Sepak Terjang Suhartoyo Ketua MK yang Baru: Sebut UU Cipta Kerja Inkonstitusional, Tolak Gugatan Syarat Capres-Cawapres
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Hakim Suhartoyo terpilih jadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pengganti Anwar Usman. Rapat pemilihan Ketua MK digelar tertutup di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (9/11/2023).
"Yang jadi Ketua Mahkamah Konstitusi ke depan adalah Bapak Suhartoyo. Sementara saya tetap jadi wakil ketua," kata hakim konstitusi Saldi Isra dalam konferensi pers.
Saldi mengatakan keputusan itu disepakati secara musyawarah mufakat oleh hakim konstitusi lainnya.
Suhartoyo menggantikan Anwar Usman yang dicopot dari jabatan Ketua MK melalui putusan Majelis Kehormatan MK.
Anwar dinilai terlibat benturan kepentingan dalam memutus perkara 90 soal syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden.
Sebab, putusan itu membuat Gibran Rakabuming Raka yang merupakan keponakan Anwar bisa melenggang di Pilpres 2024 meskipun belum memenuhi syarat usia minimal 40 tahun di UU Pemilu.
Lewat putusan perkara 90, mahkamah membolehkan seseorang berusia di bawah 40 tahun jadi capres atau cawapres selama berpengalaman jadi kepala daerah yang dipilih melalui pemilu.
Lewat putusan MKMK, selain diberhentikan sebagai Ketua MK, Anwar juga tidak berhak mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK hingga masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir.
Ia juga dilarang terlibat dalam urusan sengketa hasil pemilu dan pilkada yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Profil Suhartoyo
Suhartoyo lahir pada 15 November 1959. Karier hakimnya dimulai dengan menjadi calon hakim di Pengadilan Negeri (PN) Bandar Lampung pada 1986. Setelah itu kariernya malang melintang di dunia peradilan Indonesia. Seperti tugas di PN Curup, PN Tangerang, dan PN Bekasi.
Hingga akhirnya Suhartoyo dipercaya menjadi Ketua PN Jaksel pada 2011 sebelum dipromosikan menjadi hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar pada 2014. Dalam hitungan bulan, Suhartoyo lalu dipilih MA menjadi hakim konstitusi menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi.
Sebagai hakim MK, Suhartoyo ikut mengadili sengketa Pilpres 2019. Selain itu, Suhartoyo terlibat mengadili berbagai judicial review UU yang menarik perhatian masyarakat luas.
Di antaranya judicial review UU Cipta Kerja. Saat itu, Suhartoyo sepakat dengan suara mayoritas bila UU Cipta Kerja tidak memenuhi syarat formil sehingga dibekukan dan harus diperbaiki selama 2 tahun. Suhartoyo satu suara dengan Saldi Isra, Enny Nurbaninigsih, Aswanto, dan Wahiduddin Adams.
Saat menguji perkawinan beda agama di rezim UU Perkawinan, Suhartoyo menolak gugatan tersebut dengan mengajukan concurring opinion. Suhartoyo berharap negara tidak menutup mata atas banyaknya pernikahan beda agama di masyarakat.
Oleh sebab itu, Suhartoyo berharap pemerintah dan DPR merevisi UU Perkawinan guna mengakomodasi fenomena pernikahan beda agama.
"Fenomena perkawinan beda agama tersebut di atas seolah-olah terjadi karena 'kurang atensinya' negara yang tidak mengakui dan menganggap 'tidak sah secara agama' terhadap perkawinan beda agama, karena legalisasi perkawinan menurut hukum sipil hanyalah berupa pencatatan administrasi," kata Suhartoyo dalam concurring opinion putusan nikah beda agama.
Adapun dalam Putusan Nomor 90, yang menguji soal usia syarat capres/cawapres, Suhartoyo memilih tidak menerima gugatan yang diajukan mahasiswa Almaas karena tidak memiliki kerugian konstitusional.
"Juga tidak relevan untuk diberikan kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo, sehingga pertimbangan hukum pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, mutatis mutandis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pertimbangan hukum dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) saya dalam putusan permohonan a quo," ucap Suhartoyo.
"Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, saya berpendapat terhadap permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi seharusnya juga tidak memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada Pemohon dan oleh karenanya tidak ada relevansinya untuk mempertimbangkan pokok permohonan, sehingga dalam amar putusan a quo 'menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima'," sambung Suhartoyo. (*)