Ribut Susanto Telepon Terdakwa Petrus Edy Minta Proyek Jalan Lingkar Pulau Bengkalis Diganti, Tapi Ditolak dengan Jawaban: Saya Sudah Banyak Keluar!
SabangMerauke News, Pekanbaru - Ribut Susanto, mantan ketua tim sukses pemenangan Bupati Bengkalis (2010-2015) Herliyan Saleh bersaksi dalam persidangan kasus korupsi proyek jalan lingkar Pulau Bengkalis di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Rabu (2/2/2022). Kesaksian Ribut memperkuat tabir pengaturan 6 proyek multiyears dengan anggaran triliunan rupiah. Salah satunya yakni proyek jalan lingkar Pulau Bengkalis dengan anggaran Rp 395,4 miliar.
Ribut dihadirkan untuk empat terdakwa yang diperiksa sekaligus oleh majelis hakim. Keempat terdakwa tersebut yakni petinggi BUMN PT Wijaya Karya (Wika) I Ketut Suarbawa, Tirtha Adhi Kazmi sebagai PPTK proyek, Firjan Taufa dan Didiet Hadianto keduanya dari PT Wika.
BERITA TERKAIT: Korupsi Proyek Jalan di Bengkalis, KPK Sita Rp 36 Miliar dari Tersangka Petrus Edy Susanto
Satu terdakwa lain yakni pengusaha Petrus Edy Susanto menolak ikut dalam sidang agenda pemeriksaan saksi. Alasannya, tim penasihat hukum belum memiliki persiapan dan belum mengetahui saksi-saksi yang akan diperiksa. Pagi kemarin memang agenda sidang adalah pembacaan surat dakwaan terhadap Petrus dan I Ketut Suarbawa.
BACA JUGA: Penjarah Hutan Riau Jangan Berlindung di UU Cipta Kerja, Ini Defenisi 'Keterlanjuran' Menurut Hukum
Namun, jaksa penuntut KPK mengusulkan agar sidang diteruskan dengan pemeriksaan saksi, karena Petrus dan Ketut tak mengajukan keberatan (eksepsi). Alasannya, saksi untuk kelima terdakwa sama. Tapi, penasihat hukum Petrus bersikukuh tak ikut dalam sidang tersebut dan meminta digelar pekan depan.
BERITA TERKAIT: Proyek Jalan Lingkar Pulau Bengkalis Rugikan Negara Rp 59 Miliar, Ini Aliran Uang Haramnya
Majelis hakim yang diketuai, Dr Dahlan SH, MH tak mau berpolemik. Ia meminta agar tim kuasa hukum Petrus meninggalkan ruangan, karena sidang akan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi-saksi.
Ada tiga saksi yang diperiksa kemarin. Selain Ribut Susanto, mantan Bupati Bengkalis Herliyan Saleh dan mantan Ketua DPRD Bengkalis, Jamal Abdillah juga dimintai keterangan secara virtual. Ribut Susanto hadir langsung di ruang sidang. Herliyan dan Jamal mengikuti dari Lapas Pekanbaru, keduanya telah menjadi terpidana korupsi dana bantuan sosial (bansos) APBD Bengkalis.
Dalam kesaksiannya, Ribut Susanto mengakui adanya pertemuan di Hotel Menara Peninsula, Jakarta pada Desember 2012 lalu, sebelum proyek tersebut dilelang. Pertemuan kata Ribut diinisiasi oleh M Nasir, Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Bengkalis saat itu. Pertemuan dihadiri Herliyan Saleh, Ribut, Nasir dan sejumlah calon kontraktor. Dari pihak PT Wika-Sumindo, hadir Firjan Taufa. PT Wika-Sumindo (joint operation) pada akhirnya dimenangkan menggarap proyek jalan lingkar Pulau Bengkalis.
"Itu cuma perkenalan, silaturahmi dengan kontraktor yang akan menggarap. Belum menentukan pemenang tender," kata Ribut menjawab pertanyaan jaksa KPK.
