Fikasa Grup Oleng Diterpa Pandemi, Agung Salim: Sejak Awal Kami Tawarkan Aset ke Archenius Napitupulu, Kami Tak Mungkin Lari Bisnis di Sini Semua!
SabangMerauke News, Pekanbaru - Empat orang bos Fikasa Grup mengungkapkan isi hatinya saat diperiksa sebagai terdakwa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Senin (7/2/2022). 'Empat Salim Bersaudara' itu menegaskan akan menyelesaikan seluruh tagihan utang kepada kreditur serta patuh pada mekanisme penyelesaian masalah secara bisnis.
"Kami tak mungkin lari. Kami bertanggung jawab penuh untuk menyelesaikan masalah finansial ini. Tak mungkin kami lari, bisnis dan usaha ada di sini (Indonesia, red) semua," kata Agung Salim dalam kesaksiannya di depan majelis hakim yang diketuai Dr Dahlan SH, MH.
BERITA TERKAIT: 4 Ahli 'Patahkan' Seluruh Dakwaan Jaksa di Kasus Investasi Fikasa Grup Empat Salim Bersaudara: Perkara Perdata, Bukan Pidana!
Ia menegaskan, aset-aset perusahaan tidak fiktif dan secara fisik bisa dilihat nyata adanya. Di antaranya dua unit hotel mewah di Pulau Bali senilai Rp 3,5 triliun. Ini belum termasuk properti lain dan sejumlah perusahaan air minum di Pulau Jawa.
Pantauan SabangMerauke News, dari 'Empat Salim Bersaudara' yang diperiksa secara bersamaan, terlihat dalam sidang Agung Salim dan Bhakti Salim secara konsisten menjawab dan tegas jelas pertanyaan majelis hakim dan jaksa. Sementara, dua lainnya yakni Elly Salim dan Christian Salim kerap menganggukkan kepala tanda mengiyakan keterangan dua saudaranya yang lain.
BERITA TERKAIT: Nasabah Investasi Fikasa Grup Minta '4 Salim Bersaudara' Tak Dipidana: Kami Mau Damai, Agar Uang Kami Kembali!
Bhakti Salim menjelaskan, kebijakan perusahaan untuk mendapatkan tambahan modal usaha dilakukan dengan menerbitkan surat utang/ promissory note (PN). Ia membantah PN sebagai deposito atau penyimpanan uang.
"Itu murni surat utang sebagai perjanjian sanggup bayar atas pinjaman uang yang perusahaan terima. Jadi, itu bukan simpanan apalagi deposito. Ini murni bisnis, kesepakatan dua pihak sebagai kreditur dan debitur," tegas Bhakti Salim.
BERITA TERKAIT: Marketing Fikasa Grup Buka Suara: Pelapor Kasus Tahu dan Setuju Surat Utang Tak Ada Izin OJK, Semua Bunga Uang Ditransfer ke Rekeningnya!
Ia menegaskan, perusahaan Fikasa Grup sudah menerbitkan surat utang sejak lama, jauh sebelum pelapor Archenius Napitupulu dkk bergabung menjadi kreditur. Pola tersebut biasa dilakukan untuk penguatan cash flow perusahaan dalam pembangunan sejumlah unit usaha, di antaranya hotel di Pulau Dewata Bali.
"Saat itu, sekitar tahun 2016 kami sedang membangun hotel di Bali serta ada proyek lain. Hotel baru selesai pada tahun 2020," kata Agung.
Ia menjelaskan, terjadinya kemacetan pembayaran bunga dan pokok utang akibat pukulan pandemi Covid-19 yang datang sejak awal 2020 lalu. Saat itu, bisnis hotel, air minum dan properti yang dijalankan perusahaan oleng dan mati suri.
"Kunjungan wisatawan ke Bali mati total. Hotel sepi dan kami mengalami banyak kerugian. Sejak itu, keuangan perusahaan terganggu dan bisnis lain ikut kena imbasnya," tegas Agung.
Meski demikian, pihaknya tetap berupaya untuk membayar bunga dan pokok utang jatuh tempo. Caranya dengan mencari funding dan pinjaman lain, termasuk melego aset-aset yang ada.
"Namun, semua merasakan karena pandemi Covid-19, orang-orang menahan uangnya. Sulit menjual aset saat itu. Sehingga kami tidak bisa mendapatkan dana pembayaran bunga dan pokok utang. Apalagi, saat itu permintaan pokok utang sangat besar. Cash flow perusahaan terganggu," jelas Agung.
Agung menceritakan niat baik mereka untuk memenuhi kewajiban utang kepada Archenius Napitupulu. Pihaknya berkali-kali telah menawarkan aset kepada Archenius sebagai itikad baik pengganti pembayaran utang. Di antaranya dua sertifikat hak guna bangunan (HGB) di Jakarta yang habis masa haknya pada 2030 dan 2040 mendatang. Namun, tawaran tersebut tak diterima oleh Archenius.
"Sejak awal gangguan finansial ini muncul, kami sudah tawarkan diganti dengan aset. Bahkan, kami siap untuk melakukan buy back dengan jangka waktu tertentu. Semua pola sudah kami tawarkan," tegas Agung.
