Tumpulnya Palu Hakim PN Bengkalis di Kasus Pencemaran Limbah Pabrik Sawit PT SIPP, Ini Isi Lengkap Putusannya
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Drama penegakan hukum pidana lingkungan dalam kasus pencemaran limbah pabrik kelapa sawit PT Sawit Inti Prima Perkasa (SIPP) di Bengkalis berakhir antiklimaks. Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Bengkalis dinilai telah merobek rasa keadilan, khususnya oleh warga yang lahannya rusak terkena air limbah pabrik.
"Putusan hakim itu sangat tidak adil. Itu jauh sekali dari rasa adil terhadap keluarga kami yang menjadi korban langsung dari limbah perusahaan. Kami tidak menduga putusan hakim seperti itu," kata Roslin Sianturi, warga Duri yang lahannya terkena limbah pabrik sawit PT SIPP kepada SabangMerauke News, Sabtu (21/10/2023).
Lahan milik Roslin berbatasan langsung dengan kolam limbah SIPP. Sejak dua tahun silam, tanaman kelapa sawit miliknya rusak dan tak bisa dipanen lagi. Pemicunya, limbah pabrik tersebut menggenangi lahan kebun sumber mata pencaharian keluarganya.
Kini, Roslin merasa frustasi karena putusan hakim PN Bengkalis yang dijatuhkan pada Selasa (17/10/2023) lalu jauh dari harapannya.
"Sangat sulit mencari keadilan, jalur hukum di pengadilan tidak lagi menjadi tempat mencari keadilan," kata Rosti.
Kasus pencemaran limbah pabrik sawit PT SIPP sempat naik menjadi isu nasional. Bermula dari penjatuhan sanksi administrasi hingga dicabutnya izin operasional perusahaan oleh Pemkab Bengkalis pada 2022 silam.
Belakangan, kasus ini dibidik oleh Gakkum Kementerian LHK dengan menetapkan dua orang tersangka yang merupakan pengurus perusahaan. Keduanya yakni Direktur Utama SIPP Erick Kurniawan dan General Manajer, Agus Nugroho.
Dalam proses penyidikan hingga penuntutan, keduanya ditahan oleh kejaksaan. Belakangan, ketika perkara bergulir di pengadilan, yakni jelang Lebaran Idul Fitri April 2023 lalu, majelis hakim mengabulkan permohonan penangguhan penahanan kedua terdakwa.
Jaksa penuntut dalam surat tuntutannya meminta majelis hakim untuk menghukum Erick Kurniawan 7 tahun penjara. Jaksa menuntut Erick dengan Pasal 98 Ayat (1) jo Pasal 116 Ayat (1) huruf b Undang undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jo Pasal 55 Ayat (1) KUHPidana. Selain itu, jaksa juga menuntutnya untuk membayar denda sebesar Rp4 miliar subsider 1 tahun kurungan.
Beda tipis, Agus Nugroho yang merupakan anak buah Erick dituntut 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp4 miliar subsider 1 tahun kurungan.
Pada Selasa, 17 Oktober lalu, trio majelis hakim PN Bengkalis terdiri dari Bayu Soho Rahardjo (ketua majelis) beserta Ulwan Maluf dan Ignas Ridlo Anarki masing-masing anggota majelis hakim, membacakan putusan perkara ini. Isinya, mengecewakan Roslin sebagai pemilik lahan yang tercemar limbah perusahaan. Jaksa penuntut umum pun langsung menyatakan banding atas putusan tersebut.
Majelis hakim dalam putusannya menilai kalau Erick dan Agus terbukti melanggar dakwaan alternatif kedua yakni pasal Pasal 104 Ayat (1) jo Pasal 116 Ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jo Pasal 55 Ayat (1) KUHPidana. Adapun ancaman hukuman pasal ini yakni pidana penjara paling
lama 3 tahun dan denda paling banyak
Rp3 miliar.
Berikut bunyi amar putusan terdakwa Erick Kurniawan sebagaimana dilihat dari SIPP PN Bengkalis, Minggu (22/10/2023):
1. Menyatakan terdakwa Erick Kurniawan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “menyuruh melakukan dumping limbah ke media lingkungan hidup tanpa izin” sebagaimana dakwaan alternatif kedua;
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 tahun dan denda sejumlah Rp 200 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan.
