Penjarah Hutan Riau Jangan Berlindung di UU Cipta Kerja, Ini Defenisi 'Keterlanjuran' Menurut Hukum
SabangMerauke News, Pekanbaru - Kehadiran Undang-undang nomor 11 tahun 2021 tentang Cipta Kerja bukanlah tameng perlindungan bagi penjarah atau penggarap hutan negara secara ilegal. Termasuk pula penjabaran undang-undang tersebut, salah satunya lewat Peraturan Pemerintah (PP) nomor 43 tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan atau Hak Atas Tanah yang menyebut adanya frasa 'keterlanjuran', jangan dijadikan tameng bagi legalisasi alih fungsi kawasan hutan tanpa izin.
Demikian disampaikan praktisi hukum lingkungan dan kehutanan, Surya Darma, SAg, SH, MH, Kamis (3/2/2022). Surya dalam pendapat hukumnya tersebut menjadikan dua putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Rokan Hilir tentang perkara gugatan legal standing terhadap kebun sawit diduga ilegal dalam kawasan hutan sebagai rujukan hukum tentang pemaknaan frasa 'keterlanjuran' dalam alih fungsi hutan secara ilegal oleh individu dan kelompok tertentu.
Putusan hukum tersebut tercatat dengan nomor register: 1/Pdt.G/L.H/2021/PN.Rhl tanggal 7 Desember 2021. Dalam perkara tersebut, Yayasan Wahana Sinergi Nusantara (Wasinus) menggugat Edison Napitupulu dan Kementerian LHK RI dalam kasus alih fungsi kawasan hutan untuk kebun sawit seluas 756 hektar di Kecamatan Pujud, Rohil.
Putusan kedua yang dijadikan rujukan yakni perkara nomor: 5/Pdt.G/L.H/2021/PN Rhl . Dimana dalam perkara ini Yayasan Wasinus menggugat Bonar Sianipar dan Menteri LHK dalam kasus alih fungsi kawasan hutan untuk kebun sawit seluas 1.605 hektar di Kecamatan Bagan Sinembah, Rohil.
Kedua gugatan tersebut telah dikabulkan oleh majelis hakim yang diketuai oleh Andry Simbolon SH, MH. Hakim Andry diketahui sebagai salah satu hakim lingkungan terbaik di Indonesia.
Kedua putusan perkara itu menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) dan dihukum memulihkan kembali kawasan hutan yang telah dialihfungsikan ke kondisi semula. Yakni dengan menebang tanaman kelapa sawit dan menggantinya dengan tanaman kehutanan. SabangMerauke News telah membaca putusan lengkap majelis hakim dua perkara ini.
Dalam putusan hukum kedua perkara itu, majelis hakim PN Rohil memaparkan tentang pasal 11 ayat (2) PP nomor 43 tahun 2021 yang mengatur tentang penyelesaian ketidaksesuaian dan 'keterlanjuran' terhadap hak atas tanah/ hak pengelolaan yang telah dikuasai dan dimanfaatkan di dalam kawasan hutan sebelum ditunjuk atau ditetapkannya kawasan itu sebagai kawasan hutan.
Sementara berdasarkan pertimbangan majelis hakim, penunjukkan kawasan hutan di Provinsi Riau telah terbit pada tahun 1986 yakni lewat Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan nomor: 173/Kpts-II/1986. Hakim menjadikan SK Menteri LHK itu sebagai rujukan landasan utama penunjukkan kawasan hutan di Provinsi Riau.
Dalam gugatan Yayasan Wasinus tersebut, tergugat Edison Napitulu menunjukkan bukti kepemilikan/ pengelolaan kawasan hutan yang dijadikan alat bukti diterbitkan tahun 2006. Sementara, Binsar Sianipar menunjukkan bukti kepemilikan/ pengelolaan kawasan hutan tahun 2000 dan tahun 2005. Bukti-bukti tersebut terbit jauh setelah SK penunjukkan kawasan hutan Riau oleh Menteri Kehutanan tahun 1986 lalu.
"Bukti tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai suatu keterlanjuran," demikian bunyi kutipan pertimbangan hukum kedua putusan majelis hakim PN Rokan Hilir tersebut.
Surya Darma yang juga merupakan Dewan Pakar Apkasindo Provinsi Riau ini menjelaskan, di dalam pertimbangan hukum kedua perkara tersebut, majelis hakim telah memberikan semacam defenisi makna 'keterlanjuran' dalam alih fungsi hutan tanpa izin. Frasa 'keterlanjuran' ini sempat dianggap oleh publik di Riau sebagai bentuk lepasnya implikasi hukum terhadap penggarap hutan negara secara ilegal.
Apalagi, frasa 'keterlanjuran' baru muncul pasca-terbitnya UU Cipta kerja dan PP nomor 43 tahun 2021. Sebelumnya, dalam UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, frasa 'keterlanjuran' tidak pernah ada sama sekali. Termasuk juga di dalam Undang-undang nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (P3H), tidak ditemukan adanya frasa 'keterlanjuran'.
Bunyi frasa 'keterlanjuran' muncul dalam pasal 11 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2021. Selengkapnya bunyi pasal tersebut yakni:
"Penyelesaian ketidaksesuaian dalam keterlanjuran terhadap hak atas tanah dan/atau hak pengelolaan yang telah dikuasai dan dimanfaatkan di dalam kawasan hutan sebelum ditunjuknya atau ditetapkannya kawasan tersebut sebagai kawasan hutan, dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah
dari kawasan hutan melalui perubahan batas
kawasan hutan".
Menurut Surya, pertimbangan hukum majelis hakim dalam dua perkara itu telah menjadi hal berharga untuk menjawab dugaan manipulasi makna frasa 'keterlanjuran' yang banyak dihembuskan pihak-pihak tak bertanggung jawab. Akibatnya, publik menjadi bingung. Namun, dengan adanya putusan dua perkara itu, maka rakyat makin tercerahkan.
"Putusan majelis hakim ini menjadi satu petunjuk tentang defenisi dan pemaknaan 'keterlanjuran' yang selama ini kerap disalahartikan. Putusan hakim tersebut adalah edukasi dan pencerahan hukum yang relevan mengisi kekosongan defenisi frasa 'keterlanjuran'. Kami mengapresiasi putusan hakim tersebut,. Dan sekarang publik telah dapat memaknai secara utuh dan benar tentang apa itu keterlanjuran," kata Surya Darma yang merupakan mahasiswa program doktor hukum Unisba ini. (*)