4 Ahli 'Patahkan' Seluruh Dakwaan Jaksa di Kasus Investasi Fikasa Grup Empat Salim Bersaudara: Perkara Perdata, Bukan Pidana!
SabangMerauke News, Pekanbaru - Persidangan kasus investasi Fikasa Grup di Pengadilan Negeri Pekanbaru kian menarik dan seru. Perdebatan pendapat dan retorika hukum saling bergelut antara jaksa dengan 4 ahli meringankan (A de Charge) yang dihadirkan penasihat hukum 'Empat Salim Bersaudara" yang menjadi terdakwa dalam kasus ini, Jumat (4/2/2022).
Keempat ahli yang dihadirkan berpendapat seluruh dakwaan jaksa penuntut tidak tepat dan tidak terpenuhi. Para ahli tersebut juga berpendapat kasus ini berada dalam ranah hukum privat keperdataan, bukan pidana apalagi pencucian uang (TPPU).
BERITA TERKAIT: Nasabah Investasi Fikasa Grup Minta '4 Salim Bersaudara' Tak Dipidana: Kami Mau Damai, Agar Uang Kami Kembali!
Keempat ahli yang dihadirkan tersebut yakni Dr Suherman, mantan Ketua PPATK Dr Yunus Husein, Dr Zukarnaen Sitompul dan Dr M Taufik. Keempatnya terkualifikasi sebagai ahli hukum perdata, ahli pencucian uang, ahli pasar modal dan surat berharga serta ahli hukum pidana.
Dr Suherman dalam pendapat hukumnya menyatakan, promissory note (PN) adalah surat kesanggupan utang yang terikat pada perjanjian keperdataan. Sehingga, penyelesaian tiap persoalan yang terjadi, seharusnya ditempuh lewat upaya hukum perdata.
BERITA TERKAIT: Inilah 10 Miliuner Pekanbaru yang Jadi Korban Dugaan Investasi Bodong Fikasa Grup
Apalagi kata Suherman, para pemegang PN telah menerima manfaat dari PN yakni bunga yang diperoleh secara rutin selama beberapa tahun. Selain itu, menurut Suherman segala yang terjadi dalam kaitan PN dan perjanjian adalah merupakan risiko bisnis.
"Jadi, dalam hal kasus ini masuk pada wilayah keperdataan. Itu pendapat ahli," tegas Suherman.
BERITA TERKAIT: Sidang Kasus Investasi Fikasa Grup: Korban Ternyata Sudah Terima Bunga, Baru Macet Sejak Januari 2020!
Sementara ahli Dr Yunus Husein yang merupakan mantan Ketua Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengemukakan, 4 dakwaan yang dituduhkan kepada para terdakwa Salim Bersaudara tidak tepat dan tidak terpenuhi unsur-unsurnya. Hal tersebut berdasarkan analisa hukum dan juga menjadikan banyak kasus-kasus sejenis sebagai rujukan pendapat hukumnya.
Jaksa mendakwa 'Empat Salim Bersaudara' sebagai pemilik dan pengelola Fikasa Grup (PT Wahana Bersama Nusantara dan PT Tiara Global Propertindo) dengan pasal 46 ayat 1 Undang-undang Perbankan, pasal 372 dan pasal 378 KUHPidana. Selain itu, dalam penyidikan kasus ini dikaitkan pula dengan pasal 2,3,4 dan 5 Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Menurut Yunus Husein, surat PN (surat sanggup bayar) bukanlah merupakan aktivitas penyimpanan dana dan bukan pula simpanan sebagaimana dalam pasal 1 angka 5 Undang-undang Perbankan. Sehingga perjanjian PN sebagai surat berharga tidak dapat diklasifikasikan sebagai perjanjian penyimpanan dana. PN berbentuk surat sanggup yang diatur dalam pasal 174 KUHDagang.
"Hubungan hukum antara penerbit dan penerima PN (surat sanggup) berbeda dengan hubungan hukum perjanjian penyimpanan dana di pasal 1 angka 5 Undang-undang Perbankan. Kalau perjanjian penyimpanan dana seperti di bank ada jaminan ketersediaan dan keamanan simpanan. Sementara, ekspektasi di PN selain bunga adalah juga risiko pemegang PN gagal bayar," jelas Yunus.
Menurut Yunus, surat PN yang diterbitkan oleh PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan PT Tiara Global Propertindo (TGP) bukanlah simpanan dana seperti di bank.