3. Menetapkan pidana tersebut tidak perlu dijalani oleh terdakwa kecuali jika di kemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim oleh karena terdakwa telah melakukan suatu tindak pidana sebelum berakhir masa percobaan selama 2 tahun
4. Menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa untuk dan atas nama perusahaan (PT Sawit Inti Prima Perkasa) berupa perbaikan akibat tindak pidana dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Membayar biaya pemulihan lingkungan atas lahan di sekitar perusahaan (PT Sawit Inti Prima Perkasa) yang telah terbukti tercemar oleh limbah perusahaan a quo akibat tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa sebagaimana tersebut dalam amar putusan angka 1 sejumlah Rp 250 juta dalam jangka waktu paling lama 6 bulan
b. Memperbaiki kinerja Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) sehingga air limbah yang dibuang ke media lingkungan sudah memenuhi ketentuan baku mutu dalam jangka waktu paling lama 1 tahun
c. Memeriksa kadar parameter baku mutu air limbah cair secara periodik, sekurangnya sekali dalam sebulan atas biaya perusahaan pada laboratorium rujukan
d. Pelaksanaannya diawasi oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bengkalis
Berikut bunyi amar putusan terdakwa Agus Nugroho:
1. Menyatakan terdakwa Agus Nugroho telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “menyuruh melakukan dumping limbah ke media lingkungan hidup tanpa izin” sebagaimana dakwaan alternatif kedua;
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 tahun dan denda sebesar Rp 100 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 bulan
3. Menetapkan pidana tersebut tidak perlu dijalani oleh terdakwa kecuali jika dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim oleh karena terdakwa telah melakukan suatu tindak pidana sebelum berakhir masa percobaan selama 2 tahun.
Preseden Buruk
Putusan majelis hakim PN Bengkalis tersebut dinilai sebagai preseden buruk dalam penegakan hukum lingkungan di Riau. Dr (Cd) Marnalom Hutahaean SH, MH, kuasa hukum Roslin Sianturi menilai putusan tersebut jauh panggang dari api.
"Ini preseden buruk terhadap penegakan hukum lingkungan di Riau, bahkan di Indonesia. Sangat disayangkan sekali. Tentunya ini juga tidak memberikan rasa keadilan kepada klien saya sebagai korban," kata Marnalom Hutahaean.
Marnalom menilai, putusan hakim yang menghukum terdakwa Erick membayar biaya pemulihan lingkungan atas lahan yang tercemar sebesar Rp 250 juta menjadi tanda tanya. Soalnya, majelis hakim saat menggelar sidang lapangan (pemeriksaan setempat) tidak meninjau langsung ke lokasi lahan yang tercemar.
"Saat itu, majelis hakim hanya meninjau lokasi kolam limbah perusahaan, tapi tak melihat kondisi lingkungan yang tercemar. Jadi, apa dasar penetapan angka biaya pemulihan lingkungan yang tercemar itu?" gugat Marnalom.
Ia juga menilai tidak tepat lagi jika majelis hakim menerapkan asas ultimum remedium dalam penegakan hukum lingkungan pada kasus SIPP. Soalnya, sejak awal kasus ini terungkap, bahkan hingga sampai ke pengadilan, Marnalom menilai tidak ada itikat baik perusahaan untuk melakukan pemulihan lingkungan atau mengganti kerugian kliennya.
Marnalom juga membandingkan tuntutan jaksa kepada kedua terdakwa masing-masing 7 tahun dan 5 tahun dengan putusan hakim yang dijatuhkan.
"Untuk kasus pencemaran nama baik saja, dalam banyak kasus terdakwa dihukum 2 sampai 3 tahun. Masak kasus lingkungan yang seheboh ini diberikan hukuman percobaan," sindir Marnalom.
Menurut Marnalom, putusan majelis hakim dinilai tidak sensitif pada isu lingkungan yang telah menjadi perhatian nasional dan global.
"Coba bayangkan jika ratusan bahkan ribuan pabrik kelapa sawit yang ada di Riau melakukan hal yang sama, namun hanya dihukum percobaan. Maka kehancuran lingkungan dampak limbah sawit hanya akan dianggap sebagai persoalan sepele belaka. Ini preseden buruk terhadap tegaknya hukum lingkungan dan tidak memberikan efek jera. Bertolak belakang dengan kampanye pemerintah yang pro lingkungan," pungkas Marnalom.
Pihak PN Bengkalis belum dapat dikonfirmasi ikhwal putusan perkara ini. (*)