Pertumbuhan Ekonomi Jadi Persoalan Mendesak, Pakar Singgung Capres-Cawapres Jangan Hanya Angka Kosong
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Kalangan akademisi di berbagai universitas tanah air mengingatkan para pasangan calon presiden dan wakil presiden 2024 tak hanya berani memasang target pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Mereka menganggap, target pertumbuhan hingga 7% hanya omong kosong jika inefisiensi ekonomi tinggi, tercermin dari tingginya angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR).
Pasangan calon Anies-Muhaimin sebetulnya sudah menyinggung juga terkait ICOR dalam visi, misi, dan program kerjanya, dengan menargetkan ICOR turun menjadi di level 5 dari periode 2021-2022 di level 7,3. Prabowo-Gibran pun menyinggung soal ICOR tapi tak menargetkan level spesifik, sedangkan Ganjar-Mahfud MD tak menyinggung sama sekali soal ICOR dalam dokumen visi-misinya.
Ekonom dari Universitas Diponegoro Wahyu Widodo mengatakan, tingginya ICOR itu menjadi indikasi awal bahwa perekonomian suatu negara tengah mengalami permasalahan struktural. Mulai dari tingginya biaya investasi karena birokrasi dan regulasi yang berbelit, besarnya biaya produksi, hingga banyaknya permasalahan hukum yang tak tegas.
"Meskipun ICOR pendekatannya banyak untuk hitung itu tapi itu indikasi awal bahwa banyak masalah struktur kelembagaan yang harus diselesaikan kalau ingin pertumbuhan di atas 6%," kata Wahyu, Kamis (26/10/2023).
Oleh sebab itu, ia menilai, permasalahan ICOR ini penting untuk diurus pemimpin Indonesia ke depan. Sebab, jika mereka hanya memasang target pertumbuhan tinggi tanpa adanya program atau kebijakan yang akan ditempuh untuk menekan biaya investasi, maka sulit mencapai pertumbuhan yang tinggi jika hanya mengamankan dari sisi konsumsi dan belanja pemerintah.
"Jadi ini terkait visi misi harus ada reasoning dibalik itu, bagaimana mereka mau mencapai terutama reformasi struktural apa yang ditawarkan. Kita tahu problem terbesar ekonomi kita itu kan inefisiensi agregat," tegas Wahyu.
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Ekonom dari Universitas Gajah Mada (UGM) Eddy Junarsin. Menurutnya, jualan target-target pertumbuhan ekonomi tinggi tak akan bisa terealisasi di tengah tekanan ekonomi global akibat tingginya harga-harga komoditas, inflasi, hingga tren kebijakan suku bunga acuan yang tinggi, jika tidak memperbaiki iklim investasi.
"Logikanya supaya pertumbuhan ekonomi tinggi bagaimana, berarti harus banyak investasi di dalam negeri. Jadi selain uang domestik, juga investasi dari luar negeri masuk, investasi masuk itu harus bangun pabrik, pendidikan, bangun sosial," tuturnya.
Dengan semakin tingginya dampak investasi karena rendahnya tambahan modal untuk menghasilkan satu tambahan unit output pada perekonomian, ia memastikan bahwa perekonomian otomatis akan terdorong cepat karena investasi mampu membawa percepatan pertumbuhan ekonomi dengan sendirinya.
"Jadi kalau investasi bagus, maka banyak perusahaan-perusahaan makin bagus, produknya bagus, pekerjanya banyak keahlian yang meningkat dan banyaknya talenta yang bagus itu dengan sendirinya akan akan menghasilkan teknologi tinggi," ucap Eddy.
Pengamat Ekonomi Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita juga menganggap, jika hanya memasang target pertumbuhan yang tinggi tanpa adanya upaya perbaikan struktural. Maka sama saja seperti pemerintahan Presiden Joko Widodo saat berkampanye menjanjikan pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa ke level 7%.
"Karena Jokowi juga menetapkan angka 7%, tapi selama 9 tahun terakhir, sekalipun tak pernah angka tersebut tercapai. Artinya, harus ada strategi baru yang tidak sama dengan strategi yang dipakai dalam 9 tahun terakhir, agar kita yakin bahwa angka 7% bukan angka kosong," tegasnya.
Menurut Ronny, sebetulnya ada contoh kongkrit dari keberhasilan upaya reformasi struktural itu bisa dijalankan hingga menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi, yakni India. Negara itu pun kini menikmati banyaknya aliran investasi karena berhasil berhasil memikat investasi dari hasil perang dagang antara Amerika Serikat dengan China.
"Dan India nampaknya memang akan menggantikan China dalam dua periode ke depan, baik karena besarnya populasi India, maupun karena masifnya relokasi investasi dari China ke India akibat perang dagang," ucap Ronny. (*)