Special Report
Marketing Fikasa Grup Buka Suara: Pelapor Kasus Tahu dan Setuju Surat Utang Tak Ada Izin OJK, Semua Bunga Uang Ditransfer ke Rekeningnya!
SabangMerauke News, Pekanbaru - Air mata Mariyani menetes. Sesenggukan ia menjawab pertanyaan majelis hakim dan jaksa penuntut di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Senin (7/2/2022). Duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa kasus investasi Fikasa Grup, ibu rumah tangga muda ini runtut menjelaskan ikhwal bergabungnya ia dengan Fikasa Grup.
"Awalnya saya bekerja di PT Mega Capital Sekuritas sejak 2011. Tahun 2016 saya pindah ke Fikasa Grup yakni PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan PT Tiara Global Propertindo (TGP)," kata Mariyani saat diperiksa sebagai terdakwa.
BERITA TERKAIT: 4 Ahli 'Patahkan' Seluruh Dakwaan Jaksa di Kasus Investasi Fikasa Grup Empat Salim Bersaudara: Perkara Perdata, Bukan Pidana!
Rupanya, salah satu pelapor kasus ini yakni Archenius Napitupulu yang dikenal dengan pengusaha sukses di Riau adalah klien lama Mariyani di Mega Capital. Ia memanggil sapaan Pak Napit untuk Archenius Napitupulu. Ia lantas memberitakan rencana kepindahannya ke Fikasa kepada Archenius.
"Sejujurnya, sebagai rasa respect saya kepada Pak Napit saat itu saya sampaikan soal rencana saya pindah ke Fikasa," terang Mariyani.
BERITA TERKAIT: Nasabah Investasi Fikasa Grup Minta '4 Salim Bersaudara' Tak Dipidana: Kami Mau Damai, Agar Uang Kami Kembali!
Dalam pertemuan itu, Mariyani memaparkan company profile perusahaan baru tempatnya bekerja kepada Archenius. Perusahaan itu disebutnya banyak memiliki proyek. Di antaranya proyek property, hotel di Bali dan sejumlah perusahaan air minum ternama di Indonesia.
Mariyani menyebut Archenius tertarik. Bahkan Archenius kata Mariyani meminta dipertemukan langsung dengan Agung Salim, salah satu petinggi dan pemilik Fikasa. Mariyani menyanggupinya. Hingga akhirnya Archenius dan Agung bertemu di salah satu hotel bintang lima di Jakarta.
BERITA TERKAIT: Inilah 10 Miliuner Pekanbaru yang Jadi Korban Dugaan Investasi Bodong Fikasa Grup
Dalam pertemuan tersebut, kata Mariyani obrolan seputar proyek pun terjadi. Saat itu belum ada pembicaraan soal uang dan produk yang belakangan disebut sebagai promissory note/ surat utang (PN).
Hari berlanjut, Mariyani menyebut kalau Archenius tertarik untuk ikut dalam program tersebut. Sebelumnya, Mariyani menegaskan sudah memperkenalkan soal pola peminjaman uang yang akan dilakukan. Dijelaskannya kepada Archenius bahwa perjanjian utang piutang ini tidak memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Karena setahu saya memang ini adalah perjanjian pinjam meminjam atas dasar saling kepercayaan. Saya tidak tahu soal promissory note itu bagaimana syarat ketentuannya. Tapi, saya sampaikan ini memang tidak pakai izin OJK. Karena ini perjanjian utang atas saling percaya" cerita Mariyani.
BERITA TERKAIT: Sidang Kasus Investasi Fikasa Grup: Korban Ternyata Sudah Terima Bunga, Baru Macet Sejak Januari 2020!
Mendengar penjelasannya, Archenius pun tak keberatan.
"Bahkan Pak Napit bilang memang lebih bagus tanpa ada izin OJK," tutur Mariyani.
Sejak saat itulah Archenius pun ikut dalam program pinjam meminjam uang tersebut. Perjanjian utang piutang terjadi disertai dengan sertifikat bertitel promissory note (PN).
Mariyani menceritakan sejak awal masuknya Archenius pada 2016 lalu, transaksi berjalan lancar. Bahkan, Archenius semakin menambah uangnya (top up) tahun demi tahun. Kemudian hari, tidak hanya Archenius saja yang bergabung. Namun sejumlah orang lain juga ikut serta. Tidak saja istri dan anak-anak Archenius, nama-nama lain juga masuk sebagai pemegang surat perjanjian promisorry note (PN).
Mariyani menjelaskan, ia tak mengenal kliennya selain Archenius, istri dan anaknya. Soalnya, keseluruhan transaksi itu dilakukannya hanya dengan Archenius.
"Begitu uang ditransfer, saya datang menyerahkan berkas promissory note (PN) dan surat perjanjian. Saya serahkan semuanya kepada Pak Napit. Jadi, saya berurusan hanya dengan Pak Napit," kata Mariyani.
Mariyani juga menjelaskan bahwa seluruh bunga yang dihasilkan dikirimkan ke rekening bank atas nama Archenius, bukan ke nama-nama pemegang PN.
Berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut, ada sebanyak 10 orang yang menjadi saksi korban dalam perkara ini. Selain Archenius, istri dan anak-anaknya, terungkap dalam persidangan nama lain yang menjadi pemegang PN adalah karyawan dan mantan karyawan Archenius. Ada juga nama lain yang tidak diketahui memiliki hubungan atau tidak dengan Archenius. Total kerugian kesepuluh orang tersebut berdasarkan dakwaan jaksa mencapai Rp 84,6 miliar.
