Boncos Lagi! APBD Meranti 2024 Makin Terpuruk Gara-gara Hilangnya Potensi DBH Rp58 Miliar, Ini Penyebabnya
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Postur APBD Kepulauan Meranti 2024 diprediksi kian terpuruk menyusul terjadinya potensi hilangnya penerimaan daerah dari Dana Bagi Hasil (DBH) sumber daya alam. Boncosnya keuangan kabupaten miskin ekstrem ini, salah satunya lantaran tidak mendapatkan alokasi DBH minyak bumi dari pembagian sama rata dengan daerah lainnya di Riau.
Nasib apes ini kian memperparah derita pundi-pundi keuangan daerah Meranti yang sebelumnya juga gagal mendapatkan jatah DBH kelapa sawit sebesar 20 persen sebagai daerah yang berbatasan dengan penghasil sawit di Riau.
Sekretaris Daerah Kepulauan Meranti, Bambang Suprianto menjelaskan, ketimpangan penerimaan keuangan ini terjadi sebagai dampak dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD).
"Pemkab Meranti tidak mendapatkan DBH minyak bumi sebesar 6,5 persen yang dialokasikan dari DBH sama rata kabupaten/kota di Riau," kata Bambang, Rabu (1/11/2023).
Ia menjelaskan, Pemkab Meranti hanya mendapatkan alokasi DBH migas sebesar 3 persen sebagai daerah penghasil.
Adapun besaran penurunan DBH migas yang diperoleh 2024 mendatang diperkirakan mencapai Rp56 miliar. Di mana pada tahun ini, Kepulauan Meranti menerima DBH migas sebesar Rp115 miliar, namun tahun depan tinggal Rp59 miliar saja.
Secara total, penerimaan DBH yang akan diperoleh Kepulauan Meranti tahun depan hanya tinggal Rp70,4 miliar. Jumlah ini jauh lebih rendah bila dibanding penerimaan DBH 2023 sebesar Rp 128,2 miliar atau selisihnya mencapai Rp58 miliar.
"Penurunan terbesar terjadi pada penerimaan DBH Migas," kata Bambang.
Bambang menerangkan, dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD disebutkan bahwa daerah yang berbatasan dengan daerah penghasil walaupun bukan merupakan daerah penghasil akan mendapatkan bagian DBH.
Sementara, menurut Undang-undang tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Meranti, Negeri Sagu ini tidak tercatat berbatasan dengan kabupaten tetangga, namun berbatasan dengan laut dan selat.
"Kita tidak dapat (DBH) karena daerah kita tidak berbatasan langsung dengan daerah penghasil, hanya dikelilingi laut dan selat. Itu yang membuat pendapatan daerah kita dari DBH menjadi kecil," jelas Bambang.
Konsultasi ke Pusat
Bambang menjelaskan, ekses dari beleid tersebut dinilai merugikan keuangan daerah. Pihaknya sedang menjalin komunikasi intens ke pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Riau berkaitan dengan status daerah yang berbatasan dengan wilayah penghasil.
"Karena inikan kewenangan pusat dan provinsi. Ekses UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD ini imbasnya tak hanya ke DBH kelapa sawit, tapi juga ke jenis DBH sumber daya alam lainnya, termasuk DBH migas," terang Bambang.
Ia menyatakan, terpuruknya penerimaan DBH ini mengharuskan pihaknya melakukan rasionalisasi RAPBD Kepulauan Meranti 2024 secara besar-besaran. Saat ini, RAPBD 2024 masih dalam tahap pembahasan.
“Salah satu langkah yang kami ambil yakni mengurangi belanja hibah. Dulu belanja bantuan hibah diperbanyak, tapi untuk 2024 kita kurangi sedikit sehingga belanja modal dapat kita selaraskan,” ujarnya.
Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) saat ini, kata Bambang, sedang melakukan penyusunan dokumen. Dijadwalkan pekan depan, TAPD akan menyampaikan rancangan Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) RAPBD 2024.
Bambang mengklaim perubahan asumsi besaran DBH tersebut tidak mengganggu secara sigifikan terhadap rencana pembangunan 2024 mendatang.
"Tapi kami harus cermat menyusun mekanismenya. Ini juga hampir rampung draf KUA-PPAS. Pekan ini rencananya akan kita serahkan ke Banggar DPRD," pungkasnya. (R-01)