"Jadi penerbitan surat PN oleh PT WBN dan PT TGP tidak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan. Sehingga unsur 'dalam bentuk simpanan' sebagaimana dalam pasal 46 ayat 1 tidak terpenuhi," terang Yunus.
Yunus juga mengulas soal pengenaan pasal 372 dan pasal 378 KUHPidana yang diterapkan kepada terdakwa Empat Salim Bersaudara oleh jaksa. Menurutnya, permasalahan hukum yang timbul dalam hubungan hukum perjanjian tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pasal 372 dan pasal 378 KUHP.
Ia mengakui penerapan pasal 372 dan 378 KUHPidana kerap beririsan dengan hukum perdata-perjanjian. Yunus mengutip surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 7 tahun 2012 yang menurutnya dalam poin 4 disebutkan 'jika suatu perkara pidana yang di dalamnya mengandung ikatan perjanjian, penyelesaiannya harus masuk ke ranah perdata'.
Menurut Yunus dalam uraian tertulisnya, ia tidak menemukan adanya itikad buruk dari PT WBN dan PT TGP dalam penerbitan promissory note (PN) dan pelaksanaan perjanjian yang timbul dalam penerbitan PN tersebut. Soalnya, PN tersebut diterbitkan secara transparan yang mengatur secara jelas tentang hak dan kewajiban para pihak serta mekanisme teknis isi perjanjian tersebut. Kedua perusahaan juga telah menjalankan kewajibannya membayar bunga keuntungan.
Selain itu jelas Yunus, PT WBN dan PT TGP juga telah tunduk pada proses hukum menyelesaikan kewajiban pembayaran utang di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yakni lewat putusan PKPU.
"PT WBN dan PT TGP tidak berupaya untuk menghindar dari kewajibannya kepada para kreditur. Jadi, tidak ada itikad buruk dari perusahaan dalam penerbitan PN, termasuk juga dalam pelaksanaan PN dan penyelesaian permasalahan," jelas Yunus dalam uraiannya.
Yunus juga dalam analisis hukumnya menyebut tidak ada unsur melawan hukum dan kesengajaan dalam penerbitan PN maupun dalam pelaksanaan perjanjian yang timbul dari penerbitan PN tersebut.
"Dalam kasus ini, perbuatan yang dipermasalahkan adalah penerbitan PN dan keterlambatan pembayaran perusahaan kepada kreditur. Kedua perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum karena tidak melanggar ketentuan UU Perbankan. Perjanjian yang timbul dari penerbitan PN mengacu pada pasal 174 KUHDagang dan KUHPerdata. Jadi unsur kesengajaan dalam pasal 372 dan 378 KUHPidana tidak terpenuhi dan tidak relevan," jelas Yunus lagi.
Terakhir, Yunus juga menilai pengenaan pasal 2,3,4 dan 5 Undang-undang TPPU dalam kasus ini tidaklah tepat. Menurutnya, pasal 2 Undang-undang TPPU tidak memuat ketentuan pidana, namun mengatur tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang.
Sementara, penyidik mengonstruksikan tindak pidana asalnya (predicate offence) dari tindak pidana perbankan sebagaimana dalam dakwaan pasal 46 ayat 1 Undang-undang Perbankan dan pasal 372 serta pasal 378 KUHPidana yang menurut Yunus itu tidak dapat ditemukan.
Menurutnya, dalam kasus Fikasa Grup ini tidak ditemukan tindak pidana sebagai predicate crime. Sehingga tidak ada harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana atau tidak terjadi tindak pidana pencucian uang.
"No crime, no money laundering," pungkas Yunus.
Sebelum agenda pemeriksaan ahli meringankan (A de Charge), sidang siang tadi juga telah memeriksa dua saksi meringankan dari unsur nasabah Fikasa Grup. Kedua orang saksi itu meminta agar 4 orang terdakwa pemilik Fikasa Grup tidak dihukum pidana penjara, agar dapat menyelesaikan tanggung jawabnya membayar uang investasi yang sudah disetor.
Kedua saksi tersebut bernama Riki dan Bambang. Riki ikut sebagai nasabah Fikasa Grup sejak 2015. Hingga Maret 2020, ia masih rutin menerima bunga dari investasi tersebut.
Namun, sejak April 2020 pasca-kasus pandemi Covid-19 merebak luas, Riki tak pernah lagi mendapatkan bunga. Pokok investasinya pun masih tertahan.
