APBN Jadi Jaminan Proyek Kereta Cepat, Jadi Ingat Alasan Eks Menhub Jonan Menolak Keras
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta – Baru-baru ini pemerintah memutuskan untuk membuka opsi utang yang timbul dari proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB), sehingga proyek ini menjadi sasaran kritik publik.
Keputusan pemerintah Indonesia untuk bisa menjamin pembayaran utang Kereta Cepat Jakarta Bandung disahkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 89 tahun 2023 yang diteken Sri Mulyani. Pemberian jaminan pemerintah untuk utang proyek KCJB sejatinya mengingkari janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya.
Pada awalnya, Kepala Negara beberapa kali menegaskan proyek ini dikerjakan dengan skema business to business (b to b) antar-BUMN Indonesia dan China. Di mana negara tidak akan mengucurkan APBN maupun tidak memberikan jaminan dalam bentuk apa pun apabila di kemudian hari proyek ini mengalami permasalahan.
Sempat diragukan Jonan Sebelum mulai digarap, proyek ini sejatinya sudah menuai banyak kontroversi. Bahkan, kala itu, Menteri Perhubungan 2014-2016, Ignasius Jonan, beberapa kali mengungkapkan keberatan dengan proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Menurut logikanya sebagai orang yang pernah memimpin PT KAI, kereta cepat penghubung Jakarta dan Bandung dinilai memiliki sejumlah kekurangan, baik dari aspek bisnis maupun operasional. Ia berujar, membangun Kereta Cepat Jakarta Bandung yang jaraknya terbilang sangat pendek adalah bentuk pembangunan yang terlalu berorientasi Pulau Jawa.
"Soal kereta cepat Jakarta-Bandung, saya yang paling menentang. Itu tidak berkeadilan," kata Jonan dalam "CEO Speaks on Leadership Class" di Universitas Binus, Jakarta, pertengahan 2014, kala ia masih menjabat sebagai Dirut KAI.
"Rohnya APBN itu NKRI. Kalau Jawa saja yang maju, ya merdeka saja Papua dan lainnya itu," ucap Jonan. Sikap tegas itu terbawa hingga dirinya menjadi Menteri Perhubungan. Pria asal Surabaya itu mengharamkan dana APBN digunakan untuk membiayai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Ia juga menolak memberikan izin trase kala itu karena masalah konsesi, di mana KCIC meminta konsesi KCJB adalah 50 tahun sejak kereta beroperasi, sementara menurut aturan konsesi seharusnya dimulai dari penandatanganan kontrak.
Jonan menegaskan keputusannya itu untuk menegakkan aturan yang berlaku, yakni sesuai dengan Perpres Nomor 107 Tahun 2015 dan UU Nomor 23 Tahun 2007. Belakangan, konsesi KCJB kini malah ditetapkan menjadi 80 tahun. Diberitakan Harian Kompas, 1 Februari 2016, izin trase dari Kementerian Perhubungan sempat terkatung-katung lantaran Jonan belum menerbitkan izinnya. Menurutnya, alasan belum keluarnya izin, karena dirinya tegas mengikuti koridor regulasi.
"Saya kira publik tidak pernah memahami UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian dan peraturan menteri yang mengikutinya. Kalau mereka tahu, mereka akan mengerti saya hanya menjalankan undang-undang," kata Jonan saat itu.
"Mereka sebagai pengusaha tentu akan minta kemudahan sebanyak-banyaknya. Kementerian BUMN tentu minta sebanyak-banyaknya, kita (Kementerian Perhubungan) yang harus mengaturnya," tambahnya.
Kurang layak secara bisnis
Sementara diikutip dari pemberitaan Kompas.com 3 September 2015, Jonan saat itu menegaskan, selama ini tidak perlu ada moda transportasi semacam kereta cepat untuk rute Jakarta-Bandung. Kata dia, secara teknis, kereta cepat yang memiliki kecepatan di atas 300 kilometer per jam tidak cocok untuk rute pendek seperti Jakarta-Bandung yang hanya berjarak 150 kilometer.
Ini karena kereta peluru tidak akan mencapai kecepatan maksimal jika jaraknya sangat pendek. Belum lagi, kereta harus berhenti di beberapa stasiun. Kalaupun dengan teknologi kereta cepat saat ini bisa melaju di atas 300 kilometer per jam dengan rute sependek itu, kecepatan tinggi tersebut juga tidak akan optimal karena hanya bertahan beberapa menit.
Sementara dalam uji coba Kereta Cepat Jakarta Bandung yang sudah berlangsung beberapa hari, kereta cepat memang bisa melaju di atas 300 kilometer per jam. Namun uji coba yang dibuka untuk masyarakat umum dan jurnalis tersebut, kereta hanya berhenti di dua stasiun, yakni Halim dan Tegalluar. Artinya kereta tidak berhenti di Stasiun Karawang dan Stasiun Padalarang.
Untuk bisa mencapai akselerasi mencapai 300 kilometer per jam, kereta harus memiliki momentum interval jarak tertentu dan membutuhkan waktu beberapa menit. Logika ini yang menurut Jonan tidak masuk akal diterapkan dalam Kereta Cepat Jakarta Bandung. Perhitungan Jonan, jika di antara rute Jakarta-Bandung dibangun lima stasiun, jarak antar-satu stasiun dengan stasiun berikutnya sekitar 30 kilometer.
Kereta Cepat Jakarta Bandung sendiri awalnya direncanakan memiliki 5 stasiun, namun kini diputuskan hanya 4 meliputi Stasiun Halim, Karawang, Padalarang, dan Tegalluar. Sementara Stasiun Walini tidak dilanjutkan pembangunannya. "Kalau Jakarta-Bandung itu total misal butuh 40 menit, berarti kalau interval tiap stasiun (jika lima stasiun) adalah delapan menit. Kalau delapan menit, apa bisa delapan menit itu dari velositas 0 km per jam sampai 300 km per jam? Saya kira enggak bisa," kata Jonan.
Menurut Jonan, kereta cepat idealnya dibangun untuk rute-rute jarak jauh, misalnya Jakarta-Surabaya. Namun jarak sejauh itu akan membutuhkan biaya investasi sangat besar sehingga dinilai kurang mendesak, APBN juga seharusnya bisa dipakai untuk infrastruktur lain yang lebih prioritas, terlebih kereta cepat hanya akan menimbulkan persepsi Jawa sentris. (KB-07)