Pembangkit Listrik Ikut Dagang Bursa Karbon, Ini Potensi Masalah yang Muncul
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Perdagangan karbon dinilai menimbulkan konsekuensi yang perlu menjadi perhatian bersama, terutama dari sisi biaya maupun tarif listrik di masa depan.
Sebelumnya, Bursa Karbon Indonesia yang diresmikan oleh Pemerintah Indonesia pada pekan lalu, 26 September 2023, dinilai sebagai langkah tepat untuk mencapai target Net Zero Emissions (NZE) di 2060 dan baik untuk lingkungan.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan bahwa di balik keuntungan dari peresmian Bursa Karbon Indonesia, pemerintah perlu pula menilik konsekuensi yang mungkin saja terjadi di segala aspek.
"Nah tentu ada positif di aspek lain, juga ada hal lain konsekuensinya yang perlu diantisipasi oleh pemerintah, karena kan ini nanti pasti akan ada impact-nya ke BPP (Biaya Pokok Penyediaan) tenaga listriknya. Kalau sebelumnya katakanlah tidak ada biaya tambahan, dengan adanya bursa karbon ini kan tentu akan ada tambahan," jelasnya dalam program Energy Corner CNBC Indonesia, Selasa (03/10/2023).
Dia menjelaskan, sebelum adanya perdagangan di Bursa Karbon ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah menerbitkan baku mutu untuk lingkungan di semua sektor, termasuk sektor kelistrikan.
"Untuk memenuhi standar yang ditetapkan Permen (Peraturan Menteri) LHK pada saat itu, kajian dari teman-teman PLN kan menyampaikan akan ada tambahan paling tidak sekitar Rp 115-Rp 120 per KWH dengan memenuhi standar itu, begitu. Itu baku mutu setelah ditetapkan," paparnya.
"Nah ini makanya nanti tergantung nih, karbonnya kira-kira capping-nya ditetapkan di berapa, terus kemudian selisihnya berapa, itu yang tentu akan menjadi additional cost bagi teman-teman di sektor kelistrikan," imbuhnya.
Belum lagi, lanjutnya, mayoritas pembangkit listrik di Indonesia masih berbasis fosil, terutama batu bara, yakni mencapai sekitar 70%, maka menurutnya potensi adanya tambahan biaya karena perdagangan karbon juga perlu dipertimbangkan pemerintah.
"Nah ini yang saya kira harus dicermati oleh pemerintah, kan di sisi lain kita betul kalau perspektifnya dari sudut pandang lingkungan ini sangat bagus, tetapi kita kan juga harus membalancing, karena ada aspek sosial, ada ekonomi, ada daya beli masyarakat, termasuk juga nanti kelangsungan bisnis dari teman-teman IPP ya," jelasnya.
Dia mengungkapkan bahwa bursa karbon di dalam negeri harus bisa berjalan optimal di segala aspek, sehingga untung-rugi dalam skema ini terhitung dengan baik.
"Jadi harus dilihat dari semua aspek dari sudut pandang, kira-kira yang paling optimal di mana, tentu nanti harus diseimbangkan ya, kira-kira di titik mana, berapa yang harus dibayar, berapa yang katakanlah tahapannya ini menjadi penting supaya semua pihak bisa berjalan secara optimal," tuturnya.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membeberkan pihaknya sedang menyiapkan aturan baru mengenai perdagangan karbon di Bursa Karbon dalam negeri. Peraturan tersebut akan berisi tentang batas atas perdagangan yang dilakukan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, saat ini pihaknya sedang merumuskan batasan atas karbon untuk pembangkit. Dia mengatakan bahwa batasan atas untuk pembangkit listrik berbeda-beda sesuai dengan kapasitas masing-masing pembangkit.
"Kan ada beberapa kelas. Misalkan batasnya 1,05 kg co2/kwh dan dia lebih dari situ, maka dia harus menurunkan. Kalau lebih (dari batas atas), maka harus turunkan, dengan mencari dari PLTU di bawah dari batasan tadi, ini mekanismenya perdagangan," jelas Dadan saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (29/9/2023).
Selain itu, Dadan juga mengatakan bahwa peluncuran mekanisme bursa karbon dalam negeri baru-baru ini sudah mulai diberlakukan di sektor ESDM, sehingga pihaknya nantinya akan mendorong perdagangan karbon dari sektor energi dalam negeri. (*)