Pojok Redaksi
Ketua DPRD Pekanbaru Hamdani Diberhentikan, PKS harus Selamatkan 'Muka' Partai
SABANGMERAUKE - Polemik pemberhentian Ketua DPRD Pekanbaru, Hamdani terus berlanjut. Sejumlah pihak baik politisi maupun akademisi memberikan analisis.
Ada yang menuding kalau pemberhentian Hamdani tidak sah. Namun, sebaliknya kelompok lain menilai keputusan DPRD Pekanbaru melalui paripurna tak bisa ditawar-tawar lagi. DPRD Pekanbaru telah mengambil sikap: memberhentikan Hamdani.
Hasil kerja Badan Kehormatan DPRD bersifat final dan mengikat. Pimpinan DPRD wajib menindaklanjuti ke forum pengambil keputusan yakni paripurna dan itu sudah dilakukan. Jika pimpinan tak memproses, bisa jadi 3 pimpinan DPRD yang tersisa akan kena sanksi kode etik dan pelanggaran tatib.
DPRD adalah lembaga politik negara di daerah. Sudah pasti, semua keputusan yang diambil, apakah itu pro atau kontra adalah keputusan politik. Sebagai wadah partai-partai berkumpul, DPRD menjadi ajang pertarungan gagasan, kepentingan dan tujuan masing-masing parpol. Konflik hal yang lumrah di Dewan.
Politik memang multi-interpretasi. Siapa saja boleh bicara dan memberi analisa. Namun, di balik itu semua kelembagaan DPRD Pekanbaru harus tetap berjalan. Fungsinya tetap bergerak, meski gejolak muncul, sekalipun Ketua DPRD diberhentikan.
Kepemimpinan DPRD bersifat kolektif kolegial. Ketua DPRD bukan seperti ketua partai yang bisa sekaligus menjadi pemilik partai.
Secara politik, posisi pimpinan DPRD adalah sebagai fasilitator dan konsultator, bukan pengambil kebijakan kelembagaan. Keputusan kelembagaan DPRD harus tetap melalui aspirasi anggota dan disahkan dalam forum pengambil keputusan tertinggi yakni rapat paripurna, baik voting ataupun musyawarah.
Salah kaprah kalau menilai posisi Ketua DPRD sebagai pejabat tertinggi monolitik di kelembagaan DPRD. Ketua DPRD adalah juga anggota DPRD, memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anggota DPRD yang tak memiliki jabatan struktural sekalipun di kelembagaan Dewan. Yang membedakan hanya sekadar fasilitas, protokoler, tunjangan dan sedikit 'gengsi' politik doang.
Jangan salah, tanpa adanya ketua DPRD, toh kelembagaan DPRD dapat tetap berjalan. Tiga pimpinan (wakil ketua) DPRD Pekanbaru tetap dapat menjalankan roda kelembagaan secara normal. Itu sah dan tidak bertentangan dengan aturan perundang-undangan.
Kembali ke polemik pemberhentian Hamdani dari jabatan Ketua DPRD Pekanbaru. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, siapa yang paling dirugikan secara kepartaian?
Sudah pasti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah yang paling dirugikan dalam konflik politik ini. Partai ini untuk sementara akan kehilangan haknya sebagai pemenang pemilu legislatif Pekanbaru pada 2019 lalu. Sebagai partai pemenang, PKS memiliki tiket khusus mendudukkan kadernya sebagai Ketua DPRD.
Namun dengan pemberhentian Hamdani secara politik, tentu saja PKS akan kehilangan peran dan citranya di depan publik. PKS bisa dinilai sebagai partai yang lemah dan kalah untuk mempertahankan pengaruhnya di Dewan. PKS harus segera menyelamatkan 'muka' partai.
PKS tak seharusnya membiarkan kondisi ini berlarut-larut. Apalagi memainkan kondisi ini seakan-akan sedang dizolimi. Rekomendasi Badan Kehormatan yang menyebut Hamdani melakukan pelanggaran tiga sekaligus: sumpah dan janji jabatan, kode etik dan tata tertib. Tentu, sanksi itu bukanlah penzoliman, tapi karena adanya temuan dan faktual.
Seandainya PKS mampu melakukan komunikasi politik sejak awal, mungkin saja pemberhentian Hamdani tidak terjadi. Tapi faktanya berbeda. Sebanyak 6 dari 7 fraksi di DPRD Pekanbaru nyatanya setuju dengan pemberhentian Hamdani. Termasuk PAN yang sepertinya sejak awal 'segerbong' dengan PKS, kini beralih haluan ikut mengesahkan usul pemberhentian Hamdani.
Kini seolah PKS berada sendirian di DPRD Pekanbaru tanpa teman atau mitra koalisi. Kemenangan saat pemilu legislatif 2019 lalu seolah jadi tak bermakna. PKS menjadi partai yang 'kalah' di DPRD Pekanbaru.
Dalam kondisi saat ini, pimpinan PKS harus segera mengambil sikap konkret dan tegas. Membiarkan kondisi berlarut-larut tak akan menguntungkan partai justru membuat partai terpuruk. Politik 'penzaliman' kini tak laku lagi, karena rakyat sudah makin cerdas plus cuek dengan politik.
Segeralah pimpinan PKS di pusat maupun daerah mengganti Hamdani dengan kadernya yang masih banyak ada di fraksi. Mengalah selangkah lebih baik dibanding kalah untuk selamanya. Toh, kursi Ketua DPRD Pekanbaru memang jatah PKS.
Yang tak boleh diabaikan, PKS harus memperbaiki pola komunikasi politiknya di DPRD Pekanbaru. Jika tidak, siapa pun pengganti Hamdani, gejolak yang sama kemungkinan tetap terjadi. Bukankah partai sejatinya memiliki fungsi komunikasi politik? Maaf, bukan bermaksud mengajari bebek berenang. (*)