'Bapak Ibu Jaksa dan Hakim, Tolong Pikirkan Nasib Ribuan Kreditur Fikasa Grup, Uang Kami Bergantung Putusan Bapak'
SabangMerauke News, Pekanbaru - Forum kreditur Fikasa Grup berharap jaksa penuntut dan majelis hakim yang menyidangkan perkara 'Empat Salim Bersaudara' di Pengadilan Negeri Pekanbaru, bersikap arif dan bijaksana. Ribuan kreditur yang masih menantikan realisasi putusan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) Fikasa Grup, berharap agar putusan hukum perkara pidana tersebut memikirkan dampak nasib pengembalian uang mereka.
"Tolong bapak ibu jaksa dan hakim yang kami muliakan. Nasib uang kami ada di putusan perkara pidana di Pekanbaru. Kami berharap hati nurani bapak dan ibu semuanya. Jangan sampai uang kami hilang karena putusan hukum yang membuat Fikasa Grup tenggelam dan hancur seperti saat ini," kata Feli, salah satu anak kreditur Fikasa Grup dalam wawancara via zoom meeting, Selasa (8/2/2022) malam kemarin.
BERITA TERKAIT: 4 Ahli 'Patahkan' Seluruh Dakwaan Jaksa di Kasus Investasi Fikasa Grup Empat Salim Bersaudara: Perkara Perdata, Bukan Pidana!
Para peserta zoom meeting menyatakan, setelah proses hukum pidana di Bareskrim yang membuat 'Empat Salim Bersaudara' ditahan dan kini diadili di PN Pekanbaru, komunikasi para kreditur dengan perusahaan menjadi terputus. Mereka bingung untuk membicarakan soal nasib uang mereka.
"Kami bingung sekarang ini. Selama ini kami bisa berkomunikasi dengan baik dengan Pak Agung (bos Fikasa Grup, red). Tapi, sejak proses pidana, kami menjadi hilang kontak. Kami menjadi makin takut dan panik sekarang. Padahal uang itu adalah uang pensiunan orangtua saya untuk berobat," kata Feli.
BERITA TERKAIT: Nasabah Investasi Fikasa Grup Minta '4 Salim Bersaudara' Tak Dipidana: Kami Mau Damai, Agar Uang Kami Kembali!
Khoe Aman, kreditur Fikasa lainnya menyatakan ia bersama kreditur lainnya berharap kasus ini tidak berakhir dengan pemenjaraan 'Empat Salim Bersaudara'. Sebab, jika mereka divonis pidana badan, maka aktivitas perusahaan akan berhenti total. Akibatnya, nasib uang mereka tidak jelas lagi karena operasional bisnis perusahaan akan mati total. Apalagi, jika semua aset perusahaan disita dan dilelang yang membuat nilai aset menjadi merosot.
"Kalau mereka dipenjara, maka harapan kami sirna sudah. Kami berharap perusahaan bisa terus berjalan agar ada pemasukan keuangan untuk mengembalikan uang kami. Tapi kalau mereka dipenjara, bagaimana nasib aset dan bisnis perusahaan? Padahal uang kreditur sudah dialihkan dalam bentuk aset semuanya," jelas Khoe Aman.
BERITA TERKAIT: Marketing Fikasa Grup Buka Suara: Pelapor Kasus Tahu dan Setuju Surat Utang Tak Ada Izin OJK, Semua Bunga Uang Ditransfer ke Rekeningnya!
Khoe Aman merasa bingung dengan upaya pidana yang dilakukan ketika proses pelaksanaan homologasi (perdamaian) pasca-putusan PKPU ditetapkan 5 Agustus 2020 lalu sedang berjalan. Akibatnya, skema pembayaran utang yang sudah disepakati tak bisa dilakukan karena 'Empat Salim Bersaudara' sudah ditangkap dan diadili serta mendekam di sel tahanan sejak Juni 2021 lalu hingga saat ini.
Ia merasa yakin proses homologasi PKPU yang sudah disepakati menjadi pilihan terbaik dalam pengembalian uang mereka. Apalagi skema pembayaran utang telah diatur secara rinci untuk jangka waktu lima tahun. Homologasi menurut Aman masih memberikan harapan yang lebih konkret.
"Di tengah proses homologasi, bos Fikasa Grup ditangkap. Makanya kami jadi heran, bagaimana skema pembayaran bisa dilakukan. Kami menaruh harapan uang kami akan bisa dikembalikan berdasarkan putusan PKPU itu. Kami yakin karena seluruh usaha bisnis dan aset-aset perusahaan memang ada dan bisa digerakkan kembali," jelas Aman.
