Kuasa Hukum Petrus Edy Susanto Tegaskan Kliennya Tak Kenal Ribut Susanto: Negara Rusak karena Makelar Proyek!
SabangMerauke News, Pekanbaru - Kuasa hukum Petrus Edy Susanto membantah keras pernyataan Ribut Susanto yang menyebut pernah berkomunikasi dengan kliennya soal proyek jalan Lingkar Pulau Bengkalis. Kesaksian Ribut yang merupakan Ketua Tim Sukses Bupati Bengkalis 2010-2015, Herliyan Saleh dalam persidangan sebelumnya, dinilai hanyalah pengakuan sepihak yang tak berdasar.
"Justru klien kami tidak mengenal sama sekali dengan Ribut Susanto. Seribu persen tidak kenal dengan Ribut Susanto," kata Yakubus Welianto SH, MHum, penasihat hukum Petrus Edy Susanto dalam keterangan tertulisnya kepada SabangMerauke News, Kamis (10/2/2022).
Welianto mengklarifikasi pernyataan Ribut Susanto yang dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Rabu (8/2/2022) lalu mengaku pernah berbicara lewat sambungan telepon dengan Petrus Edy, tahun 2013 silam. Dalam keterangannya pekan lalu saat bersaksi untuk terdakwa I Ketut Suarbawa yang merupakan mantan bos PT Wijaya Karya (Wika), Ribut mengaku meminta agar Petrus mau mengalah tidak mengerjakan proyek jalan lingkar Pulau Bengkalis. Alasan Ribut, karena proyek itu sebelumnya sudah diplot untuk dikerjakan oleh PT Multi Structure.
Dalam persidangan Rabu pekan lalu tersebut, Petrus memang tak memiliki kesempatan untuk membantah keterangan Ribut Susanto. Soalnya, pihak penasihat hukum menolak untuk ikut dalam sidang pemeriksaan saksi-saksi. Alasannya, hari itu juga sidang perdana pembacaan dakwaan untuk Petrus baru digelar, sehingga tim penasihat hukum belum mempersiapkan diri. Seyogianya, Rabu (9/2/2022) kemarin, sidang pemeriksaan saksi untuk Petrus akan digelar namun batal lantaran mertua ketua majelis hakim, Dr Dahlan SH, MH meninggal dunia.
Welianto menegaskan kalau kliennya sama sekali tidak mengenal Ribut Susanto. Pihaknya juga kaget atas keterangan yang disampaikan di bawah sumpah tersebut.
Menurut Welianto, PT Wika-Sumindo joint operation, memenangkan proyek tersebut sesuai prosedur dan tahapan mekanisme lelang yang sah dan legal. Seluruh persyaratan telah terpenuhi, bahkan penawaran perusahaan terbaik dan terendah jauh di bawah pagu anggaran dan penawaran dua perusahaan kompetitor lainnya. Welianto menegaskan kalau kliennya menyarankan kepada PT Wika-Sumindo untuk menawar lelang dengan menurunkan (potong) 7-8 persen dari pagu anggaran.
Dari tiga perusahaan peserta tender, PT Wika-Sumindo joint operation, melakukan penawaran Rp 395,4 miliar dari pagu anggaran Rp 429,9 miliar. Sementara dua perusahaan lain yakni PT Modern Widya dan PT Pembangunan Perumahan menawar masing-masing Rp 401,5 miliar dan Rp 402 miliar.
"Kalau ada dugaan suap, maka tak mungkin klien kami menawar paling rendah. Justru, kami telah melakukan efisiensi keuangan daerah dan negara lewat penawaran terendah dari dua perusahaan lainnya" jelas Welianto.
Ia menegaskan kalau seluruh pekerjaan 100 persen telah tuntas dan pada saat serah terima proyek/ final hand over (FHO) pada Desember 2016 lalu, sama sekali tidak ditemukan adanya penyimpangan.
Menurutnya, dugaan adanya makelar proyek dalam 6 paket anggaran multiyears APBD Bengkalis 2013-2015 telah membuat kekacauan pelaksanaan tender. Tindakan makelar proyek kerap berujung pada permintaan komisi, meski pekerjaan belum dilaksanakan.
"Negara rusak gara-gara ulah para makelar proyek. Ujung-ujungnya minta komisi kepada kontraktor. Kecenderungannya belum kerja tapi kontraktor sudah keluar duit," tegas Welianto seraya berharap ke depannya agar proyek milik pemerintah melibatkan divisi pencegahan KPK dan pelaksanaan tahapan proyek.
