Profesor Anggota MKMK Ini Minta Anwar Usman Dipecat, Bukan Cuma Dicopot dari Jabatan Ketua MK, Ini Alasannya
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) perwakilan akademisi, Profesor Bintan Saragih, menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion) terkait putusan MKMK yang memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK.
Bintan menyampaikan, Anwar seharusnya dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat.
"Karena hakim terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat. Sanksi terhadap pelanggaran berat hanya pemberhentian tidak dengan hormat dan tidak ada sanksi lain sebagaimana diatur pada Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi," jelas Bintan pada sidang pembacaan putusan, Selasa (7/11/2023).
Bintan yang sebelumnya mengetuai Dewan Etik MK 2017-2020 menyinggung rekam jejak dan cara berpikirnya sebagai akademisi, yang selalu menilai suatu masalah, peristiwa, keadaan, dan gejala yang ada secara apa adanya.
"Saya berpikir dan berpendapat selalu konsisten sebagai seorang ilmuan atau akademisi," uajr dia.
"Itulah sebabnya dalam memberi putusan pada pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi a quo, saya memberi putusan sesuai aturan yang berlaku, dan tingkat pelanggaran Kode Etik yang terjadi dan terbukti, yaitu sanksi bagi Hakim Terlapor berupa pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Hakim Konstitusi," kata Bintan.
Sebelumnya diberitakan, Anwar Usman diberhentikan dari jabatan sebagai Ketua MK.
Anwar terbukti melakukan pelanggaran kode etik terkait uji materi perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.
Putusan ini diketuk oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dalam sidang pembacaan putusan etik, Selasa (7/11/2023).
“Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan ketua mahkamah konstitusi kepada hakim terlapor,” kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat.
MKMK menyatakan bahwa Anwar terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama prinsip ketakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan.
Dalam putusannya, MKMK juga memerintahkan Wakil Ketua MK, Saldi Isra, memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan MK yang baru dalam waktu 24 jam. Buntut pelanggaran ini, Anwar tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan MK sampai masa jabatannya sebagai hakim konstitusi berakhir.
“Hakim terlapor tidak diperkenankan terlibat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta pemilihan gubernur bupati dan wali kota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan,” tutur Jimly.
Sebagai informasi, dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi ini mengemuka setelah MK yang diketuai ipar Presiden Joko Widodo, Anwar Usman, mengabulkan gugatan terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) pada Senin (16/10/2023) lewat putusan yang kontroversial.
Dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, MK merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.
Putusan ini memberi tiket untuk putra sulung Jokowi yang juga keponakan Anwar, Gibran Rakabuming Raka, untuk melaju pada Pilpres 2024 dalam usia 36 tahun berbekal status Wali Kota Solo yang baru disandangnya 3 tahun.
Gibran pun secara aklamasi disepakati Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto sejak Minggu (22/10/2023) dan telah didaftarkan sebagai bakal capres-cawapres ke KPU RI, Rabu (25/10/2023).
Anwar membantah dirinya terlibat konflik kepentingan dalam memutus perkara ini, meski pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim konstitusi yang tak setuju Putusan 90 itu mengungkap bagaimana keterlibatan Anwar mengubah sikap MK dalam waktu pendek.
Padahal, dalam perkara nomor 90 itu, pemohon bernama Almas Tsaqibbirru, seorang pelajar/mahasiswa kelahiran tahun 2000, mengakui dirinya adalah pengagum Wali Kota Solo yang juga anak sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming.
Almas berharap, Gibran bisa maju pada Pilpres 2024 walaupun usianya belum memenuhi ketentuan minimum 40 tahun.
Total, MK telah menerima secara resmi 21 aduan terkait dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dari putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut.
MKMK membacakan putusan ini sehari sebelum tenggat pengusulan bakal pasangan capres-cawapres pengganti ke KPU RI.
Minta Tak Cawe-cawe
Ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud berharap Anwar Usman tidak cawe-cawe.
"Kami mengharapkan tidak ada cawe-cawe. Harapan kami dengan terbukanya hal ini bisa menjaga. Jadi harapan kami berpikir positif adalah tidak akan ada cawe-cawe," kata Arsjad di Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2023).
Arsjad juga berharap sanksi yang diberikan MKMK terhadap Anwar Usman dilihat sebagai nilai demokrasi. Sebab putusan tersebut menurutnya bukan sebuah putusan biasa.
"Dengan demikian, harapannya teman-teman di sana benar-benar melihat ini sebagai nilai demokrasi yang harus dipegang. Ini bukan suatu keputusan biasa, ini keputusan yang akhirnya mengakibatkan perihal bangsa Indonesia dan ini sangat penting bagi bangsa Indonesia," ujarnya.
"Jadi cawe-cawe itu mestinya punya kesadaran. Tidak ada cawe-cawe, kenapa? Karena ini adalah perihal bangsa Indonesia, nggak bisa main-main ini, perihal yang sangat penting. Jadi ya kami selalu ingin berharap positif tidak mau menuduh atau mengatakan apapun," lanjutnya.
Lebih lanjut Arsjad mengajak semuanya untuk bersama-sama menjaga demokrasi agar tidak ada cawe-cawe. Dia berdoa agar ke depan tidak ada lagi pelanggaran konstitusi yang terjadi.
"Tapi yang ingin kami pastikan bersama-sama, menjaga, kita memastikan bahwa tidak akan terjadi cawe-cawe tersebut. Menjaga konstitusi Indonesia karena ini jerih payah bangsa. Mari bersama-sama memastikan bahwa proses ke depannya tidak akan terjadi hal-hal yang sebelumnya terjadi," imbuhnya. (*)