3 Ancaman Ini Bakal Hantam Ekonomi Global, Bagaimana Nasib Indonesia?
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Perekonomian global tengah dihadapkan dengan 3 tantangan, utamanya semakin bergejolaknya volatilitas pasar keuangan dan tensi geopolitik di Timur Tengah.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, menyebut ketidakpastian dan risiko global yang terus meningkat itu tentunya akan berpotensi mempengaruhi perekonomian dalam negeri, utamanya nilai tukar, inflasi, hingga pertumbuhan ekonomi.
Tantangan pertama, yakni di pasar keuangan global. Yield US Treasury mengalami lonjakan mencapai level di atas 5 persen pada September hingga Oktober 2023. Kata Menkeu, lonjakan tersebut merupakan pertama kali sejak tahun 2007.
“Saya menyampaikan ini dalam konteks biasa Amerika Serikat yield-nya rendah karena suku bunga selama, terutama sejak global finanial crisis itu sangat rendah, rate policy hanya 0,25 persen. Jadi ini adalah lonjakan yang sangat besar,” kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN KiTa Oktober, Kamis (26/10/2023).
Disisi lain, Menkeu menilai pergerakan yield US Treasury menjadi sangat tidak terprediksi, sehingga berpotensi bis mendorong gejolak di seluruh dunia.
Kedua, sektor properti China. Menkeu mengungkapkan, sebanyak 50 perusahaan di China yang bergerak di bidang properti mengalami gagal bayar. Hal tersebut akan mempengaruhi Indonesia, karena China merupakan salah satu mitra
“Ini akan mempengaruhi Indonesia karena perekonomian China sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia itu menjadi motor pertumbuhan ekspor dari banyak negara, termasuk Indonesia,” ujarnya.
Selanjutnya, tantangan ketiga adalah gejolak geopolitik yang terjadi antara Ukraina dan Rusia yang hingga kini belum usai, ditambah dengan konflik Israel dan Hamas. Adanya konflik yang berkepanjangan tersebut dikhawatirkan akan membuat harga minyak melonjak.
“Rekaman ini persis sama dengan yang kita dengar dan kita ikuti saat pertemuan G20 di Marrakesh minggu lalu dan pertemuan IMF World Bank tahunan. Intinya adalah situasi perekonomian global sangat tidak pasti dan risikonya cenderung ke bawah,” pungkas Sri Mulyani. (*)