRM. Dicky menegaskan kalau bosnya Rinaldi tahu dan menyetujui pemberian secara ilegal uang itu.
Ironisnya, meski sudah menyebabkan 3 kepala cabang BRK dipenjara, namun pihak BRK masih menggunakan PT GRM sebagai mitra broker asuransi kredit. Bahkan, pada 1 Oktober 2021 lalu, PT GRM ditunjuk oleh BRK sebagai broker tunggal, menyisihkan 3 broker lainnya.
Hal itu diketahui dari surat yang diteken Kepala Divisi Konsumer BRK, Imran pada 27 September 2021 lalu ditujukan kepada seluruh kepala cabang BRK. Imran sendiri merupakan mantan kepala cabang BRK Bangkinang, Kampar.
Pihak BRK sejak kasus ini terungkap tidak pernah memberikan penjelasan dan klarifikasi tentang dugaan penyimpangan sistemik dalam tata kelola asuransi kredit di bank plat merah ini.
Kasus ini sejak awal disidik oleh Polda Riau saat Kapolda dijabat oleh Irjen Pol Agung Imam Setya Effendi yang sudah pindah menjadi Asisten Operasional Kapolri. Penyidikan menggunakan pasal kejahatan tindak pidana perbankan, meski dalam persidangan saksi ahli menyebut kuat dugaan perbuatan tersebut merupakan suap atau gratifikasi (tipikor). (*)