Aman menegaskan, dirinya bukan dalam kapasitas membela bos Fikasa Grup. Ia tak memiliki kepentingan apapun, selain uangnya bisa dikembalikan secara wajar.
"Saya gak punya kepentingan apapun dengan bos Fikasa Grup. Kepentingan kami adalah uang dikembalikan. Tapi, dengan pemenjaraan bos Fikasa Grup, harapan uang kami dikembalikan nyaris pupus. Di sinilah kami berharap kearifan para penegak hukum agar masalah ini tidak makin runyam dan uang kami jadi raib," jelas Aman.
Merry, kreditur lainnya juga berharap pengadilan bisa mempertimbangkan nasib uang mereka lewat putusan yang akan dijatuhkan terhadap bos Fikasa Grup. Ia yakin penyelesaian utang lewat PKPU lebih realistis dan terukur ketimbang membawa masalah ini ke ranah pidana.
Ia juga meminta agar bos Salim Grup dibebaskan agar dapat memenuhi seluruh kewajibannya mengembalikan uang kreditur. Sebab, jika para terdakwa di penjara maka kesempatan untuk mengembalikan utang pupus sudah.
"Kami juga tidak tahu soal aset-aset perusahaan yang dibangun dengan uang kreditur. Kalau seperti sekarang ini mereka ditahan, apalagi nanti dipenjara maka bagaimana kami bisa menuntut uang kami kembali. Bagaimana kami bisa menagih utang dengan orang yang dipenjara. Suara hati dan harapan saya, mohon bapak ibu jaksa dan hakim membebaskan mereka. Mereka harus tanggung jawab mengembalikan uang kami, berikan mereka kesempatan untuk mengupayakan pengembalian uang kami," pinta Merry.
Empat bos Fikasa Grup yakni Bhakti Salim, Agung Salim, Elly Salim dan Christian Salim menjadi terdakwa kasus kasus gagal bayar surat utang (promissory note). Keempatnya adalah pengurus sekaligus pemilik dua perusahaan yakni PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan PT Tiara Global Propertindo (TGP) selaku penerbit surat utang. Kedua perusahaan itu terafiliasi dan populer dengan sebutan Fikasa Grup. Satu orang terdakwa lain yakni Mariyani yang merupakan marketing perusahaan di Pekanbaru, Riau.
Kelima orang terdakwa dilaporkan oleh 10 orang warga Pekanbaru yang merupakan kreditur pemegang surat uang dari Fikasa Grup. Para kreditur merasa dirugikan sebesar Rp 84,9 miliar. Sejak Maret 2020 lalu, para kreditur tidak menerima pembayaran manfaat berupa bunga di kisaran 9-11 persen per tahun. Para kreditur melaporkan perkara ini ke Bareskrim Mabes Polri hingga kelima terdakwa ditahan dan diadili saat ini di Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Para terdakwa dikenakan dakwaan berlapis yakni pasal 46 ayat 1 Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Serta pasal 378 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana dan pasal 372 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPidana.
Persidangan perkara ini akan memasuki agenda pembacaan surat tuntutan jaksa pada Jumat (11/2/2022) mendatang. Dengan demikian, fase akhir perkara ini sudah tiba di pengujung sidang.
Kasus gagal bayar surat utang Fikasa Grup ini sebenarnya sudah diajukan lewat dua gugatan PKPU di Pengadilan Niaga Jakarta pusat. Berdasarkan putusan pengesahan perjanjian perdamaian (homologasi) dengan nomor: 125/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.JKT.Pst tanggal 5 Agustus 2020 lalu yang diperoleh SabangMerauke News, tercantum ada sebanyak 1.711 kreditur konkuren dengan nilai tagihan utang sebesar Rp 2,38 triliun. Permohonan PKPU ini diajukan terhadap Koperasi Simpan Pinjam Alto (Kospina) dan PT Wahana Bersama Nusantara (WBN).
Sementara pada putusan pengesahan homologasi nomor: 163/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.JKT.Pst tertanggal 5 Agustus 2020 tercantum ada sebanyak 574 kreditur konkuren dengan nilai tagihan utang sebesar Rp 1,05 triliun. PKPU dalam perkara ini diajukan terhadap PT Tiara Global Propertindo (TGP).
