Gibran Masuk Daftar Cawapres Prabowo, Survei Politik: Butuh Hitung-hitungan Politik!
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Para ketua umum partai politik Koalisi Indonesia Maju akan menggelar pertemuan untuk membahas bakal calon wakil presiden (cawapres) untuk Prabowo Subianto pada, Jumat (13/10/2023).
Forum tersebut tentu akan membahas nama-nama yang diusulkan menjadi pendamping menteri pertahanan itu.
"Kita partai-partai koalisi pada dasarnya itu menyerahkan sepenuhnya soal cawapres kepada Pak Prabowo, tetapi Pak Prabowo kemudian mengajak kepada ketua-ketua umum partai koalisi untuk kemudian membahas agar terjadi musyawarah dan mufakat," ujar Ketua Harian DPP Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad di depan kediaman Prabowo, Jakarta, Kamis (12/10/2023) malam.
Saat ini, sudah beredar empat kandidat bakal cawapres untuk Prabowo. Pertama adalah Airlangga Hartarto yang diusulkan oleh Partai Golkar. Kemudian Partai Amanat Nasional (PA) mendorong Menteri BUMN Erick Thohir. Lalu, sejumlah relawan dan organisasi sayap di Partai Gerindra mengusulkan nama Wali Kota Solo yang juga putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka. Terakhir adalah Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
"Itu beberapa calon memang yang diajukan, sehingga saya pikir pertemuan besok baru merupakan simulasi-simulasi yang kemudian nanti akan diputuskan bersama oleh ketua umum-ketua umum partai koalisi," ujar Dasco.
Selain itu, para ketua umum partai politik di Koalisi Indonesia Maju akan mulai merumuskan waktu yang tepat untuk mengumumkan bakal cawapres dari Prabowo. Termasuk membahas tanggal yang tepat untuk mendaftarkannya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Saya pikir pertemuan besok (Jumat) juga baru merupakan simulasi-simulasi yang nantinya akan diambil suatu keputusan yang bulat antara ketua-ketua umum partai koalisi," ujar Dasco.
Koordinator Juru Bicara Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra mengatakan, saat ini nama bakal cawapres untuk Prabowo sudah mengerucut ke empat nama. Dua di antaranya diusulkan oleh Partai Golkar dan PAN.
"Adapun nama-namanya adalah sebagai berikut, satu, Airlangga Hartarto yang diusung oleh Partai Golkar. Dua, Erick Thohir yang diusung oleh Partai Amanat Nasional," ujar Herzaky.
Dua nama lainnya yang belakangan santer terdengar adalah Gibran Rakabuming Raka dan Khofifah Indar Parawansa.
Partai Demokrat juga mendengar bahwa Prabowo Subianto akan meminta, sekaligus mendengarkan pandangan dari pimpinan tiap-tiap parpol anggota Koalisi Indonesia Maju sebelum memutuskan siapa cawapresnya.
"Tentu saja, kami dari Partai Demokrat juga akan memberikan pertimbangan dan masukan ketika hal tersebut diminta, tapi tentu saja, bagi Partai Demokrat, Bapak Prabowo-lah yang akan memutuskan siapa cawapresnya nanti," ujar Herzaky.
Mencuatnya nama Gibran seiring detik-detik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas minimal usia capres-cawapres memunculkan spekulasi liar. Ia digadang-gadang berpeluang mendampingi Prabowo.
Namun, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi mengatakan, jika MK mengabulkan gugatan itu, tak semata-mata menjadikan Gibran sebagai pendamping Prabowo. Sebab, ada perhitungan sangat detail yang harus dilakukan menteri pertahanan itu.
Namun, jika Prabowo memilih Gibran sebagai bakal cawapresnya, ia melihat dua kemungkinan yang dapat terjadi. Putra sulung Presiden Jokowi itu dapat menjadi aset atau beban elektoral bagi Prabowo pada Pilpres 2024. Gibran akan menjadi beban, kata dia, sebab isu terkait dinasti politik akan terus bergulir hingga pencoblosan pada 14 Februari 2024.
Alih-alih menambah suara, hal tersebut justru berpotensi besar menggerus elektabilitas Prabowo yang saat ini sudah tinggi.
Namun, ada kemungkinan pula Gibran menjadi aset elektoral bagi Prabowo. Sebab ada peluang besar jika basis pemilih Jokowi di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada kontestasi sebelumnya mendukung wali kota Solo tersebut.
"Jadi suara-suara di basis atau kantong Ganjar Pranowo di Jawa Tengah dan Jawa Timur kemungkinan besar yang akan tergerogoti, kalau misalnya Gibran tampil sebagai aset elektoral," ujar Burhanuddin.
Koalisi Indonesia Maju juga perlu melakukan hitung-hitungan yang tepat jika ingin memilih Gibran sebagai bakal cawapres untuk Prabowo. Karena menurut datanya, saat ini, sekira 57 persen pemilih Prabowo saat ini merupakan pendukungnya pada Pilpres 2014 dan 2019, yang notabenenya berseberangan dengan Jokowi.
"Kalau misalnya Gibran menjadi cawapres Pak Prabowo, pertanyaannya, apakah pemilih baru dari basis pendukung Pak Jokowi yang mendukung paket ini lebih banyak atau lebih sedikit, dibanding basis lama Pak Prabowo yang hengkang dengan masuknya Gibran," ujar Burhanuddin.
"Ini butuh hitung-hitungan yang matang yang menurut saya, tidak serta merta melahirkan paket Prabowo-Gibran meskipun MK mengabulkan," sambung guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra setuju bahwa pemimpin pengganti Presiden Jokowi harus melanjutkan pembangunan atau program yang sudah baik. Kendati begitu, dia menegaskan, keberlanjutan itu bukan berarti menempatkan anak keturunan sebagai pengganti.
"Kontinuitas memang harus ada. Tapi, kontinuitas tidak dalam artian orang atau keturunannya," kata Yusril.
Pernyataan Yusril ini mencuat saat putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming, semakin santer dikabarkan akan menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto. PBB diketahui menjadi salah satu partai nonparlemen yang telah mendeklarasikan mendukung Prabowo pada Pilpres 2024.
Dalam kesempatan itu, Yusril juga mengaku tidak setuju dengan keterlibatan Presiden Jokowi dalam penentuan cawapres pendamping Prabowo. Sebab, konsultasi atau permintaan restu kepada presiden itu terkesan menimbulkan dinasti politik.
"Menurut saya, sebenarnya tidak perlu ada hal-hal seperti itu (konsultasi ke presiden). Jadi, politik itu jangan terkesan menimbulkan satu dinasti dan jangan ada restu-restuan (presiden) seperti tadi itu," kata mantan menteri hukum dan HAM itu.
Menurut dia, kandidat cawapres tidak perlu mendapatkan restu presiden pejawat. Yang diperlukan justru komitmen kandidat tersebut untuk melanjutkan program-program yang telah berjalan baik selama pemerintahan Jokowi.
"Yang paling penting, setiap pemimpin itu menyadari bahwa mereka bukan harus merobohkan atau menghapuskan apa-apa yang telah dilakukan oleh pendahulunya. Tapi, dia meneruskan apa yang baik dan tetap hormati apa yang ada itu," kata pakar hukum tata negara itu. (*)