Floating pemenangan PT Wika-Sumindo sebagai pemenang lelang proyek jalan lingkar Pulau Bengkalis membuat PT Multi Structure kecewa berat. Awalnya, Multi Structure disebut sudah mendapat jatah proyek itu. Namun, entah kenapa kemudian M Nasir mengalihkan ke PT Wika-Sumindo. Multi Structure disebut telah menyerahkan 'uang pelicin' lebih awal.
Menindaklanjuti protes Multi Structure itu, dalam satu pertemuan lanjutan di sebuah apartemen di Jakarta, Nasir meminta agar Ribut Susanto menghubungi Petrus. Di ujung telepon, Ribut menawarkan kepada Petrus agar 'jatah' proyek jalan lingkar Pulau Bengkalis diganti dengan proyek lain. Namun, Petrus menolak keras tawaran tersebut.
"Saya sudah banyak keluar. Sudah banyak bantu," terang Ribut menirukan jawaban Petrus saat diteleponnya.
Jaksa menggali apa yang dimaksud dengan 'sudah banyak keluar' yang dituturkan ulang oleh Ribut tersebut. Namun Ribut tidak menjawab jelas. Kemungkinan, 'sudah banyak keluar' itu adalah uang pelicin untuk mendapatkan proyek yang dijanjikan.
Diwartakan kemarin, dua terdakwa kasus korupsi proyek jalan lingkar Pulau Bengkalis didakwa merugikan negara sebesar Rp 59,6 miliar, Rabu (2/2/2022). Keduanya yakni I Ketut Suarbawa yang merupakan Manajer Wilayah 2 (Propinsi Riau, Kepri dan Sumatra Barat) PT Wijaya Karya dan pengusaha konstruksi, Petrus Edy Susanto.
Dalam surat dakwaan yang dibacakan oleh jaksa penuntut KPK mengungkap keterlibatan sejumlah pihak terungkap, mulai dari jajaran pejabat Pemkab Bengkalis, pengusaha dan bos BUMN Wijaya Karya ikut dalam siasat kongkalikong proyek. Sidang ini dipimpin oleh majelis hakim diketuai, Dr Dahlan SH, MH.
Jaksa KPK mendakwa keduanya dengan dengan pasal 2 ayat 1 jucnto pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana. Adapun kerugian negara berdasarkan audit BPK sebesar Rp 59,6 miliar yang diduga mengalir ke sejumlah pejabat Bengkalis dan kontraktor.
Dugaan kasus korupsi ini terjadi mulai proses penentuan perusahaan pemenang tender, pelaksanaan hingga pengawasan serta evaluasi proyek yang menelan anggaran mencapai Rp 395,4 miliar.
Proyek jalan lingkar Pulau Bengkalis adalah 1 dari 6 proyek jalan yang ditetapkan oleh Bupati Bengkalis saat itu dijabat Herliyan Saleh dan Ketua DPRD Bengkalis, Jamal Abdillah pada akhir 2012 lalu.
Seorang pengusaha konstruksi bernama Petrus Edy Susanto berminat untuk menggarap proyek itu. Namun lantaran perusahaan miliknya yakni PT Cemerlang Samudera Kotrindo masuk dalam daftar perusahaan bermasalah (blacklist) di Pemkab Bengkalis, Petrus pun mencari akal. Ia mengontak rekannya Muhamad Saleh Pane yang memiliki perusahaan PT Sumatera Indah Indonesia (Sumindo) untuk meminjam bendera perusahaan. Tapi, ternyata kemampuan dasar (KD) dari PT Sumindo untuk mengerjakan proyek multiyears masih kurang.
Petrus kembali mencari jalan. Ia menghubungi koleganya, Bambang Saptadi yang merupakan Manajer Wilayah 1 (Propinsi Aceh-Sumatra Utara) PT Wijaya Karya (PT Wika). Petrus ingin agar dirinya dikenalkan dengan I Ketut Suarbawa yang menjabat Manajer Wilayah 2 (Propinsi Riau, Kepri dan Sumatra Barat) PT Wika.
