Kepala BPN Riau Syahrir Bantah Terima Uang Rp 1,2 Miliar dari PT Adimulia Agrolestari, Bisakah KPK Menjeratnya dengan Pasal Suap?
SabangMerauke News, Pekanbaru - Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) BPN/ ATR Provinsi Riau, Syahrir membantah pengakuan General Manager PT Adimulia Agrolestari, Sudarso tentang pemberian uang sebesar Rp 1,2 miliar kepada dirinya. Syahrir bahkan menyebut pernyataan Sudarso itu fitnah. Pemberian uang menurut Sudarso terkait proses perpanjangan hak guna usaha (HGU) PT Adimulia Agrolestari yang sedang diproses oleh Kanwil BPN Riau.
"Tidak ada saya menerima uang. Itu fitnah," kata Syahrir saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Kamis (3/2/2022) lalu.
BERITA TERKAIT: Terkuak! Kepala Kanwil BPN Riau Syahrir Terima Rp 1,2 Miliar dari PT Adimulia Agrolestari Terkait Perpanjangan HGU
Sudarso dalam keterangannya di persidangan menyebut pemberian uang terjadi sebelum rapat koordinasi BPN Riau dengan Panitia B di Hotel Prime Park, Pekanbaru pada 3 September lalu. Terungkap di persidangan, hampir seluruh peserta rapat telah menerima guyuran uang dari PT Adimulia Agrolestari. Angkanya bervariasi mulai dari Rp 2,5 juta sampai Rp 120 juta. Uang tersebut oleh para peserta rapat yang dijadikan saksi dalam perkara ini, telah dikembalikan ke rekening penampungan KPK.
BERITA TERKAIT: HGU Perkebunan di Riau Dilumuri Dugaan Suap, Akademisi: Memalukan, Rakyat Dikhianati!
Sudarso menjadi pesakitan dalam perkara rasuah ini. Dia didakwa memberikan suap kepada Bupati Kuansing non-aktif, Indra Putra yang juga sudah berstatus tersangka dan ditahan.
BERITA TERKAIT: Suap HGU PT Adimulia Agrolestasi: Kepala BPN Kampar Sutrilwan Sebut Uang Rp 75 Juta Bantuan untuk Perbaiki Plafon Kantor
Tudingan pemberian uang kepada Syahrir tersebut dinilai sejumlah pihak sulit untuk dibuktikan. Apalagi jika tidak ada saksi yang mengetahui dan melihat adanya dugaan transaksi gelap antara Sudarso dengan Syahrir tersebut.
Dalam hukum disebut istilah 'unus testis nullus testis'. Arti umumnya yakni 'satu saksi bukan saksi'. Jika keterangan saksi hanya berdiri sendiri tanpa dukungan alat bukti lainnya maka tidak memiliki kekuatan pembuktian.
BACA JUGA: Penjarah Hutan Riau Jangan Berlindung di UU Cipta Kerja, Ini Defenisi 'Keterlanjuran' Menurut Hukum
Meski demikian, pakar hukum pidana, Dr Muhammad Nurul Huda optimis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan dapat mengejar pembuktian dari pengakuan Sudarso tersebut. Menurut Nurul Huda, pengakuan Sudarso sangat penting untuk didalami dan seharusnya memang wajib dituntaskan.
"Keterangan dalam persidangan menjadi fakta yang harus ditindaklanjuti agar penyidikan kasus tidak menggantung. Jadi memang harus dituntaskan. Apalagi, ini adalah perkara KPK yang menjadi perhatian publik. Juga menyangkut soal perizinan di sektor sumber daya alam, yakni tanah. Ini menjadi atensi," kata Nurul Huda, Jumat (4/2/2022).
BERITA TERKAIT: Suap HGU PT Adimulia Agrolestari Tersangka Bupati Kuansing: Pegawai BPN Dikabarkan Ramai-ramai Kembalikan Uang ke KPK!
Nurul Huda menganalisis pola KPK dalam pengusutan kasus ini. Menurutnya, KPK sementara berfokus untuk pembuktian adanya tindak pidana korupsi yakni dugaan suap kepada Bupati Kuansing non-aktif, Andi Putra.
