Perlawanan Balik Konglomerat Sawit Indonesia, Gugat Pemerintah Ngaku Rugi Rp 1,7 Triliun
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Tiga Perusahaan berskala besar minyak goreng Indonesia blak-blakan membuka tabir nilai kerugian yang diperoleh.
Memang, polemik kelangkaan minyak goreng beberapa waktu lalu masih menyisakan masalah. Setelah pengusaha ritel menagih pembayaran hutang kepada pemerintah sebesar Rp 344 miliar (untuk 31 perusahaan yang memiliki kurang lebih 45.000 toko yang mengikuti program refaksi minyak goreng 2022), kini pabrikan minyak goreng selaku produsen turut membuka jumalh kerugian yang dialaminya.
Tiga raksasa perusahaan besar itu yakni Wilmar, Musim Mas hingga Permata Hijau Grup mengungkapkan nilai kerugian akibat polemik minyak goreng hampir tembus Rp 2 triliun. Angka ini diperoleh berdasarkan perhitungan dari Kantor Akuntan Publik seperti Ernst & Young.
“Wilmar rugi Rp 947.379.412.161, Permata Hijau Grup Rp 140.823.360.233 dan Musim mas Rp 551.585.768.587, total sekitar Rp 2 triliun," ungkap Kuasa Hukum ketiga perusahaan tersebut, Marcella Santoso, Senin (16/10/23).
Nilai kerugian ini terjadi karena kerap berubahnya regulasi dari pemerintah. Dimulai ketika keluarnya Permendag 01 Tahun 2022 Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Sederhana untuk Kebutuhan Masyarakat pada 11 Januari 2022.
Dari aturan ini produsen dapat menyediakan minyak goreng kemasan sederhana dengan mekanisme Rafaksi subsidi, dimana produsen akan memperoleh Dana Pembiayaan dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) setelah melakukan penjualan kepada konsumen sesuai dengan HET.
"Pertama penetapan HET (Harga Eceran Tertinggi) ditetapkan Rp 14 ribu/liter, padahal biaya produksinya 17 ribu/liter. Pengusaha protes karena setiap liter kita rugi Rp 3 ribu, kata pemerintah tenang aja dibikin peraturan kalian disubsidi BPDPKS, Pokoknya cepat disebarkan. Baru dua Minggu nilai subsidi Rp 800 miliar, dianggap terlalu besar BPDPKS menyubsidi, jadi dibatalkan diganti syarat Persetujuan Ekspor (PE)," tutur Marcella.
Baru satu minggu berjalan, pada 18 Januari aturannya berubah dimana keluar Permendag Nomor 2 Tahun 2022 yang mengatur persyaratan bagi produsen/eksportir CPO dan produk turunannya untuk memperoleh Persetujuan Ekspor melalui domestic market obligation (DMO).
Semula nilai DMOnya sebesar 20% lalu naik menjadi 30%. Berubahnya aturan membuat kewajiban subsidi pemerintah melalui BPDPKS jadi menggantung dan belum terbayarkan hingga kini.
Namun, ketika pabrikan tetap melakukan DMO demi bisa mendapatkan PE hingga keluar PE tersebut, rilis lagi aturan baru Permendag Nomor 12 Tahun 2022 yang mengatur permohonan Perizinan yang masih dalam proses penerbitan tidak dapat diproses lebih lanjut, sehingga ekspor tidak bisa lanjut.
Kerap berubahnya regulasi membuat pabrikan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap Kementerian Perdagangan. Dari dokumen gugatan yang diterima CNBC Indonesia, baik Wilmar, Musim Mas dan Permata Hijau Grup mendaftarkan gugatan pada 18, 19 dan 20 September 2023 lalu. Hingga kini sudah menjalani tiga kali persidangan.
"Goals gugatan bukan untuk memenjarakan Menteri atau Dirjen, nggak. Kalau gugatan dipenuhi hukumannya pemerintah harus mengeluarkan kebijakan untuk memulihkan kerugian kita untuk dasar hukum sebagai pembayaran yang dikeluarkan," ucap Marcella.
Polemik kerugian migor ini mirip seperti utang pemerintah terhadap pengusaha ritel yang mencapai Rp 344 miliar. Pemerintah belum bisa membayarkan utang tersebut karena kerap berubahnya regulasi.
Kejaksaan Agung sampai memberikan legal opinion hingga perlu ada verifikasi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) demi meminimalisir terjadinya salah prosedur pembayaran.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Isy Karim mengatakan sudah menerima surat hasil putusan Kejagung mengenai LO. Isinya mengharuskan pemerintah mengganti utang program minyak goreng satu harga pada 2022 lalu.
"Isinya pemerintah masih punya kewajiban untuk membayarkan tetapi tetap berdasarkan ketentuannya," ujar Isy beberapa waktu lalu. (*)