Dokter Minta Luhut Panjaitan Kurangi Beban Kerja, Bagaimana Nasib Satgas Kelapa Sawit dan Cuan Negara Rp 50 Triliun?
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan masih membutuhkan masa pemulihan kesehatan di Singapura, usai beberapa pekan lalu jatuh sakit. Panglima Kostrad Letjen Maruli Simanjuntak yang merupakan menantu Luhut mengabarkan kalau tim dokter menyarankan agar mertuanya itu mengurangi beban kerja.
"Dari dokter, Pak Luhut diharapkan tidak terlalu bekerja keras, jadi harus agak diturunkan sementara. Itu yang perlu dilakukan oleh Pak Luhut sehingga ya lebih baik istirahat dulu," kata Letjen Maruli di Kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Senin (30/10/2023).
Luhut yang dikenal sebagai orang kepercayaan Presiden Jokowi selalu mendapat penugasan khusus tambahan. Beban kerjanya terbilang berat dan banyak. Deretan satuan tugas (satgas) yang bersifat ad hoc dipercayakan Jokowi kepada dirinya.
Salah satunya yakni menjadi Ketua Pengarah Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara yang populer disebut Satgas Sawit. Satgas ini ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2023 pada 14 April 2023 silam.
Di Satgas ini, Luhut dibantu oleh sejumlah personil dari jajaran pejabat kementerian. Adalah Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara yang diplot menjadi Ketua Pelaksana Satgas. Masa kerja Satgas dibatasi hingga 30 September 2024 mendatang.
BACA JUGA: Ini Daftar Lengkap Pejabat dan Tugas Pokok Satgas Kelapa Sawit yang Baru Dibentuk Jokowi
Salah satu tugas penting yang mesti dituntaskan oleh Satgas ini menyangkut penyelesaian carut marut pengelolaan kebun sawit di Tanah Air, yakni menyangkut perizinan usaha (legalitas). Secara khusus yang menjadi sorotan yakni keberadaan sekitar 3,3 juta hektare kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan.
Di awal terbentuknya, Satgas ini tampak berlari kencang. Setidaknya telah dilakukan dua kali ekspos publik lewat konferensi pers sebagai sinyal "ketegasan" Satgas untuk membereskan persoalan kelapa sawit yang sudah kronis. Namun, dalam dua bulan terakhir, khususnya sepanjang September dan Oktober 2023, nyaris tak pernah ada lagi kabar tentang gebrakan Satgas Sawit.
Terakhir, Luhut membagikan siaran pers pada Rabu (23/8/2023) silam. Dalam keterangan tertulisnya saat itu, Luhut menyebut ada 700 perusahaan sawit yang belum melapor kepemilikan lahan sawit kepada Satgas Sawit.
Data itu didapat dari proses lapor diri alias self reporting yang dibuka pemerintah pada 3 Juli hingga 3 Agustus 2023. Luhut mengatakan dalam proses itu, ada 1.870 perusahaan patuh melapor melalui Sistem Informasi Perizinan Perkebunan alias SIPERIBUN.
"Namun, masih ada sekitar 700 perusahaan yang belum melaporkan data mereka melalui SIPERIBUN," kata Luhut saat itu.
Luhut menyebut kalau sejumlah perusahaan sawit itu telah masuk dalam Surat Keputusan (SK) Data dan Informasi (Datin) yang diterbitkan Menterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun, seluruh perusahaan yang terdata tetap diwajibkan untuk melakukan pelaporan data di SIPERIBUN tanpa terkecuali.
Luhut kala itu memberikan batas waktu (deadline) pelaporan hingga 8 September 2023. Namun setelah himbauan itu disampaikan, hingga kini tak pernah terdengar lagi capaian kinerja Satgas Sawit.
Ingin menunjukkan keseriusannya, Satgas Sawit mengklaim sudah berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setiap data yang masuk ke Satgas Sawit akan diverifikasi sesuai prinsip-prinsip yang ditetapkan.
Luhut menyebut banyak pengelola lahan sawit yang tak taat pajak. Ia lantas meminta BPKP mengaudit tata kelola industri dan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Hasil audit menunjukkan ada 14,6 juta hektare lahan sawit.
Dari hasil audit BPKP, Luhut menyebut kalau hanya 7,3 juta hektare yang membayar pajak. Sisanya, sekitar 9 juta hektare kebun sawit "mengemplang" pajak, sehingga negara mengalami kerugian dari sisi potensi penerimaan negara.
Batas Akhir UU Ciptaker 2 November 2023
Pembentukan Satgas Sawit berlangsung di tengah gencarnya gerakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan inventarisasi keberadaan usaha di dalam kawasan hutan tanpa izin. Setidaknya ada 12 pucuk surat keputusan telah diteken Menteri LHK Siti Nurbaya yang memuat data tentang keberadaan usaha, khususnya kebun sawit dan tambang dalam kawasan hutan tanpa izin.
Pendataan usaha khususnya kebun sawit dalam kawasan itu dilakukan KLHK sebagai tahapan penyelesaian masalah keterlanjuran penguasaan hutan tanpa izin (ilegal) mengacu pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja yang telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023. Adapun rujukan penting tentang pola penyelesaian masalah kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan diatur pada pasal 110A dan pasal 110B undang-undang tersebut.
Pada kluster kategori Pasal 110A melingkupi perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun, mempunyai izin usaha perkebunan, dan sesuai tata ruang pada saat izin diterbitkan, namun statusnya saat ini berada pada kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi.