"KPK memiliki strategi dan teknik variatif dalam mengusut setiap kasus korupsi. Ada yang seperti makan bubur dari pinggir. Ada yang diawali dari tengah dan kembali lagi ke pinggir. Jadi, tergantung pada jenis dan karakteristik kasusnya," jelas Nurul Huda yang merupakan Direktur Forum Masyarakat Bersih (Formasi) Riau.
BERITA TERKAIT: Sekda Kuansing Agusmandar Terima Uang dari PT Adimulia Agrolestari, Sidang Suap HGU ke Bupati Andi Putra
Selain itu menurut Nurul Huda, KPK pasti telah melakukan asset tracing (pelacakan aset) pihak-pihak dan aktor yang diduga menerima suap dari kasus tersebut. Pelacakan aset tidak saja ke pribadi orang-orang yang diduga terlibat langsung.
"Tapi juga dari orang terdekat, orang-orang tertentu yang memiliki intensi komunikasi dengan terduga. Termasuk juga keluarga dan orang sekitarnya. Jadi, pelacakan aset termasuk rekening akan lebih luas. Dari situ akan ditemukan bukti petunjuk yang menguatkan keterangan dalam fakta persidangan saksi," jelas Nurul.
BERITA TERKAIT: Cerita Lengkap Suap Bupati Kuansing Andi Putra dari PT Adimulia Agrolestari: Bos Perusahaan Sepakat Beri Rp 1,5 Miliar
Apalagi kata Nurul, KPK dengan teknik penyadapan dipastikan telah mengantongi bukti petunjuk berupa terjadinya komunikasi lisan maupun langsung sebelum tindak pidana korupsi terjadi.
"KPK punya perangkat itu semua. Apalagi ini kasus OTT. Jadi sangat fix dan informasi sudah dikantongi sebelumnya. Kita berharap KPK menuntaskan kasus ini dan menindaklanjuti fakta persidangan yang terungkap," tegas Nurul Huda.
Diwartakan sebelumnya, persidangan kasus suap perizinan hak guna usaha (HGU) PT Adimulia Agrolestari dengan terdakwa Sudarso kian membuka fakta baru. Guyuran uang baik dalam jumlah besar maupun recehan terungkap dari pemeriksaan sejumlah saksi dalam sidang yang digelar, Kamis (3/2/2022) kemarin.
Adalah Kepala Dinas Perkebunan Riau, Zulfadli yang mengaku menerima uang Rp 10 juta. Uang tersebut diterima usai rapat koordinasi BPN Riau dengan Panitia B Provinsi Riau di Hotel Prime Park, Pekanbaru pada 3 September 2021 lalu. Zulfadli mengaku menerima uang yang diambil lewat anak buahnya. Uang diserahkan saat dirinya sudah masuk ke dalam mobil.
"Saya terima Rp 10 juta, Yang Mulia," kata Zulfadli menjawab pertanyaan ketua majelis hakim, Dr Dahlan SH, MH.
Hakim Dahlan lantas menanyakan Zulfadli soal hasil dari rapat koordinasi apakah dirinya mengetahui isinya. Zulfadli berkilah kalau saat hasil rapat koordinasi dibacakan, dirinya sedang di luar ruangan rapat.
"Izin, Yang Mulia. Saat hasil rapat dibacakan saya gak di ruangan. Saya sedang merokok-rokok di dekat restoran," kata Zulfadli.
Hingga akhirnya hakim Dahlan membacakan hasil rapat koordinasi tersebut. Poin utamanya yakni seluruh peserta rapat menyetujui perpanjangan HGU PT Adimulia Agrolestari.
"Benar itu hasil rapatnya?" tanya hakim Dahlan.
"Iya, Yang Mulia," jawab Zulfadli.
Sidang kemarin juga mengungkap adanya uang yang diterima oleh anak buah Zulfadli yakni Sri Ambar Kusumawati. Pejabat Dinas Perkebunan Provinsi Riau ini mengaku menerima uang sebesar Rp 2,5 juta. Sri Ambar ikut dalam komposisi Panitia B Provinsi Riau.
