Survei Tarif Cewek Open BO di Indonesia, Yogyakarta Paling Mahal, Ini Rankingnya
SABANGMERAUKE NEWS - Tren layanan jasa seksual saat ini mengalami perubahan seiring akses teknologi informasi yang berkembang pesat. Jika sebelumnya, profesi jasa pekerja seks (PSK) berada di pos mangkal, tepian jalan atau berada di lokalisasi, kini pola 'pemasarannya' telah menggunakan teknologi online.
Salah satu bentuknya yakni 'pemasaran jasa seks' lewat media sosial serta praktik terselubung via aplikasi pertemanan di media sosial.
Istilah layanan prostitusi pun terus berkembang. Kini marak beredar pemakaian kata Open BO (Booking Out) yakni kode dalam dunia penawaran jasa seksual.
Nah, baru-baru ini CNBC melakukan survei yang digelar tentang rating tarif Open BO di sejumlah kota besar di Indonesia. Hasilnya, tarif Open BO di Yogyakarta menempati ranking harga tertinggi.
Survei ini dilakukan di 59 akun Twitter penyedia jasa layanan seks dengan rataan follower 3.793 akun.
Hasil survei menunjukkan gambaran rata-rata tarif open BO per jam Rp 1.117.000 untuk short time atau layanan maksimal satu jam. Sementara layanan long time atau 24 jam sebesar Rp 13.541.000.
Kota Jogja menjadi kota dengan tarif open BO tertinggi yakni Rp 1.375.000 untuk short time. Tarif itu bahkan lebih mahal dari Jakarta yang hanya Rp 1.047.000.
Berikut perbandingan tarif Open BO di sejumlah kota di Indonesia:
Layanan Short Time
Nasional: Rp 1.117.000
Yogyakarta: Rp 1.375.000
Bandung: Rp 1.218.000
Jakarta: Rp 1.047.000
Surabaya: Rp 966.000
Lampung: Rp 950.000
Layanan Long Time
Nasional: Rp 13.541.000
Yogyakarta: Rp 14.250.000
Bandung: Rp 9.333.000
Jakarta: Rp 8.845.000
Surabaya: Rp 13.000.000
Lampung: Rp 14.000.000
Alasan Terjebak
Seorang penyedia layanan seks via Twitter bernama Cha mengaku memiliki pendapatan hingga Rp 50 juta per bulan dari open BO.
Cha mengatakan ada dua faktor pemicu yang mendorong mereka terjebak dalam industri esek-esek ini. Hal ini, kata Cha, berdasarkan pengalaman dirinya dan cerita teman-temannya.
Faktor pertama yakni karena tak punya cukup uang yang untuk memenuhi kebutuhan dasar sementara mencari pekerjaan sulit.
Kemudian kedua karena terjebak dalam gaya hidup tinggi seperti staycation, liburan, perawatan, hingga biaya hiburan malam.
Sementara itu, kajian Sri Hartini Jatmikowati (2015) pada Mediterranean Journal of Social Sciences menemukan faktor lain yang membuat perempuan muda terjebak prostitusi.
Di antaranya, kurangnya dialog dan keterbukaan dengan orang tua, pergaulan, kurang perhatian dari orang tua, depresi dan kehilangan harga diri. (*)