Petrus dan Ketut pun bertemu. Keduanya sepakat untuk melakukan kerjasama atau joint operation mengikuti lelang proyek tersebut. Sebelumnya, Petrus dikabarkan pernah juga bekerja sama dengan PT Wika menggarap proyek lain sebagai sub kontraktor dan joint operation.
Hingga akhirnya, Petrus dan Ketut menugaskan Firjan Taufa alias Topan yang merupakan staf pemasaran PT Wika melakukan lobi ke Bupati Bengkalis, Herliyan Saleh. Lewat perantaraan Kadis PUPR Bengkalis, M Nasir, pertemuan antara Firjan Taufa dengan Herliyan pun digelar di Hotel Menara Peninsula Jakarta. Di hotel megah itu pula pada saat bersamaan, sejumlah perusahaan kontraktor yang menggarap 5 proyek multiyears lainnya disebut bertemu dengan Herliyan Saleh.
"Pada pertemuan tersebut para perwakilan kontraktor menyepakati adanya komitmen pemberian fee yang akan diserahkan kepada Ribut Susanto," tulis KPK dalam ringkasan dakwaan terhadap Petrus Edy Susanto.
Ribut Susanto adalah orang dekat Herliyan Saleh. Ia dikenal sebagai lingkaran inti tim sukses Herliyan saat memenangkan Pilkada Bengkalis tahun 2010 lalu.
Pada tanggal 31 Desember 2012, PT Wika dengan PT Sumindo menandatangani Surat Perjanjian Kemitraan/ Kerja Sama Operasi (KSO). KSO diteken oleh Ketut mewakili PT Wika dan Muhammad Saleh Pane dari PT Sumindo. Disepakati pula pembagian proporsi pekerjaan, sharing modal dan sharing keuntungan. Yakni sebesar 51% untuk PT Wika dan sebesar 49% untuk PT Sumindo.
PT Wika-Sumindo (Joint Operation) pun mempersiapkan dokumen prakualifikasi yang antara lain terdiri daftar riwayat hidup dan sertifikat keahlian personil inti. KPK menduga dokumen itu direkayasa karena nama-nama personil yang dicantumkan tidak terdaftar pada Lembaga Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan. Selain itu terdapat sejumlah dukungan dari perusahaan lain (supplier) yang juga diduga direkayasa karena perusahaan yang dicantumkan tidak pernah memberikan pernyataan dukungan kepada PT Wika-Sumindo. Firjan lantas memasukkan dokumen penawaran prakualifikasi tersebut pada website LPSE Bengkalis.
Di Unit Layanan Pelelangan (ULP) Dinas PUPR Bengkalis yang diketuai Syarifuddin alias H. Katan bersama anak buahnya Adi Zulhami dan Syamsul Anwar melakukan tahapan proses lelang. Mereka menggelar pembuktian lapangan dengan mengecek kebenaran atas daftar peralatan yang dimiliki PT Wika-Sumind, baik yang berada di Jakarta, Jawa Barat, Pekanbaru, Medan, Lampung, dan Palembang.
"Biaya akomodasi (tiket pesawat, hotel dan makan) Pokja 1 ULP ditanggung oleh pihak PT Wika-Sumindo. Pada saat pengecekan ternyata PT Wika-Sumindo yang diwakili Firjan Taufa hanya dapat menunjukkan sebagian alat, namun dinyatakan lengkap oleh Pokja 1 ULP dalam berita acara pembuktian lapangan," tulis KPK dalam ringkasan dakwaannya.
Penyidik KPK menilai adanya rekayasa dokumen. Dengan ketidaklengkapan tersebut, seharusnya PT Wika-Sumindo JO dinyatakan gugur pada tahap prakualifikasi. Namun sebaliknya, Pokja 1 ULP yang diwakili Syarifuddin justru menandatangani berita acara hasil evaluasi dokumen kualifikasi dan pembuktian tanggal 26 Maret 2013. Isinya menyatakan PT Wika-Sumindo lulus tahap prakualifikasi dan berhak melanjutkan ke tahap pemasukan dokumen penawaran.