Kepada SabangMerauke News, Zulfadli tak menjawab pertanyaan apakah uang Rp 10 juta itu telah ia kembalikan lewat rekening KPK. Ia hanya diam sambil menuruni tangga keluar ruangan sidang.
Sementara, Sri Ambar mengaku telah mengembalikan uang Rp 2,5 juta yang ia terima dari PT Adimulia Agrolestari ke KPK. Sri Ambar menyatakan uang itu adalah merupakan uang transportasi.
"Sudah saya kembalikan ke rekening KPK. Itu uang transportasi," kata Sri Ambar.
Dalam sidang kemarin, Kepala Kantor Wilayah BPN/ ATR Provinsi Riau, Syahrir juga disebut telah menerima uang sebesar Rp 1,2 miliar dari terdakwa Sudarso yang merupakan General Manager PT Adimulia Agrolestari. Kesaksian mengejutkan itu disampaikan langsung oleh Sudarso. Awalnya, jaksa penuntut KPK juga menanyakan hal itu ke Syahrir yang hadir sebagai saksi.
"Benar, Yang Mulia. Saudara Kepala Kanwil BPN Riau, Syahrir menerima uang sebesar Rp 1,2 miliar," kata Sudarso.
Ketua majelis hakim, Dr Dahlan SH, MH menanyakan untuk apa pemberian uang tersebut.
"Ya, terkait perpanjangan HGU perusahaan, Yang Mulia," kata Sudarso yang mengikuti sidang secara virtual dari rutan KPK Pomdam Guntur, Jakarta.
Kesaksian Sudarso tersebut pun dibantah keras oleh Kakanwil BPN/ ATR Provinsi Riau, Syahrir. Ia menegaskan, tuduhan itu sebagai fitnah.
"Tidak ada saya menerima uang. Itu fitnah," kata Syahrir.
Hakim Dahlan pun tak larut dalam bantahan Syahrir itu.
"Ya, terserah jaksa penuntut lah. Kalau kita lanjutkan saling bantah, gak selesai. Terserah kalian lah," kata Dahlan.
Ditemui SabangMerauke News usai sidang, Syahrir tetap bersikukuh membantah ia menerima uang.
"Gak ada. Kerjaan aja belum selesai, mana ada saya menerima uang. Itu fitnah," kata Syahrir.
Diwartakan dalam sidang sebelumnya, Mantan Kepala Kantor Pertanahan (BPN) Kampar, Sutrilwan juga mengaku menerima uang dari General Manager PT Adimulia Agrolestari, Sudarso sebesar Rp 75 juta. Sutrilwan berdalih uang itu sebagai bantuan dari Sudarso untuk perbaikan atap plafon Kantor BPN Kampar yang rusak. Sutrilwan kini menjabat sebagai Kepala Tata Usaha Kanwil ATR/ BPN Riau
Fakta keterangan itu terungkap dalam persidangan lanjutan kasus suap perizinan hak guna usaha (HGU) PT Adimulia Agrolestari. Adapun yang menjadi terdakwa adalah Sudarso yang ditangkap KPK pada 18 Oktober 2021 lalu.
Saat diperiksa sebagai saksi dalam persidangan, Rabu (19/1/2022) di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Sutrilwan mengaku bertemu dengan Sudarso yang menanyakan soal surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT) di Kantor Pertanahan Kampar. Kala itu, diketahui kalau lokasi kebun sawit PT Adimulia ternyata sebagian sudah berada di Kabupaten Kuansing yang awalnya pada saat HGU diterima tahun 1994 lalu, seluruh areal kebun berada di Kabupaten Kampar.
Atas dasar itulah, Sutrilwan meminta agar Sudarso mengajukan pemecahan sertifikat HGU ke Kanwil ATR/ BPN Provinsi Riau. Jaksa KPK kepada SabangMerauke News juga menyebut pemberian uang kepada Sutrilwan dilakukan pada saat pemecahan sertifikat HGU PT Adimulia Agrolestari.
Semula PT Adimulia hanya mengantongi sertifikat hak guna usaha (HGU) kebun sawit dengan nomor 00008 tanggal 8 Agustus 1994 seluas 3.952 hektar di Kabupaten Kampar. HGU itu berlaku selama 30 tahun atau akan berakhir pada 8 Agustus 2024 mendatang.
