Begini Aturan Lengkap Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan, Masyarakat Bisa Terlibat Ada Cuannya
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Perdagangan karbon kini menjadi langkah penting seiring laju emisi gas rumah kaca (GRK) yang telah menjadi agenda global. Salah satu entitas yang paling terlibat yakni sektor kehutanan.
Aturan tentang perdagangan karbon sektor kehutanan telah dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) lewat beleid Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan. Aturan ini diteken oleh Menteri LHK Siti Nurbaya pada 14 Juni 2023 silam.
Lantas, apa isi substansi aturan tersebut dan bagaimana keterlibatan para pihak, termasuk masyarakat dalam mekanisme perdagangan karbon di sektor kehutanan?
Terbitnya Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2023 merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk
Pencapaian Target Kontribusi yang ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Pemerintah Indonesia sendiri telah menetapkan kontribusi secara nasional pengurangan emisi GRK yang disebut dengan istilah Nationally Determined Contribution (NDC) sebagai komitmen Indonesia bagi penanganan perubahan iklim global untuk mencapai tujuan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change).
Indonesia telah menyampaikan target penurunan emisi GRK ke UNFCCC dengan kemampuan sendiri sebesar 29% dan dengan dukungan internasional sebesar 41%. Kemudian pada 23 September 2022, Indonesia telah menyampaikan peningkatan ambisi penurunan emisi gas rumah kaca melalui dokumen Enhanced NDC dengan kemampuan sendiri 31,89% dan dengan dukungan internasional sebesar 43,20%.
Untuk mencapai target NDC Sektor Kehutanan, KLHK telah berkomitmen untuk mencapai penurunan emisi GRK sebesar -140 juta ton CO2e pada tahun 2030, serta mendukung Net Zero Emission.
Hal tersebut merupakan kontribusi Indonesia dalam agenda perubahan iklim global, yang sesuai dengan visi Indonesia yang lebih ambisius dalam dokumen LTS-LCCR 2050 yaitu melalui aksi mitigasi Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.
Dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2023, perdagangan karbon didefenisikan sebagai mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi GRK melalui kegiatan jual beli unit karbon.
Salah satu agenda dalam pelaksanaan aksi mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan dilakukan melalui perdagangan karbon. Tindakan tersebut dilakukan lewat dua pendekatan yakni pengurangan emisi GRK dan penyimpanan dan/atau penyerapan karbon hutan.
KLHK merumuskan aksi mitigasi perubahan iklim dalam 22 bentuk kegiatan, meliputi:
1. Pengurangan laju deforestasi lahan mineral;
2. Pengurangan laju deforestasi lahan gambut dan mangrove;
3. Pengurangan laju degradasi hutan lahan mineral;
4. Pengurangan laju degradasi hutan lahan gambut dan mangrove;
5. Pembangunan hutan tanaman;
6. Pengelolaan hutan lestari;
7. Rehabilitasi dengan rotasi;
8. Rehabilitasi nonrotasi;
9. Restorasi gambut;
10. Perbaikan tata air gambut;
11. Rehabilitasi mangrove;
12. Aforestasi pada kawasan bekas tambang;
13. Pembangunan persemaian permanen;
14. Rehabilitasi tanaman di bawah 5 tahun;
15. Konservasi keanekaragaman hayati;
16. Perhutanan sosial;
17. Pendampingan pada hutan adat;
18. Introduksi replikasi ekosistem;
19. Pembangunan ruang terbuka hijau;
20. Ekoriparian;
21. Pengawasan dan penegakan hukum untuk
mendukung perlindungan dan pengamanan
kawasan hutan;
22. Kegiatan lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selanjutnya, perdagangan karbon sektor kehutanan dilakukan pada sub sektor kehutanan dan sub sektor pengelolaan gambut dan mangrove.
Untuk dalam melakukan perdagangan karbon melalui sub sektor kehutanan dan sub sektor pengelolaan gambut dan mangrove, dapat melibatkan atau mencakup sejumlah entitas kehutanan. Yakni meliputi:
1. Kawasan hutan negara yang tidak dibebani
perizinan, persetujuan atau hak pengelolaan;
2. Areal kerja unit perizinan/ persetujuan;
3. Areal kerja hak pengelolaan;
4. Kawasan hutan adat;
5. Areal hutan hak; dan
6. Hutan negara yang bukan merupakan kawasan hutan.
Tata Pelaksanaan Perdagangan Karbon
Perdagangan karbon sektor kehutanan dilakukan melalui dua mekanisme yakni perdagangan emisi dan offset emisi GRK.
