Nyaris Gagal, Inilah Sejarah Perjuangan Kongres Sumpah Pemuda
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Menggelar Kongres Pemuda ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan. Konferensi itu nyaris gagal diselenggarakan karena tak mendapat izin dari pemerintahan Belanda.
Adalah Soegondo Djojopuspito, sosok pemuda yang dipercaya menjadi ketua gelaran tersebut. Soegondo mewakili organisasi yang ia pimpin, Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI).
Soegondo tentu tak sendirian. Djoko Marsaid dari Jong Java ditunjuk sebagai wakil ketua kongres, Mohammad Yamin dari Jong Sumatranen Bond sebagai sekretaris, dan Amir Sjarifuddin dari Jong Batak sebagai bendahara.
Saat itu, perkumpulan pemuda kedaerahan memang meluas di mana-mana. Sebutlah Tri Koro Dharmo, Perhimpunan Indonesia, Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Islaminten Bon, Pemuda Kaum Betawi, dan masih banyak lainnya.
Para pemuda ini punya tujuan bersama, yakni persatuan dan mengurangi perpecahan akibat perbedaan suku hingga agama. Mereka sadar bahwa persatuan dibutuhkan untuk mencapai kemerdekaan.
Dari situ, muncul inisiatif untuk melebur perhimpunan para pemuda ini ke dalam sebuah musyawarah besar. Inilah cikal bakal lahirnya Kongres Pemuda. Pada 30 April hingga 2 Mei 1926, digelar Kongres Pemuda I. Namun, pidato-pidato dalam kongres itu belum bisa menyatukan para pemuda.
Suasana kongres masih dipenuhi ego kedaerahan yang kuat dari tiap kelompok. Kendati begitu, seiring berjalannya waktu, para pemuda sadar bahwa egoisme kedaerahan hanya akan mempersulit perlawanan terhadap penjajah. Egoisme justru menjauhkan Indonesia dari kemerdekaan.
Nyaris gagal
Dua tahun sejak Kongres Pemuda I, digelar Kongres Pemuda II tepatnya 27 sampai 28 Oktober 1928, yang kepanitiaannya dipimpin oleh Soegondo Djojopuspito. Soegondo pun melakukan persiapan dengan saksama.
Selain berdiskusi dengan para pengurus organisasi kepemudaan, ia banyak bertukar pikiran dengan panitia Kongres Pemuda.
Tak hanya itu, Sugondo juga meminta bantuan Sunario Sastrowardoyo yang kala itu menjadi pengurus Perhimpunan Indonesia di Belanda, dan Sartono yang juga lulusan Belanda, sebagai penasihat.
Namun, pemerintah Belanda tak mengizinkan kongres ini digelar. Ini dikisahkan oleh sejarawan dan profesor riset dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Asvi Warman Adam dalam Kompas edisi 28 Oktober 2010.
Tak putus asa, Sunario bersama Arnold Manuhutu mendatangi pembesar Hindia Belanda yang punya pengaruh besar pada aparat keamanan, K de Jonge. Sunario dan Arnold berupaya keras melakukan negosiasi. Perundingan tidak selesai dalam satu hari.
Hari berikutnya, selama berjam-jam Sunario kembali membujuk pejabat tinggi Belanda tersebut.
Akhirnya, K de Jonge mencair. Ia memerintahkan polisi memberi izin digelarnya Kongres Pemuda. Syaratnya, kongres tidak boleh mengkritik kebijakan atau mengeluarkan pernyataan yang bersifat menghasut dan melawan pemerintah Hindia Belanda.
Kongres pun benar-benar digelar, namun bukan tanpa aral. Pada hari pertama, 27 Oktober 1928, kongres sempat dihentikan polisi dua kali.
Pertama, ketika seorang pembicara menyebut istilah "kemerdekaan". Kedua, tatkala terdengar ajakan supaya putra-putri Indonesia bekerja lebih keras.
Kongres dihadiri oleh ratusan pemuda yang terbakar semangat persatuan. Di luar, polisi bersenjata berjaga-jaga.
Mereka berkumpul di Batavia (Jakarta) dan menyepakati paham bersama tentang pentingnya persatuan pemuda. Para pemuda bersumpah untuk bertumpah darah, berbangsa, dan berbahasa satu, Indonesia.
Sumpah itu dideklarasikan sebagai hasil Kongres Pemuda II, yang kini dikenal sebagai ikrar Sumpah Pemuda. Begini bunyinya:
Pertama: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kedua: Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Pertama: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kedua: Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Istilah Sumpah Pemuda sendiri sebenarnya tidak muncul dalam putusan kongres tersebut, melainkan diberikan setelahnya.
Barulah pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pada tahun 1959, tanggal 28 Oktober ditetapkan sebagai Hari Sumpah Pemuda. Ketetapan itu dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959.
Sumpah Pemuda dimaknai sebagai momentum bersatunya para pemuda, yang kemudian bergerak bersama dan berjuang menuju Indonesia merdeka. (*)