Jangan Bertengkar! Pilihlah Capres-Cawapres yang Bernyali Naikkan DBH untuk Provinsi Riau 5 Kali Lipat
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Hiruk pikuk politik jelang pemilihan umum presiden dan wakil presiden 14 Februari 2024 kian terasa. Tensi politik memanas, menyusul pendaftaran tiga pasangan capres-cawapres ke KPU pada pekan lalu.
Pilpres 2024 kali ini terasa agak berbeda dibanding pada 2019 lalu. Ketegangan dan polarisasi terjadi di tataran elit politik. Di akar rumput, cenderung lebih adem ayem. Elit bertengkar, ada yang merasa tersinggung, ditelikung dan terkhianati.
Sebagian elit politik cari aman dan selamat. Mereka nimbrung pada paslon yang dinilai unggul, setidaknya berdasarkan hasil survei politik. Selebihnya masih memasang ancar-ancar kemana akan berlabuh.
Meski musim kampanye belum dimulai, namun aura di dunia nyata maupun dunia maya sudah terlihat jelas. Para aktor politik mulai menggerakkan instrumen dalam merayu, mengampanyekan serta menggencarkan propaganda agar jagoannya disukai dan dipilih. Sebagian lagi mulai melakukan kampanye negatif maupun kampanye hitam terhadap rival politik.
Sejumlah pelaku politik amatiran pun telah sigap membentuk poros relawan, macam-macam namanya. Rakyat di akar rumput membangun barisan politik, sebagian besar karena digerakkan dari 'atas'. Hanya sedikit relawan yang berjuang atas inisiatif dan kesadaran akan panggilan politik, cenderung ikut-ikutan.
Namun, banyak kelompok juga yang cuek tak peduli siapa pun paslon yang bakal terpilih. Mereka ini umumnya adalah warga yang mulai melek politik.
Berkaca dari pilpres 2019 lalu, pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno yang kalah melawan Jokowi-Ma'ruf Amin, justru belakangan bergabung dalam pemerintahan duduk sebagai anggota kabinet Jokowi.
Fakta politik ini membuat kelompok melek politik menjadi apatis, seolah pertarungan politik yang berdarah-darah, hingga memicu pembelahan sosial yang keras pada pilpres 2019 lalu, justru berujung pada bagi-bagi kekuasaan semata.
Pilpres 2019 hanya menjadikan lawan jadi kawan. Sesuatu yang jauh dari hakekat demokrasi yang mensyaratkan persaingan sehat dan check and balances. Dalihnya, demi rekonsiliasi nasional. Percaya atau tidak.
Lepas dari itu semua, apa sebenarnya substansi dari pilpres yang akan memilih kepemimpinan nasional untuk lima tahun ke depan?
Dalam konteks Provinsi Riau yang memiliki jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) mencapai 4.732.174 jiwa, pilpres semestinya diletakkan pada agenda untuk mencari pemimpin nasional yang pro pada daerah. Memang, jumlah DPT Riau itu tak signifikan bila dibandingkan dengan jumlah pemilih di Pulau Jawa yang mencapai ratusan juta.
Inilah dilema pemilihan langsung di mana tidak terjadi proporsi yang seimbang jumlah pemilih antar daerah. One man one vote. Tapi, kita kadung sudah menganut sistem pemilu yang begitu. Rasanya tak perlu disesali.
Pilpres bagi Provinsi Riau adalah sarana pergantian elit pusat yang menentukan kebijakan nasional berimbas pada daerah. Banyak pihak menyebut saat ini bandul kebijakan telah bergeser kembali pada era sentralisasi kebijakan.
Apa-apa diatur oleh pemerintah pusat yang kerap mengabaikan aspirasi dan porsi adil bagi daerah. Misalnya saja jika kita lihat dari sisi keadilan ekonomi bagi daerah, khususnya Provinsi Riau yang kaya akan sumber daya alam.
Sebagai contoh, mari kita lihat besaran uang Dana Bagi Hasil (DBH) sektor sumber daya alam yang diterima Provinsi Riau dan 12 kabupaten/ kota di Riau pada 2023 ini.
Alokasi DBH yang diterima Riau tahun ini tak sampai Rp 3,5 triliun. Rinciannya, DBH migas hanya mencapai Rp 2,8 triliun, DBH kelapa sawit Rp 392 miliar dan DBH kehutanan hanya secuil yakni Rp 166 miliar.
Tentu saja, besaran DBH dari sektor ekstraktif sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui itu relatif sangat kecil. Padahal, pengerukan sumber daya alam ini dipastikan menimbulkan efek yang merusak ekologi yang nilai biaya pemulihannya tidak sebanding dengan DBH. Belum lagi kerusakan infrastruktur akibat mobilitas (pengangkutan) sawit dan kayu hutan industri.
Bandingkan dengan berapa uang yang dikeruk dari hasil migas di perut bumi Riau saban tahun dengan DBH migas hanya Rp 2,8 triliun. Angka DBH migas yang diterima Riau ini cuma secuil.
Lalu soal DBH kelapa sawit yang diterima Riau hanya sebesar Rp 392 miliar tahun ini. Padahal, di Riau terdapat lebih 3,5 juta hektare kebun kelapa sawit, termasuk yang berada di dalam kawasan hutan.
Soal DBH kehutanan sungguh lebih miris lagi, hanya sebesar Rp 166 miliar. Angka ini timpang dengan luasan konsesi hutan tanaman industri (HTI) di Riau yang mencapai lebih dari 1,5 juta hektare.
Hasil kekayaan sumber daya alam Riau yang diangkut ke pusat itu berkali lipat dibanding dengan jumlah yang diterima Riau lewat DBH. Jauh panggang dari api, bagai langit dan bumi.
Itu sebabnya, pilpres 2024 harus ditarik relevansinya pada terpilihnya pemimpin nasional yang berani mereformasi kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Tidak lagi sekadar janji-janji retorik normatif yang membumbung tinggi.
Regulasi nasional yang membelenggu dan cenderung mengabaikan keadilan ekonomi bagi daerah harus berani dicabut oleh capres terpilih. Jika tidak, pilpres hanya akan jadi pesta lima tahunan yang menghabiskan energi dan menghasilkan pembelahan sosial belaka.
Pilihlah capres-cawapres yang bernyali menaikkan DBH diterima Provinsi Riau naik 5 kali lipat. Jika tidak, berhentilah membangga-banggakan jagoan anda. Sebab setelah pilpres, elit politisi kembali kongkow dan berkonsolidasi dan di situ rakyat sering terlupakan. (*)