Dampak 'Rush' dan Pukulan Pandemi Covid-19
Dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan terdakwa, Senin (7/2/2022) lalu, bos Fikasa Grup telah menjelaskan penyebab gagal bayarnya surat utang kepada para kreditur. Faktor utama yakni terjadi rush akibat paniknya kreditur sejak awal 2020 lalu yang menyebabkan cash flow perusahaan terganggu secara luar biasa. Kala itu sedang terjadi heboh asuransi Jiwasraya yang diduga membuat kreditur secara bersamaan panik.
Ditambah lagi efek pandemi Covid-19 yang memukul telak sektor utama bisnis Fikasa Grup yakni perhotelan di Bali, properti dan air minum di Pulau Jawa.
"Kunjungan wisatawan ke Bali mati total. Hotel sepi dan kami mengalami banyak kerugian. Sejak itu, keuangan perusahaan terganggu dan bisnis lain ikut kena imbasnya," tegas Agung.
Agung dalam kesaksiannya menyatakan akan bertanggung jawab memenuhi semua kewajiban kepada kreditur. Ia menegaskan aset perusahaan lebih dari cukup untuk pengembalian utang. Ia mengklaim tak mungkin lari, karena semua aset perusahaan ada di Indonesia.
"Kami tak mungkin lari. Kami bertanggung jawab penuh untuk menyelesaikan masalah finansial ini. Tak mungkin kami lari, bisnis dan usaha ada di sini (Indonesia, red) semua," kata Agung Salim.
Di tengah kesulitas finansial perusahaan kata Agung, pihaknya tetap berupaya untuk membayar bunga dan pokok utang jatuh tempo. Caranya dengan mencari funding dan pinjaman lain, termasuk melego aset-aset yang ada.
"Namun, semua merasakan karena pandemi Covid-19, orang-orang menahan uangnya. Sulit menjual aset saat itu. Sehingga kami tidak bisa mendapatkan dana pembayaran bunga dan pokok utang. Apalagi, saat itu permintaan pokok utang sangat besar. Cash flow perusahaan terganggu," jelas Agung.
Agung menceritakan niat baik mereka untuk memenuhi kewajiban utang kepada Archenius Napitupulu, salah satu pelapor kasus ini ke Bareskrim Polri. Pihaknya berkali-kali telah menawarkan aset kepada Archenius sebagai itikad baik pengganti pembayaran utang. Di antaranya dua sertifikat hak guna bangunan (HGB) di Jakarta yang habis masa haknya pada 2030 dan 2040 mendatang. Namun, tawaran tersebut kata Agung, tak diterima oleh Archenius.
"Sejak awal gangguan finansial ini muncul, kami sudah tawarkan diganti dengan aset. Bahkan, kami siap untuk melakukan buy back dengan jangka waktu tertentu. Semua pola sudah kami tawarkan," tegas Agung.
Terkait laporan Archenius Napitupulu ke Bareskrim Polri yang membuat keempatnya menjadi tersangka, ditahan dan diadili saat ini, makin membuat kondisi bisnis perusahaan tak karu-karuan. Kontrol bisnis tak ada lagi dan jadi berantakan. Ditambah lagi dilakukannya blokir rekening dan penyitaan sejumlah aset perusahaan oleh Bareskrim Polri.
"Entah apa saja yang disita kami gak tahu. Semua ada di jaksa. Rekening juga diblokir. Dengan keadaan ini, bagaimana mungkin kami bisa menyelesaikan kewajiban utang kami? Mau bayar utang, tapi aset disita. Kami sangat sedih. Kami pun tak mau terjadi seperti ini," tegas Agung Salim.
Patuh Pada Mekanisme PKPU
Agung Salim menyatakan pihaknya patuh pada ketentuan hukum penyelesaian utang kepada kreditur. Itu sebabnya, gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat diharapkan menjadi salah satu solusi masalah finansial yang melilit korporasi.
Putusan PKPU yang sudah ditetapkan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada Agustus 2020 pun, kata Agung Salim sudah jelas. Pihaknya sebenarnya ingin skema penyelesaian utang sesuai putusan PKPU bisa dilakukan sesuai kesepakatan dengan kreditur. Ada sejumlah aset yang dijaminkan dalam gugatan PKPU tersebut. Pembayaran utang dilakukan dalam jangka waktu 5 tahun.
Agung merasa aneh mengapa aset yang sudah dijaminkan dalam gugatan PKPU ikut disita dalam proses penyidikan di Bareskrim Polri terkait laporan Archenius.
"Kalau aset yang sudah dijaminkan di PKPU kemudian disita oleh kepolisian, bagaimana mungkin kami bisa selesaikan kewajiban pembayaran utang kami lewat skema yang sudah dibuat. Terus terang kami jadi sulit," kata Agung. (*)