Sementara, saksi Bambang ikut dalam program investasi Fikasa Grup sejak 2011 hingga 2016 lalu. Selama itu, ia selalu mendapat imbalan bunga 11 persen setahun. Namun, sejak 2016, ia tidak lagi ikut program investasi tersebut karena dananya diambil untuk bisnisnya pribadi.
Namun, orangtua Bambang sampai saat ini masih menjadi nasabah Fikasa Grup. Total uang investasi orangtuanya mencapai Rp 2 miliar yang sejak April 2020 lalu belum dikembalikan dan tidak mendapat bunga uang.
"Sebelumnya orangtua saya menerima bunga dengan lancar. Namun sejak Covid-19 makin parah, tidak pernah lagi ada penerimaan bunga dan uang pokok investasi," kata Bambang.
Riki dan Bambang menyatakan keduanya bersama nasabah Fikasa Grup lainnya, lebih memilih menyelesaikan masalah investasi ini secara damai dan keperdataan, tidak lewat pidana. Itu sebabnya, pihaknya menunggu tindak lanjut hasil gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang sudah divonis Pengadilan Niaga Jakarta pada Agustus 2020 lalu.
Menurut Bambang, gugatan PKPU dikabulkan dan Fikasa Grup telah menyerahkan sejumlah aset sebagai jaminan pembayaran utang. Skema pembayaran pun sudah ditetapkan.
Riki dalam keterangannya berharap agar keempat terdakwa tersebut tidak dihukum pidana penjara. Tujuannya agar keempat terdakwa dapat melakukan kewajibannya. Apalagi ada sekitar 2.000 nasabah yang bermitra dengan Fikasa Grup yang masih menunggu dananya dibayar.
"Kalau dipenjara, gimana menjalankan usaha dan bayar uang kami? Sejak ditangkap, kami tak bisa komunikasi lagi," kata Riki.
Riki dan sejumlah nasabah lain masih yakin keempat terdakwa dapat membayarkan kewajibannya.
"Kami yakin bisa damai. Karena ini perusahaan besar. Asetnya banyak dan jelas," kata Riki.
Perkara ini mendudukkan lima terdakwa sebagai pesakitan hukum. Yakni terdiri dari 'Empat Salim Bersaudara' yang merupakan pemilik serta pengurus langsung perusahaan yang kerap disebut dengan Fikasa Grup. Keempat orang terdakwa tersebut yakni Bhakti Salim alias Bhakti yang merupakan Direktur Utama PT Wahana Bersama Nusantara sekaligus juga Direktur Utama PT Tiara Global Propertindo. Terdakwa Agung Salim alias Agung sebagai Komisaris Utama PT Wahana Bersama Nusantara.
Terdakwa ketiga yakni Elly Salim alias Elly selaku Direktur PT Wahana Bersama Nusantara sekaligus Komisaris PT Tiara Global Propertindo. Seorang terdakwa lain dari keluarga Salim yakni Christian Salim selaku Direktur PT Tiara Global Propertindo.
Terdakwa kelima bernama Mariyani merupakan manajer marketing kedua perusahaan yang menghimpun dana lewat skema modus promissory note (surat sanggup bayar) yang diduga kuat tidak memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia. Berkas perkara penuntutan Mariyani terpisah dengan 4 Salim Bersaudara.
Perkara ini menjerat para terdakwa dengan tiga dakwaan berlapis yakni dakwaan pasal 46 ayat 1 Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Adapun ancaman hukumannya yakni sekurang-kurangnya 5 tahun dan paling lama 15 tahun penjara serta denda sekurang-kurangnya Rp 10 miliar dan paling banyak Rp 200 miliar.
Dakwaan kedua yakni pasal 378 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. Sementara dakwaan ketiga yakni pasal 372 jo pasal 64 ayat 1 jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPidana.
Surat dakwaan jaksa penuntut menyebut uang investasi yang dikumpulkan masuk ke dalam sejumlah perusahaan lain yang tergabung dalam Fikasa Grup. Para korban tergiur dengan janji bunga investasi tinggi di atas rata-rata perbankan.
Kelima terdakwa didakwa telah merugikan sebesar Rp 84,9 miliar yang uangnya bersumber dari sebanyak 10 orang miliuner asal Pekanbaru. Mereka dihadirkan langsung secara fisik oleh jaksa penuntut. Berbeda dengan persidangan kasus lainnya, di mana para terdakwa hanya mengikuti sidang secara online alias sidang virtual. (*)