Kapal Keruk Pasir PT Logomas Utama di Pulau Rupat Ditangkap Kementerian Kelautan Perikanan RI
SabangMerauke News, Pekanbaru - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menghentikan aktivitas kapal keruk pasir PT Logomas Utama (LMU) di kawasan Pulau Rupat, Bengkalis. Keberadaan kapal tambang pasir ini sudah lama dikeluhkan masyarakat setempat dan ditentang oleh Walhi Riau.
KKP mengerahkan Kapal Pengawas Hiu 01 untuk menghentikan kapal keruk perusahaan PT Logomas Utama tersebut.
"Untuk memastikan tidak ada kerusakan lebih lanjut akibat kegiatan yang melanggar hukum," kata Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin dalam keterangan tertulis kepada media, Minggu (14/2/2022).
Adin menjelaskan, berdasarkan pengumpulan bahan dan keterangan yang telah dilakukan, kegiatan penambangan yang dilakukan oleh PT LMU tidak dilengkapi dengan izin PKKPRL yang menjadi salah satu persyaratan mutlak dalam pengelolaan ruang laut.
Ia menambahkan, Pulau Rupat merupakan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT). Sehingga izin pemanfaatannya seharusnya dari Pemerintah Pusat.
"Berdasarkan hasil pengumpulan bahan keterangan dan koordinasi yang dilaksanakan oleh jajaran kami, ditemukan dugaan pelanggaran bahwa kegiatan pengerukan pasir yang dilakukan tidak memiliki dokumen PKKPRL. Kegiatan ini diduga menimbulkan abrasi yang mengakibatkan kerusakan terumbu karang dan juga kerusakan padang lamun," terang Adin.
PT Logomas Utama selanjutnya akan diselidiki sesuai aturan hukum.
"Apabila terbukti maka sanksi pidana pasal 35 huruf i juncto pasal 73 ayat (1) huruf d Undang-undang nomor 27 tahun 2007 dan sanksi administratif berdasarkan PP No.5/2021 juncto PP No.85/20221 akan dikenakan," tegasnya.
Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendesak Gubernur Riau mengevaluasi total legalitas perizinan perusahaan tambang pasir PT Logo Mas Utama (LMU) yang beroperasi di kawasan Pulau Rupat. Eksploitasi berlebihan terhadap kawasan laut dan daratan menyebabkan Pulau Rupat terancam tenggelam.
Walhi Riau menilai, tambang pasir PT LMU membuat ekonomi masyarakat Rupat mengalami tekanan disebabkan tangkapan ikan yang berkurang drastis. Kegiatan penambangan yang dilakukan oleh PT Logo Mas Utama (PT LMU) di laut pesisir utara Pulau Rupat sejak 2021 juga telah merusak ekosistem laut.
“Aktivitas penambangan pasir PT LMU merusak biota laut. Terumbu karang dan habitat dugong turut rusak, bahkan aktivitas tambang memperparah abrasi di Pulau Beting Aceh, Pulau Babi dan seluruh Pulau Rupat Utara. Bagian utara Pulau Rupat terancam tenggelam," kata Direktur Eksekutif Walhi Riau, Even Sembiring, Sabtu (15/1/2022) lalu.
Evan menjelaskan hasil investigasi Walhi Riau sinkron dengan sikap penolakan warga dua desa di Pulau Rupat yang menyampaikan keberadaan PT LMU mendapat penolakan dari para nelayan. Bahkan, aktivitas penambangan pasir yang dilakukan PT LMU tidak hanya berdampak pada nelayan di Pulau Rupat saja, akan tetapi nelayan dari Kota Dumai dan Kabupaten Rokan Hilir juga kehilangan mata pencaharian.
“Aktivitas penambangan pasir PT LMU kontradiktif dengan semangat mengembangkan pariwisata di Pulau Rupat dan gugus pulau kecil lain di sekitarnya. Aktivitas tambang malah merusak destinasi pariwisata tersebut,” tambah Even Sembiring.
Even menjelaskan penolakan yang dilakukan warga berhasil menghentikan aktivitas PT LMU. Sejak 24 Desember 2021, perusahaan tersebut tidak lagi melakukan aktivitas tambang di laut pesisir utara Pulau Rupat.
"Terhadap persoalan di Pulau Rupat, Walhi Riau mendesak Gubernur Riau untuk melakukan evaluasi legalitas perizinan PT LMU. Konsesi tambang pasir seluas 5.030 ha di laut Pulau Rupat harus segera dicabut," tegas Even.
Melanggar Undang-undang
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi, Parid Ridwanuddin menjelaskan, Pulau Rupat dengan luas 150.288 hektar atau sekitar 1500 km2 termasuk kategori pulau kecil. Berdasarkan hal tersebut, berbagai konsesi yang dibebankan di atas pulau kecil itu dilarang.
Tambang pasir yang menghancurkan ekosisten Pulau Rupat dan perairan di sekitarnya serta merugikan kehidupan nelayan melanggar Undang-undang nomor 27 tahun 2007 jo Undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil, khususnya pasal 35 huruf (i).
Dalam pasal undang-undang itu disebutkan, “Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang: melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.”
Lebih lanjut, kata Parid, berdasarkan pasal 73 Undang-undang nomor 27 tahun 2007 jo UU nomor 1 tahun 2014 disebutkan, "Setiap orang yang sengaja melakukan aktivitas pertambangan pasir dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 2 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar.
61 Persen Daratan Pulau Rupat Dikapling Korporasi
Walhi Riau menyebut aktivitas tambang pasir bukan satu-satunya ancaman terhadap Pulau Rupat. Analisis perizinan yang dilakukan Walhi Riau memperlihatkan 61,7 persen daratan Pulau Rupat telah dikapling untuk kepentingan korporasi.
Paling tidak menurut Walhi Riau, terdapat 7 perusahaan perkebunan dan kehutanan yang beraktivitas di Pulau Rupat. Kondisi ini jelas tidak adil bagi 49.480 jiwa penduduk atau 14.175 kepala keluarga (KK) di Pulau Rupat.
Kementerian/lembaga yang bertanggung jawab untuk urusan kelautan, wilayah pesisir, dan pulau-pulau kecil juga harus turun tangan untuk menyelamatkan Pulau Rupat. Sebagai pulau kecil, keberadaan perizinan perkebunan, kehutanan hingga tambang akan mengancam Pulau Rupat tenggelam. (*)