Gejolak muncul sejak awal 2020 lalu. Kala itu di Tanah Air heboh kasus Asuransi Jiwasraya, Bumi Putra dan Asabri. Juga pandemi Covid-19 mulai menerpa bumi, hingga merontokkan seluruh bisnis dan usaha, kecuali sektor bisnis kesehatan.
Kata Mariyani, ada kesan munculnya kepanikan kliennya, Archenius. Sehingga secara mendadak Archenius ingin menarik dananya yang sudah disetor. Hingga akhirnya, gagal bayar pun terjadi sejak Maret 2020. Bunga tak bisa dibayar, pokok utang pun tak bisa dikembalikan.
Mariyani mengaku ikut panik atas desakan permintaan pencairan dana yang berulang kali terjadi. Ia kerap mendapat telepon dan dimarahi karena tidak sanggup mengembalikan uang. Hingga akhirnya ia pasrah dan melaporkan hal tersebut kepasa bos Fikasa Grup, Agung Bhakti.
"Oleh perusahaan di pusat (Jakarta, red) masalah ini diambil alih. Tapi saya pun tetap takut karena terus dihubungi," kata Mariyani.
Kasus ini pun akhirnya bergulir ke ranah hukum. Pihak Archenius melaporkan masalah ini ke Bareskrim Mabes Polri. Pada Juni 2021, Mariyani ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Bersamaan pula dengan empat orang bos Fikasa Grup 'Empat Salim Bersaudara', yakni Bhakti Salim, Agung Salim, Elly Salim dan Christian Salim ditahan Bareskrim Polri dalam kasus ini.
Dapat Fee 0,5 Sampai 2 Persen
Mariyani mengaku dirinya sebagai marketing mendapat kompensasi berupa fee. Besarnya variatif antara 0,5 hingga 2 persen untuk setiap dana klien yang masuk. Fee sebesar 2 persen diperoleh dari klien baru, sementara fee di bawah 2 persen untuk klien lama yang top up dana.
Mariyani mengaku memiliki mitra yang membantunya. Namun, ia menolak disebut kalau mitra yang membantunya sebagai pegawainya. Ia juga membantah menjadi Kepala Cabang (Branch Manager) Fikasa Grup di Pekanbaru.
"Tidak ada surat keputusan dari pimpinan perusahaan saya ditetapkan sebagai branch manager," kata Mariyani.
Dari pengakuannya, ada sebanyak 50 orang klien yang telah digarapnya di wilayah Riau. Adapun total dana yang masuk dalam program PN itu mencapai Rp 200 miliar.
Sejak bekerja tahun 2016 di Fikasa Grup, Mariyani mengaku mendapat total fee mencapai Rp 8 miliar. Uang itu sebagian besar ia alokasikan untuk ikut program PN. Ia juga sempat menikmati gurihnya bunga PN selama hampir 4 tahun lamanya.
Jaksa penuntut mencatat ada total uang Rp 13 miliar di rekening Mariyani. Namun, isi uang kedua rekening tinggal seratusan juta dan sudah diblokir oleh Bareskrim Polri.
Mariyani mengaku kalau dirinya ikut menjadi pemegang PN dengan jumlah sebesar Rp 14 miliar. Sama dengan pemegang PN lain, uang Mariyani pun ikut terendap di Fikasa Grup.
"Jadi, fee saya selama bekerja saya masukkan ke PN juga," kata Mariyani memelas.
Perkara ini mendudukkan lima terdakwa sebagai pesakitan hukum. Yakni terdiri dari 'Empat Salim Bersaudara' yang merupakan pemilik serta pengurus langsung perusahaan yang kerap disebut dengan Fikasa Grup. Keempat orang terdakwa tersebut yakni Bhakti Salim alias Bhakti yang merupakan Direktur Utama PT Wahana Bersama Nusantara sekaligus juga Direktur Utama PT Tiara Global Propertindo. Terdakwa Agung Salim alias Agung sebagai Komisaris Utama PT Wahana Bersama Nusantara.
Terdakwa ketiga yakni Elly Salim alias Elly selaku Direktur PT Wahana Bersama Nusantara sekaligus Komisaris PT Tiara Global Propertindo. Seorang terdakwa lain dari keluarga Salim yakni Christian Salim selaku Direktur PT Tiara Global Propertindo. Terdakwa kelima bernama Mariyani merupakan manajer marketing kedua perusahaan.
Perkara ini menjerat para terdakwa dengan tiga dakwaan berlapis yakni dakwaan pasal 46 ayat 1 Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Adapun ancaman hukumannya yakni sekurang-kurangnya 5 tahun dan paling lama 15 tahun penjara serta denda sekurang-kurangnya Rp 10 miliar dan paling banyak Rp 200 miliar.
Dakwaan kedua yakni pasal 378 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Sementara dakwaan ketiga yakni pasal 372 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPidana.
Surat dakwaan jaksa penuntut menyebut uang investasi yang dikumpulkan masuk ke dalam sejumlah perusahaan lain yang tergabung dalam Fikasa Grup. Para korban tergiur dengan janji bunga investasi tinggi di atas rata-rata perbankan.
Kelima terdakwa didakwa telah merugikan sebesar Rp 84,9 miliar yang uangnya bersumber dari sebanyak 10 orang miliuner asal Pekanbaru. Mereka dihadirkan langsung secara fisik oleh jaksa penuntut. Berbeda dengan persidangan kasus lainnya, di mana para terdakwa hanya mengikuti sidang secara online alias sidang virtual. (*)