Sebelumnya, Rabu (9/2/2022) kemarin di Pengadilan Tipikor, Welianto menilai penjeratan hukum yang dialami oleh kliennya memiliki sejumlah kecacatan hukum. Petrus disebut dipaksakan harus menjalani proses hukum yang tidak adil akibat penerapan hukum yang tidak tepat dan gegabah.
"Klien kami menjadi korban dari penerapan hukum yang tidak adil. Yakni penerapan hukum yang tidak hati-hati dan gegabah sehingga klien kami serta nasib karyawan perusahaan berjumlah ribuan orang yang telah menyumbang pajak hingga ratusan miliar, harus diperlakukan seperti saat ini," kata Welianto.
Welianto menilai penetapan status tersangka terhadap Petrus bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 25/PUU-XIV/2016 yang menguji frasa 'dapat' dalam pasal 2 dan pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tipikor.
Putusan MK tersebut berimplikasi terhadap kerugian negara tidak lagi menjadi delik formil, namun telah bergeser menjadi delik materil. Dengan demikian, kerugian negara tidak lagi berdasarkan potential loss (perkiraan kerugian), melainkan menjadi actual loss (kerugian aktual).
Sementara faktanya kata Welianto, kliennya ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 10 Januari 2020. Padahal, hasil audit dari BPK RI baru terbit hampir dua tahun kemudian yakni pada 24 Desember 2021.
"Coba bayangkan, hampir dua tahun setelah klien saya ditetapkan sebagai tersangka, baru muncul kemudian hasil audit kerugian negara dari BPK. Ini sebenarnya sudah melanggar putusan Mahkamah Konstitusi. Kerugian negara itu haruslah actual loss," jelas Welianto dalam legal opininya.
Ia juga mempertanyakan soal mindset penyidik kasus ini dalam menerapkan pasal Tindak Pidana Korupsi terhadap pekerjaan konstruksi. Padahal, dalam urusan konstruksi sudah diatur dalam Undang-undang nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Menurutnya, dalam kasus ini, penyidik seharusnya tidak hanya bersandar pada UU Tipikor, namun pada ketentuan yang lebih khusus serta juga undang-undang terbaru. Dalam hal ini, Welianto menyitir asas hukum Lex posterior derogat legi priori. Ditambah dengan dengan lahirnya Undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah nuansa dan sistematika dalam bisnis jasa konstruksi.
"Jasa konstruksi sudah masuk dalam ranah investasi, tidak lagi semata jasa konstruksi. Oleh karenanya, jasa konstruksi jangan dihancurkan dengan alibi penegakan hukum yang tidak lurus dengan iklim investasi. Seharusnya, jasa konstruksi dilindungi dan diperkuat agar dapat bersaing dengan kompetitor global dan luar negeri. Agar kontraktor dalam negeri tidak menjadi kuli di negeri sendiri," kata Welianto.
Welianto berharap agar kasus yang menerpa kliennya ini mendapat perhatian khusus dari pemerintahan di bawah komando Presiden Joko Widodo yang saat ini menggalakkan program strategis nasional (PSN). Menurutnya, perlakuan hukum terhadap pelaku usaha jasa konstruksi yang dialami kliennya, telah menyebabkan gangguan serius pada perusahaan dan membuat nasib ribuan tenaga kerja terlantar.
"Kami ingin mengetuk pintu hati Pak Presiden Jokowi. Kalau hal-hal begini terus terjadi, maka usaha jasa konstruksi dalam negeri akan rusak. Padahal semangat positif Presiden Jokowi menumbuhkan daya saing usaha dalam negeri sangat baik. Tapi, kenyataannya hal seperti yang dialami klien kami terjadi," tegas Welianto.
Petrus Edy Susanto menjadi pesakitan hukum bersama bos BUMN PT Wijaya Karya (Wika), I Ketut Suarbawa. Tiga orang lainnya dari unsur Pemkab Bengkalis dan pelaksana teknis proyek juga sudah berstatus terdakwa. Kelimanya didakwa oleh jaksa KPK merugikan negara sebesar Rp 59,6 miliar.
Jaksa KPK mendakwa dengan dengan pasal 2 ayat 1 jucnto pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Petrus Edy Susanto adalah pemilik PT Cemerlang Samudera Kotrindo. Ia berminat menggarap proyek jalan lingkar Pulau Bengkalis tahun 2013-2015. Ia kemudian mengontak koleganya PT Sumatera Indah Indonesia (Sumindo), tapi ternyata kemampuan dasar (KD) dari PT Sumindo untuk mengerjakan proyek multiyears masih kurang. Belakangan PT Sumindo pun menjalin kerjasama dengan PT Wika untuk mengerjakan proyek jalan tersebut dengan pola joint operation. (*)