Terkait laporan Archenius Napitupulu ke Bareskrim Polri yang membuat keempatnya menjadi tersangka, ditahan dan diadili saat ini, makin membuat kondisi bisnis perusahaan tak karu-karuan. Kontrol bisnis tak ada lagi dan jadi berantakan. Ditambah lagi dilakukannya blokir rekening dan penyitaan sejumlah aset perusahaan oleh Bareskrim Polri.
"Entah apa saja yang disita kami gak tahu. Semua ada di jaksa. Rekening juga diblokir. Dengan keadaan ini, bagaimana mungkin kami bisa menyelesaikan kewajiban utang kami? Mau bayar utang, tapi aset disita. Kami sangat sedih. Kami pun tak mau terjadi seperti ini," tegas Agung Salim.
Patuh Pada Mekanisme PKPU
Agung Salim menyatakan pihaknya patuh pada ketentuan hukum penyelesaian utang kepada kreditur. Itu sebabnya, gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat diharapkan menjadi salah satu solusi masalah finansial yang melilit korporasi.
Putusan PKPU yang sudah ditetapkan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada Agustus 2020 pun, kata Agung Salim sudah jelas. Pihaknya sebenarnya ingin skema penyelesaian utang sesuai putusan PKPU bisa dilakukan sesuai kesepakatan dengan kreditur. Ada sejumlah aset yang dijaminkan dalam gugatan PKPU tersebut. Pembayaran utang dilakukan dalam jangka waktu 5 tahun.
Agung menyatakan kalau Archenius Napitupulu pun ikut mendaftarkan diri dalam gugatan PKPU tersebut. Sumber SabangMerauke News menyebut belakangan Archenius menarik diri dari gugatan.
Agung merasa aneh mengapa aset yang sudah dijaminkan dalam gugatan PKPU ikut disita dalam proses penyidikan di Bareskrim Polri terkait laporan Archenius.
"Kalau aset yang sudah dijaminkan di PKPU kemudian disita oleh kepolisian, bagaimana mungkin kami bisa selesaikan kewajiban pembayaran utang kami lewat skema yang sudah dibuat. Terus terang kami jadi sulit," kata Agung.
Jawab Tudingan Uang Rp 13 Triliun di Rekening
Dalam kesempatan sidang tersebut, Bhakti Salim pun mempertanyakan isu liar soal uang di rekening perusahaan Fikasa Grup sebesar Rp 13 triliun. Bhakti Salim mempertanyakan sumber dan akurasi data yang dipakai jaksa penuntut dalam mengungkap informasi uang jumbo itu ke publik.
"Itu uang yang mana Rp 13 triliun. Tolong jaksa menunjukkannya. Kami tak pegang data. Data ada semua sama jaksa. Kami mau ngomong apalagi karena data dipegang jaksa semua," kata Bhakti Salim.
Perihal adanya uang tersebut diungkap oleh pegawai Bank Central Asia (BCA) Jakarta yang hadir sebagai saksi dalam sidang dua pekan lalu. Menurut Bhakti, jikapun angka tersebut ada, namun uang itu adalah akumulasi transaksi keluar masuk (mutasi) uang lewat rekening perusahaan. Lagipula, uang itu disebut pegawai BCA sebagai akumulasi transaksi sejak tahun 2010 sampai 2020. Sementara Archenius Napitulu menjadi kreditur baru pada tahun 2016 lalu.
"Terus terang kami pun bingung dan gak bisa ngomong apa-apa soal angka itu. Darimana uang sebesar itu. Jadi tolong jaksa tunjukkan uang sebesar itu," kata Bhakti Shalim"
Ketua majelis hakim, Dr Dahlan SH, MH sebelumnya telah menyatakan dalam perkara ini yang perlu dibuktikan adalah soal klaim kerugian sebesar Rp 84,9 miliar sebagaimana dalam laporan para pelapor.
Perkara ini mendudukkan lima terdakwa sebagai pesakitan hukum. Yakni terdiri dari 'Empat Salim Bersaudara' yang merupakan pemilik serta pengurus langsung perusahaan yang kerap disebut dengan Fikasa Grup. Keempat orang terdakwa tersebut yakni Bhakti Salim alias Bhakti yang merupakan Direktur Utama PT Wahana Bersama Nusantara sekaligus juga Direktur Utama PT Tiara Global Propertindo. Terdakwa Agung Salim alias Agung sebagai Komisaris Utama PT Wahana Bersama Nusantara.
Terdakwa ketiga yakni Elly Salim alias Elly selaku Direktur PT Wahana Bersama Nusantara sekaligus Komisaris PT Tiara Global Propertindo. Seorang terdakwa lain dari keluarga Salim yakni Christian Salim selaku Direktur PT Tiara Global Propertindo. Terdakwa kelima bernama Mariyani merupakan marketing kedua perusahaan.
Para terdakwa dikenakan dakwaan pasal 46 ayat 1 Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Serta pasal 378 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana dan pasal 372 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPidana. (*)