Namun, pada tahun 2019 terjadi perubahan batas wilayah Kabupaten Kampar dengan Kabupaten Kuansing. Ini mengakibatkan terjadi pemecahan sertifikat HGU karena sebagian besar areal kebun PT Adimulia Agrolestari telah beralih menjadi wilayah Kabupaten Kuansing.
Adapun sertifikat yang dipecah menjadi sertifikat HGU nomor 10009 seluas 874,3 hektar, sertifikat HGU nomor 10010 seluas 105,6 hektar dan sertifikat HGU nomor 10011 seluas 256,1 hektar. Ketiga sertifikat tersebut diterbitkan pada 14 Oktober 2020 dengan lokasi baru di Desa Sukamaju Kecamatan Singingi Hilir, Kuansing.
"Pemberian uang ke saudara STW (Sutrilwan, red) saat pemecahan sertifikat tersebut. Uangnya sudah dikembalikan melalui KPK," kata jaksa penuntut KPK kepada SabangMerauke News.
Sutrilwan yang kini menjabat sebagai Kepala Tata Usaha Kanwil ATR/ BPN Riau mengakui kalau Sudarso datang kembali ke Kantor Pertanahan/ BPN Kampar dan memberikan uang sebesar Rp 75 juta kepada dirinya.
“Saat itu kami sedang merenovasi kantor. Sudarso bermaksud membantu biaya perbaikan plafon yang sudah mau lepas. Anggaran waktu itu juga tak cukup,” kata Sutrilwan seraya menyatakan kalau fulus itu sudah dikembalikan ke KPK saat kasus ini geger.
Alasan Sutrilwan yang menyebut uang Rp 75 juta untuk perbaikan kantor BPN Kampar pun dipertanyakan oleh ketua majelis hakim, Dr Dahlan SH, MH. Menurut hakim Dahlan, pemberian uang itu menimbulkan konflik kepentingan terkait urusan PT Adimulia di Kantor Pertanahan/ BPN Kampar.
Diwartakan sebelumnya, PT Adimulia Agrolestari diduga kuat telah menggencarkan aksi bagi-bagi uang ke sejumlah pejabat pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Negara (BPN) Riau. Diduga aksi tebar uang untuk memuluskan perpanjangan hak guna usaha (HGU) perusahaan yang akan habis pada 2024 mendatang.
Ikhwal aksi tebar uang ini terungkap dalam persidangan lanjutan dengan terdakwa General Manajer PT Adimulia Agrolestari, Sudarso di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Rabu (19/1/2022). Lima orang saksi dimintai keterangannya. Tiga di antaranya mengaku mendapat uang dari PT Adimulia Agrolestari, termasuk Sutrilwan.
Nama lain yang disebut menerima uang 'jajan' dari perusahaan yakni Kepala Seksi Pendaftaran dan Penetapan Hak Kantor Pertanahan/ BPN Kuansing, Ibrahim Dasuki. Ia disebut oleh jaksa KPK menerima uang sebesar Rp 3 juta.
Sementara, Plt Sekda Kabupaten Kuansing, Agusmandar disebut kecipratan uang sebesar Rp 15 juta. Ketiga orang tersebut telah mengembalikan uang pemberian PT Adimulia Agrolestari ke KPK, setelah geger perkara yang menetapkan Bupati Kuansing non-aktif, Andi Putra sebagai tersangka suap.
Andi Putra sendiri dalam ekspos perkara di KPK disebut telah menerima uang sebesar Rp 500 juta dari janji hadiah uang keseluruhan sebesar Rp 1,5 miliar. Diduga pencairan uang tahap kedua sebesar Rp 250 juta gagal diberikan ke Andi Putra karena Sudarso lebih dulu tertangkap pada 18 Oktober lalu.
Uang yang sudah dicairkan sebesar Rp 250 juta diduga diperintahkan oleh Komisaris yang juga owner PT Adimulia Agrolestari, Frank Wijaya diperintahkan untuk disetor kembali ke rekening perusahaan hari itu juga. Surat dakwaan jaksa KPK menyebut pemberian uang kepada Andi Putra diketahui dan seizin Frank Wijaya.
