Pidato Iklim Jokowi Dinilai Cuma Gimmick dan Solusi Semu, Ini Data Greenpeace
SABANGMERAUKE - Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berfokus pada masalah lingkungan, Greenpeace Indonesia, menilai bahwa pidato Presiden Jokowi di KTT PBB terkait perubahan iklim (COP26) pada awal bulan ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam membenahi krisis iklim.
Pada Senin (1/11/2021), Jokowi tampil di COP26 di Glasgow, Skotlandia, untuk menyampaikan pidatonya terkait komitmen dan capaian pemerintah Indonesia dalam mencegah krisis iklim. Ia menjelaskan bahwa Indonesia telah mampu menekan tingkat deforestasi, kebakaran hutan, hingga komitmen untuk beralih ke sektor energi yang lebih bersih seperti pengembangan kendaraan listrik, peralihan ke biofuel, dan pembangunan industri hijau di Kalimantan Utara.
Namun, pidato Jokowi tersebut dianggap mencerminkan ketidakseriusan pemerintah Indonesia dalam mencegah krisis iklim, menurut Greenpeace Indonesia. LSM tersebut menilai Jokowi hanya gimmick.
“Sebagai bagian dari 20 ekonomi terbesar di dunia, dan 10 negara pengemisi terbesar, seharusnya Indonesia memimpin dengan komitmen ambisius dan aksi nyata untuk dekarbonisasi ekonominya. Yaitu dengan berkomitmen untuk mencapai karbon netral pada 2050, menghentikan dominasi batubara pada sektor energi, dan tidak menggantungkan diri pada perdagangan karbon yang merupakan solusi palsu terhadap krisis iklim,” ucap Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia, dalam keterangan resminya.
Greenpeace Indonesia juga menyampaikan sejumlah bantahan dalam klaim yang disampaikan Jokowi di dalam pidato. Dalam hal deforestasi, misalnya, Jokowi mengeklaim bahwa laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir.
Menurut catatan situs pemantau hutan Global Forest Watch, Indonesia memang mengalami tren penurunan kehilangan hutan primer sejak 2017 lalu. Pada 2020, Indonesia kehilangan 270 ribu hektare hutan primer, sedikit lebih rendah ketimbang catatan pada 2000 yang berjumlah 272 ribu hektare.
Namun, sejak 2000 hingga 2020, Indonesia telah kehilangan 10 persen hutan primernya atau sekitar 9,75 juta hektare. Global Forest Watch juga mencatat bahwa dari tahun 2001 hingga 2020, Indonesia kehilangan 27,7 juta hektare tutupan pohon, membuat tutupan pohon di Indonesia berkurang 17 persen sejak tahun 2000.
Sejak 2001 hingga 2019, sebanyak 94 persen kehilangan tutupan pohon di Indonesia terjadi akibat deforestasi, menurut catatan Global Forest Watch. Dan pada 2019, deforestasi di Indonesia lebih tinggi dibanding tahun 2001, meski Global Forest Watch mencatat ada perubahan metode pengumpulan data.
"Deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta ha (2003-2011) menjadi 4,8 juta ha (2011-2019). Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk menekan laju deforestasi," kata Greenpeace dalam keterangan resminya.
"Tren penurunan deforestasi dalam rentang 2019-2021, tidak lepas dari situasi sosial politik dan pandemi yang terjadi di Indonesia sehingga aktivitas pembukaan lahan terhambat. Faktanya dari tahun 2002-2019, saat ini terdapat deforestasi hampir 1,69 juta hektar dari konsesi HTI dan 2,77 juta hektar kebun sawit.”
Perihal penurunan kebakaran hutan, Jokowi mengeklaim bahwa kebakaran hutan turun 82 persen di tahun 2020.” Namun bagi Greenpeace, penurunan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada 2020 (sekitar 296.942 hektare, setara dengan empat kali luas Jakarta) dibantu oleh anomali La Nina yang membuat musim kemarau jadi lembab dan bukan semata-mata karena upaya langsung pemerintah.
"Indonesia sulit berharap terbebas dari karhutla tahunan dalam waktu dekat, pasalnya pemerintah masih bersikap permisif memberi kelonggaran kepada industri menggarap lahan gambut," pungkas Greenpeace.
