Pendeta Belanda Pertama Kali Temukan Nikel di Indonesia, Ini Sosoknya
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta : Indonesia merupakan salah satu negara penghasil nikel terbesar di dunia. Beberapa daerah di Indonesia banyak menyimpan harta karun ini.
Berdasarkan Kementerian ESDM (2020), Indonesia memiliki 72 juta ton cadangan nikel atau 26% cadangan nikel global. Sedangkan, setiap tahunnya Indonesia mampu memproduksi 1,6 juta metrik ton.
Besarnya jumlah bahan tambang mineral ini memang menjadi garapan serius di era Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Pemerintah sekarang terus menggenjot program hilirisasi komoditas nikel bersamaan dengan hasil tambang lain yang bertujuan meningkatkan nilai tambah.
Lewat program ini, nilai tambah ekspor nikel ke luar negeri sukses melejit puluhan kali lipat menjadi US$ 33,8 miliar atau Rp 510-an triliun di tahun 2022. Hal ini tentunya membuat Presiden Jokowi happy, dan itu bisa terlihat tatkala Presiden Jokowi kerap mengungkapkannya di beberapa kesempatan.
Namun, di balik kesuksesan pemerintah itu ada tangan dingin seorang pendeta yang menemukan nikel pertama di Indonesia. Pendeta itu bernama Albertus Christiaan Kruyt.
Sosok Kruyt lahir di Jombang, 10 Oktober 1869. Selama 79 tahun hidup di dunia, dia dikenal sebagai pendeta dan misionaris dari Nederlandsch Zendeling Genootschap. Tugasnya sebagai penyebar agama Kristen membuatnya kerap pergi keliling Indonesia. Saat berkeliling itulah dia juga menjalani profesi sebagai etnografer.
Ketika tiba di Sulawesi Kruyt juga turut serta mencari harta karun bernama nikel. Dia mengikuti jejak Paul Sarasin dan Fritz Sarasin yang lebih dulu mencari nikel di Sulawesi pada 1896. Namun, nasib Kruyt berbeda dengan Sarasin Bersaudara yang gagal mencari bahan tambang itu.
Kruyt malah sukses menemukan nikel pertama di Indonesia secara tidak sengaja saat meneliti bijih nikel di Pegunungan Verbeek, Sulawesi, pada 1901.
Perlu diketahui, di tahun 1900-an, penggunaan nikel sangat tinggi karena bisa digunakan untuk bahan campuran logam bukan besi, baja tahan karat, keramik, katalisator, dan sebagainya.
Sehingga, kata Adam D. Tyson dalam Decentralization and Adat Revivalism in Indonesia (2010), berita ditemukannya nikel pertama oleh Kruyt di Indonesia membuat banyak peneliti asing berbondong-bondong datang ke Sulawesi. Salah satu yang datang dan paling berpengaruh adalah Eduard Cornelius Abendanon.
"Pada 1915, Abendanon melakukan survey geologi yang komprehensif dan sukses mendeskripsikan batuan dasar di wilayah Verbeek. Dia jadi orang pertama yang sukses melakukan itu," tulis Adam D. Tyson.
Kesuksesan Abendanon direspons positif pemerintah kolonial yang sadar besarnya potensi ekonomi nikel. Setahun kemudian, pemerintah membuat rilis bahwa di Verbeek dan kawasan Danau Matano memang benar terdapat simpanan nikel dan besi dalam jumlah besar.
Meski begitu, pemerintah baru mulai menggarap nikel di tahun 1941 dengan memberi hak eksploitasi ke dua perusahaan tambang, yakni Perusahaan Pertambangan Celebes (Mijnbouw Maatschappij Celebes) dan Perusahaan Pertambangan Toli-Toli.
Ketika memulai eksploitasi inilah salah satu dari perusahaan itu mengundang perusahaan tambang asal Kanada, yaitu International Nickel Company, Ltd (INCO).
"Ahli geologi INCO, Ltd bernama Flat Elves diundang oleh sebuah perusahaan eksplorasi Belanda pada 1937 (Red: sebelum ekploitasi dimulai) untuk melanjutkan studi endapan nikel laterit di Sulawesi dan sekitarnya," tulis Basrin Melamba dalam Kota Pelabuhan Kolaka di Teluk Bone 1906-1942 (2011:84).
Undangan itulah yang kemudian menjadi awal mula jejak INCO di Indonesia. Kelak, operasional perusahaan Kanada itu di Indonesia berjalan lewat PT International Nickel Indonesia yang kini berubah nama menjadi PT Vale Indonesia.