Adapun objek perdagangan karbon sektor hutananan tersebut dilakukan terhadap entitas kehutanan, meliputi:
1. Kawasan hutan produksi tetap, kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan blok pemanfaatan kawasan hutan lindung yang telah dibebani PBPH, persetujuan pengelolaan perhutanan sosial, atau hak pengelolaan;
2. Kawasan hutan produksi tetap, kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi, dan blok pemanfaatan kawasan jutan lindung yang belum dibebani PBPH, Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial, atau hak pengelolaan;
3. Blok Kawasan Hutan lindung lainnya;
4. Kawasan gambut dan mangrove yang berada di dalam kawasan hutan;
5. Kawasan gambut dan mangrove yang berada di luar kawasan hutan;
6. Kawasan hutan konservasi;
7. Hutan adat;
8. hutan hak; dan
9. Hutan negara yang bukan merupakan kawasan hutan.
Dalam pelaksanaan perdagangan karbon di 9 entitas kehutanan tersebut, pelaksana perdagangan karbon harus memenuhi sejumlah
ketentuan, antara lain:
1. Bagi pemegang PBPH, hak pengelolaan, dan pemilik hutan hak milik harus memiliki sertifikat pengelolaan hutan lestari, sertifikat legalitas hasil hutan, atau deklarasi hasil hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. Bagi pemegang Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial paling rendah memperoleh klasifikasi silver dalam penyelenggaraan perhutanan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
3. Bagi masyarakat hukum adat, pemegang Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial, dan masyarakat pemilik hutan hak yang melakukan usaha dan/atau kegiatan Offset Emisi GRK harus mendapat pendampingan atau mitra yang memiliki pengalaman atau keahlian terkait pengukuran karbon, perencanaan dan pelaksanaan proyek atau mengakses pasar karbon.
Dalam upaya pelibatan masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat, pemerintah melakukan fasilitasi untuk peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam pelaksanaan
perdagangan karbon sektor kehutanan.
Adapun bentuk fasilitasi yang diberikan pemerintah dilakukan dalam tahapan perencanaan kegiatan, pelaksanaan kegiatan; dan/atau pelaporan kegiatan.
Perdagangan Emisi dan Offset Emisi
Pendekatan yang dapat digunakan untuk mendukung pengendalian perubahan iklim yaitu melalui implementasi kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Di dalamnya termasuk mekanisme penurunan emisi dengan skema perdagangan karbon.
Perdagangan karbon memiliki dua mekanisme utama yakni perdagangan emisi dan offset emisi.
Dalam mekanisme perdagangan emisi atau yang biasa disebut juga sebagai sistem cap and trade, para pelaku usaha wajib mengurangi emisi GRK dengan ditetapkannya Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) atau emission cap.
Misalnya, pada sub-sub sektor pengelolaan gambut dan Mlmangrove), bagi pelaku usaha yang memiliki areal gambut yang telah rusak akan diberikan alokasi sejumlah emisi GRK sesuai batas atas emisi yang dapat dilepaskan/ dikeluarkan (cap). Sementara pada akhir periode, pelaku usaha tersebut harus melaporkan jumlah emisi GRK Aktual yang telah mereka lepaskan.
Pelaku usaha yang melepaskan emisi GRK yang lebih besar dari batas atas yang telah ditentukan baginya (defisit) maka harus membeli surplus emisi GRK dari pelaku usaha lain.
Sementata dalam mekanisme offset emisi (offset karbon) yang diperjualbelikan adalah unit karbon yang dihasilkan dari penurunan emisi atau peningkatan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon setelah target NDC untuk sub-sub sektor telah tercapai dan terdapat surplus penurunan emisi.
Penurunan emisi GRK ini diperoleh melalui pelaksanaan kegiatan/ aksi mitigasi pengendalian perubahan iklim. Oleh karena itu biasanya pada awal aksi mitigasi yang dilakukan, pelaku usaha harus bisa membuktikan terkait praktik atau teknologi yang digunakan (common practice).
Adapuj langkah pembuktian praktik teknologi yang digubakan meliputi penerapan praktik/ teknologi/ kegiatan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon yang dilakukan sebelum adanya aksi mitigasi untuk mengetahui emisi baseline aktual untuk kemudian pada akhir periode, diukur/ divalidasi/ diverifikasi pencapaian dari hasil aksi mitigasinya melalui proses yang biasa disebut Monitoring, Reporting and Verification (MRV).
Penurunan emisi dari penyerapan dan/ atau penyimpanan karbon ini kemudian sesuai dengan peraturan perundangan diterbitkan karbon kredit berupa Sertifikasi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) untuk kemudian dapat diperdagangankan oleh pelaku usaha, dijual atas surplus penurunan (offset) emisinya kepada pelaku usaha lain, sehingga pembeli bisa mengklaim telah mengurangi tingkat emisi GRK-nya. (*)