Pemberian uang kepada Pelaksana Tugas (Plt) Sekdakab Kuansing Agusmandar dilakukan saat rapat ekspos yang digelar Kanwil BPN/ ATR Riau di Prime Park Hotel, Jalan Sudirman, Pekanbaru pada 3 September 2021 lalu. Rapat dipimpin dan atas dasar undangan Kepala Kanwil Kementerian ATR/BPN Riau Syahrir. Syahrir sudah 3 kali diperiksa oleh penyidik KPK.
Amplop berisi uang Rp 3 juta diterima oleh Kepala Seksi Pendaftaran dan Penetapan Hak Kantor Pertanahan/ BPN Kuansing, Ibrahim Dasuki saat hadir dalam rapat ekspos berjudul perpajangan HGU PT Adimulia tersebut.
Refman Basri, penasihat hukum Sudarso enggan mengomentari soal aksi tebar uang oleh kliennya yang merupakan petinggi PT Adimulia Agrolestari. Ia hanya menyebut kalau kliennya merupakan korban dalam kasus rasuah ini.
"Nantilah aku tanya dulu soal itu (bagi-bagi uang, red). Klien saya kan korban sebenarnya," kata Refman usai sidang.
Dalam dakwaannya, jaksa KPK menyebut Sudarso telah memberikan janji dan uang kepada Andi Putra. Ia didakwa dua pasal alternatif yakni pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kronologis Kasus Suap
Surat dakwaan jaksa KPK memuat kronologis terjadinya awal mula suap tersebut pada 18 Oktober 2021 lalu. Pemberian uang berawal dari pendekatan Sudarso kepada Andi Putra. Disebutkan kalau Sudarso sudah lama mengenal Ketua DPD II Partai Golkar Kuansing tersebut, tepatnya saat Andi masih menjadi anggota DPRD Kuansing.
Pengurusan izin perpanjangan HGU PT Adimulia Agrolestari juga sudah melalui konsultasi dengan Kakanwil Kementerian ATR/ BPN Riau, Syahrir. Dalam sebuah rapat pada September lalu di sebuah hotel di Pekanbaru, pihak Kanwil ATR/ BPN Riau dan Panitia B yang mengurusi soal dokumen persyaratan HGU menemukan adanya persyaratan yang belum lengkap. Yakni soal pembangunan kebun plasma KKPA sedikitnya 20 persen dari luasan HGU perusahaan.
Kepala Kanwil Kementerian ATR/ BPN Riau, Syahrir menyarankan agar Sudarso meminta rekomendasi persetujuan penempatan kebun plasma/ KKPA di Kabupaten Kampar dari Bupati Kuantan Singingi Andi Putra. Diduga tidak ada aturan tentang syarat ini, karena sebelumnya PT Adimulia Agrolestari telah membangun kebun plasma di Kabupaten Kampar.
Lokasi kebun PT Adimulia Agrolestari sebelumnya seluruhnya berada di Kabupaten Kampar. Namun sejak 2019 lalu, lokasi kebun sebagian masuk ke Kabupaten Kuansing. Ini akibat perubahan tata batas kedua kabupaten tersebut. Sebagian areal kebun yang akan habis masa konsesi HGU-nya berada di Desa Suka Maju dan Desa Beringin Jaya, Kabupaten Kuansing.
Adapun total luasan areal HGU perusahaan sesuai dengan HGU nomor 00008 tanggal 8 Agustus 1994 seluas 3.952 hektar. Masa konsesi akan habis pada 8 Agustus 2024 mendatang.
PT Adimulia pun mencari jalan keluar. Sudarso melobi agar Bupati Andi mengeluarkan surat rekomendasi persetujuan penempatan plasma/ KKPA di Kabupaten Kampar. Tujuannya agar perusahaan tak lagi membangun kebun KKPA di Kuansing. Bupati memang memiliki kewenangan untuk menetapkan lokasi kebun plasma/ KKPA tersebut.