Langkah lanjutan mengajukan penawaran pun ditempuh. Ketut selaku pemegang kuasa PT Wika-Sumindo menawar dengan harga Rp 395,4 miliar. Atas penawaran tersebut, Pokja 1 ULP melakukan evaluasi teknis dan mengusulkan PT Wika-Sumindo sebagai calon pemenang. Pada 1 Juli 2013, PT Wika-Sumindo ditetapkan sebagai pemenang lelang proyek peningkatan jalan lingkar Pulau Bengkalis oleh Kepala Dinas PUPR, M. Nasir selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Surat perjanjian kontrak diteken pada 28 Oktober 2013 dengan jangka waktu pelaksanaan 780 hari kalender (pekerjaan harus selesai pada tanggal 16 Desember 2015).
Untuk pengawasan proyek tersebut, M Nasir menunjuk Tirtha Adhi Kazmi sebagai PPTK dan sejumlah pengawas lapangan dari Dinas PUPR Bengkalis yakni Adha Zulfan, Bukri, Suhaimi dan Jumadi. Selain itu juga ditunjuk juga PT Binatama Wirawredha Konsultan sebagai konsultan pengawas pekerjaan proyek jalan.
KPK mengendus adanya perubahan struktur organisasi PT Wika-Sumindo. Formasinya yakni Dewan Direksi yang dijabat oleh Adhyaksa mewakili PT Wika dan Petrus Edy dari unsur PT Sumindo. Sementara susunan Komite Management terdiri dari I Ketut Suarbawa (PT Wika) dan Agus Lita dari PT Sumindo. Project Manager dipegang oleh Didiet Hadianto dari PT Wika.
Selain itu terjadi pula perubahan proporsi pembagian keuntungan menjadi sebesar 40% untuk PT Wika dan sebesar 60% untuk PT Sumindo.
"Karena terdakwa (Petrus Edy Susanto, red) mengajak Haryadi alias Ayong bergabung dalam pekerjaan proyek tersebut. Adanya perubahan struktur tersebut tidak dilaporkan kepada M. Nasir selaku PPK," tulis KPK dalam ringkasan dakwaan.
KPK dalam penyidikannya menduga Tirtha Adhi Kazmi yang menjadi PPTK proyek tidak melakukan perhitungan detail pekerjaan yang terpasang sehingga terdapat ketidaksesuaian realisasi pekerjaan bahkan terjadi deviasi atau keterlambatan progress pekerjaan yang sudah masuk pada tahap kontrak kritis.
Dalam rangka mengatasi keterlambatan tersebut, PT Wika-Sumindo yang diwakili Didiet Hadianto mengajukan sampai 4 kali permohonan perubahan (addendum) kontrak. Semua addendum tersebut disetujui oleh Tirtha dan M Nasir.
KPK juga menengarai realisasi pekerjaan PT Wika-Sumindo atas proyek jalan tersebut berdasarkan dimensi dan spesifikasi yang terpasang, ternyata tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam kontrak.
"Sehingga realisasi volume pekerjaan tidak sesuai dengan prestasi pembayaran atau terdapat selisih yang merupakan kerugian keuangan negara sebesar Rp 59, 6 miliar berdasarma hasil audit oleh tim Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)," tulis KPK.
KPK dalam ringkasan dakwaannya menyebut Petrus Edy Susanto bersama-sama dengan M. NASIR selaku Kepala Dinas PUPR merangkap PPK, Tirtha Adhi Kazmi selaku PPTK dan bersama-sama dengan I Ketut Suarbawa selaku Manajer Wilayah 2 PT Wijaya Karya, Firjan Taufa alias Topan selaku staf pemasaran PT Wijaya Karya serta Didiet Hadianto diduga kuat terlibat dalam kasus dugaan korupsi ini. (*)