Sementara, Pasal 110B mengatur mengenai penyelesaian perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi namun tidak mempunyai perizinan di bidang kehutanan.
Adapun skema penyelesaiannya akan ditempuh melalui pengenaan sanksi administrasi berupa kewajiban membayar denda administratif di bidang kehutanan. Secara teknis, perhitungan denda diatur lewat Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
Perlu diingat, meski masa kerja Satgas Sawit hingga 30 September 2024 mendatang, namun pemberlakukan pasal 110A dan 110B Undang-undang tentang Cipta Kerja akan berakhir 3 hari lagi. Dalam ketentuannya, penyelesaian masalah keterlanjuran kebun sawit dalam kawasan hutan paling lambat harus memenuhi seluruh persyaratan perizinan sebelum 2 November 2023 mendatang. Batasan waktu itu mengacu pada tiga tahun setelah UU Cipta Kerja disahkan.
Potensi Penerimaan Negara Rp 50 Triliun
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyebut proyeksi penerimaan negara dari denda kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan mencapai Rp 50 triliun. Namun, penanganan soal dendanya akan dilaksanakan oleh Satuan Tugas (Satgas) Tata Kelola Kelapa Sawit yang dibentuk Presiden Jokowi beberapa waktu lalu.
"Diproyeksikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 50 triliun. Tapi di-enforce oleh satgas nasional yang diketuai oleh Wakil Menteri Keuangan," kata Siti Nurbaya dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR yang disiarkan lewat channel YouTube, Selasa (13/6/2023) lalu.
Siti Nurbaya menyebut kalau KLHK dalam penanganan denda kebun sawit tersebut akan memberikan dukungan data kepada Satgas Sawit.
"Jadi telah ditangani oleh Satgas," katanya saat itu.
Diketahui sejak 2021 lalu, Menteri LHK Siti Nurbaya telah menerbitkan sebanyak 12 pucuk surat keputusan berisi daftar dan informasi tentang penguasaan hutan tanpa izin. SK terbaru diterbitkan pada 5 April 2023 lalu berisi 30 subjek hukum tambahan yang akan mendapat program pengampunan keterlanjuran penggunaan kawasan hutan tanpa izin.
Subjek hukum adalah istilah (nomenklatur) yang dipakai Kementerian LHK merujuk pada kelompok penguasa hutan ilegal (tanpa izin), meliputi korporasi, koperasi, kelompok tani, individu, kelompok masyarakat dan lembaga instansi pemerintah.
Sebelumnya, dalam 11 SK terdahulu yang diteken Menteri Siti, jumlah subjek hukum pengguna hutan tanpa izin ada sebanyak 2.671 subjek hukum. Dengan demikian, saat ini sudah ada sebanyak 2.701 subjek hukum yang terdata di KLHK.
Kawasan hutan itu mayoritas telah dialihfungsikan secara ilegal menjadi kebun kelapa sawit. Adapun lokasi penguasaan hutan ilegal terluas berada di Provinsi Riau.
Tahun Politik
Sebelumnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyorot secara keras kebijakan pengampunan kejahatan hutan yang ditempuh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dalih program pengampunan keterlanjuran penggunaan kawasan hutan tanpa izin di tahun politik yang memanas dituding sengaja diciptakan sebagai ruang transaksional para elit politik kekuasaan.
“Tidak berlebihan jika kita sebut Pasal 110A dan 110B (Undang-undang Cipta Kerja) merupakan ruang transaksional yang sengaja dibuat untuk mempertemukan kepentingan korporasi dan para elit di tahun politik. Korporasi dapat pengampunan, para elit dapat ongkos politik,” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional dalam siaran pers, Jumat (14/4/2023) lalu.
Menurut Uli Arta, pengampunan kejahatan kehutanan melalui Undang-undang Cipta Kerja melaju cepat di tahun politik. Uli menyebut dipastikan KLHK akan menyelesaikan program pengampunan ini sebelum 2 November 2023, sebagaimana mandat 110 A dan 110 B.
"Tentunya batas tenggang waktu ini bukan tanpa konteks yang jelas," jelas Uli.
Berdasarkan tahapan pemilu, pada 19 Oktober 2023 hingga 25 November 2023 adalah masa waktu pendaftaran presiden dan calon wakil presiden, gubernur dan calon wakil gubernur, serta bupati dan calon wakil bupati. Maka setidaknya awal November konsolidasi kepentingan antara, partai-partai politik dan pemberi biaya sudah harus selesai. Hal ini diperkuat dengan proses yang begitu tertutup oleh KLHK.
Uli juga menambahkan subjek hukum selain korporasi juga patut diperiksa lebih jauh. Pasalnya, dalam SK diidentifikasi individu-individu yang memiliki kebun sawit di hutan dengan luasan di atas 25 hektar.
Uli Arya mencuplik temuan dari terbitnya SK Menteri LHK tahap XI di mana teridentifikasi sebanyak 31 individu yang memiliki kebun sawit di atas 25 hektar. Selain individu, kelompok tani dengan komoditas sawit juga rentan dijadikan modus oleh korporasi untuk bisa mendapatkan pengampunan.
"Fakta-fakta yang sering ditemui di lapangan, korporasi membentuk kelompok plasma yang anggotanya merupakan karyawan-karyawan perusahaannya, ataupun beberapa kelompok masyarakat, untuk bisa mendapatkan akses legal di kawasan hutan”, kata Uli. (*)