Upaya pendekatan kepada Bupati Andi Putra pun dilakukan intensif oleh Sudarso. Ia kerap melakukan komunikasi langsung maupun telepon dengan Bupati Andi. Hasil pertemuan kemudian dilaporkan Sudarso kepada bos pemilik perusahaan (benefecial owner) yakni Frank Wijaya yang juga merupakan komisaris PT Adimulia Agrolestari.
Hasil pertemuan dan komunikasi dengan Bupati Andi Putra yakni kesediaannya menerbitkan surat rekomendasi persetujuan lokasi kebun KKPA di Kabupaten Kampar, namun dengan imbalan uang.
"Frank Wijaya menyetujui untuk memberikan uang kepada Andi Putra agar surat rekomendasi dapat segera keluar," demikian kutipan dakwaan jaksa KPK.
Disebutkan dalam surat dakwaan tersebut, pada September 2021, Andi Putra diduga meminta uang kepada Sudarso sebesar Rp1,5 miliar. Meski sepakat memberikan uang, namun, Frank Wijaya menyetujui penyerahan uang secara bertahap.
Tahap pertama pemberian uang sebesar Rp 500 juta. Sudarso memerintahkan anak buahnya bernama Syahlevi Andra untuk membawa uang sebesar Rp 500 juta pada 27 September 2021 ke rumahnya di Kelurahan Maharatu, Marpoyan Damai, Pekanbaru. Penyerahan uang kemudian dilakukan Syahlevi kepada Bupati Andi Putra melalui supirnya bernama Deli Iswanto.
Surat dakwaan KPK juga menyebut bahwa tahap pertama pencairan uang suap langsung diikuti oleh masuknya surat dari PT Adimulia kepada Bupati Andi Putra. Surat tertanggal 12 Oktober 2021 itu berisi permohonan persetujuan penempatan pembangunan kebun kemitraan PT Adimulia Agrolestari di Kabupaten Kampar yang ditandatangani oleh Direktur PT Adimulia Agrolestari, David Vence Turangan.
Masuknya surat tersebut juga diiringi dengan permintaan uang lanjutan dari Bupati Andi Putra.
"Atas pengajuan surat tersebut, kemudian Bupati Andi Putra kembali menagih kepada terdakwa (Sudarso, red) sisa uang dari yang dijanjikan sebesar Rp1,5 miliar," tulis surat dakwaan KPK.
Namun, lagi-lagi Frank Wijaya keberatan menyerahkan uang sekaligus. Sudarso lantas menyarankan agar Frank mencairkan uang secara bertahap. Hingga akhirnya disepakati adanya penyerahan uang kepada Bupati Andi sebesar Rp 250 juta.
Pada 18 Oktober 2021 pagi, Sudarso meminta Syahlevi Andra selaku kepala kantor PT Adimulia Agrolestari untuk mencairkan uang sebesar Rp 250 juta tersebut. Hari itu juga Bupati Andi Putra menghubungi Sudarso menanyakan permintaan uang. Bupati Andi disebut meminta Sudarso datang ke rumah Bupati Andi.
Sudarso datang bersama Paino dan Yuda Andika ke rumah Bupati Andi di Jalan Sisingamangaraja No. 9 Kuantan Tengah, Kabupaten Kuantan Singingi.
Usai pertemuan di rumah Bupati Andi Putra, penyidik KPK kemudian menciduk Sudarso tepatnya di persimpangan Jalan Abdoer Rauf dengan Jalan Datuk Sinaro Nan Putiah.
"Kemudian terdakwa (Sudarso) diamankan oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi," tulis ringkasan surat dakwaan KPK.
Kabar penangkapan Sudarso oleh KPK pun diketahui oleh Frank Wijaya. Ia lantas memerintahkan Syahlevi Andra untuk menyetorkan kembali uang yang semula akan diberikan kepada Bupati Andi Putra sebesar Rp 250 juta ke rekening PT Adimulia Agrolestari.
Akibat perbuatannya tersebut, Sudarso didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan Bupati Andi Putra selaku tersangka penerima dijerat pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Persidangan kasus ini akan membuka cerita dan fakta lanjutan yang lebih menarik sekaligus dramatis. (*)