Penelitian Greenpeace Indonesia pada Maret 2021 mengungkapkan hampir sepertiga dari Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) di tujuh provinsi prioritas restorasi gambut, berada pada level kritis yang disebabkan penggunaan lahan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan sawit skala besar.
Gimmick Energi Bersih
Greenpeace Indonesia juga menyoroti rencana pemerintah beralih ke sektor energi bersih. Sebab, menurut mereka peralihan tersebut tetap berakar pada penggunaan energi kotor.
Perihal janji Jokowi untuk Indonesia beralih ke kendaraan listrik, misalnya, dianggap Greenpeace bukan sebagai solusi karena sektor kelistrikan Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, khususnya batu bara.
"Bauran energi batu bara pada kelistrikan saat ini mencapai 67% dan tetap mendominasi hingga tahun 2030, yaitu sebesar 59%," kata Greenpeace.
Untuk itu, jika pengembangan mobil listrik tersebut dilakukan dengan kondisi jaringan yang masih brown, maka tujuan pengurangan emisi secara signifikan tidak akan tercapai karena hal tersebut sama saja dengan memindahkan emisi dari sektor transportasi ke sektor pembangkitan listrik.
Greenpeace juga menganggap komitmen pemerintah Indonesia yang disampaikan Jokowi untuk beralih ke biofuel sebagai solusi semu karena akan menaikkan laju deforestrasi.
"Jika melihat dari program biodiesel pemerintah yang berbasis minyak sawit, biodiesel yang level blending 30%, akan memerlukan 5,2 juta Ha di atas 16 juta Ha perkebunan sawit yang sudah ada, jika menggunakan skenario tambahan blending 50% maka akan ada penambahan 9 juta Ha pada tahun 2025 di atas perkebunan sawit yang sudah ada," kata LSM tersebut.
Terkait rencana pembukaan industri hijau di Kalimantan Utara, Greenpeace menilai bahwa Jokowi di dalam pidatonya masih terjebak pada proyek-proyek rekor seperti PLTS terbesar dan kawasan industri hijau terbesar. LSM tersebut menganjurkan bahwa pemerintah seharusnya menempuh transisi ke ekonomi hijau dalam bentuk perubahan kebijakan mendasar, dan implementasinya seperti transisi energi secara masif dan cepat, untuk mencapai zero emission di 2050.
Hal ini menunjukkan Presiden Jokowi belum memiliki komitmen serius dan masih menjadikan isu krisis iklim sebagai isu pinggiran dan solusinya sebagai gimmick.
Indonesia sendiri termasuk salah satu negara yang dinilai gagal mengatasi krisis iklim, menurut analisis terbaru dari grup riset Climate Action Tracker (CAT). Indonesia masuk ke dalam kategori negara dengan target dan tindakan yang sangat tidak mencukupi untuk melaksanakan Perjanjian Paris pada 2015 guna menekan emisi dan peningkatan suhu bumi.
Dalam laporannya yang dirilis September lalu, CAT menganalisis nationally determined contributions (NDC) dari 37 negara. NDC merupakan upaya setiap negara untuk mengurangi emisi nasional dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. Faktor yang dinilai CAT meliputi target domestik, kebijakan dan tindakan, hingga pendanaan mitigasi iklim.
Indonesia memiliki capaian yang buruk di semua faktor yang dinilai oleh CAT. Meski kategori penilaian Indonesia secara umum bukanlah yang paling buruk, banyak aspek yang CAT anggap sangat tidak memadai yang merupakan nilai terburuk.
"Peringkat sangat tidak mencukupi menunjukkan bahwa kebijakan dan komitmen iklim Indonesia mengarah pada peningkatan, bukannya penurunan, emisi dan sama sekali tidak konsisten dengan batas suhu 1,5 derajat Celsius Perjanjian Paris," kata laporan CAT.
"Jika semua negara mengikuti pendekatan Indonesia, pemanasan (global) akan melebihi 4 derajat Celsius." (*)
BERITA TERKAIT :
Dua Tahun Pemerintahan Jokowi-Amin
Rapor Merah Penegakan Hukum Duet Jokowi-Ma'ruf, Rakyat Paling Tidak Puas