Pemutihan 3,3 Juta Ha Kebun Sawit di Kawasan Hutan Dituding Cuma Untungkan Korporasi, Prosesnya Juga Tertutup
SABANGMERAUKENEWS, Riau - Rencana pemutihan atau pengampunan 3,3 juta hektare kebun sawit ilegal yang berada di kawasan hutan ditanggapi oleh Serikat Petani Kelapa Sawit atau SPKS. Ketua Departemen Advokasi SPKS Marselinus Andry menilai kebijakan tersebut amat tertutup.
Bahkan, kata dia, SPKS sampai saat ini tidak menemukan Surat Keputusan (SK) tim Satgas dan Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam rangka Penataan Kawasan Hutan (PPTPKH). Termasuk petunjuk teknisnya pemutihan kebun sawit untuk sawit rakyat dan data peta indikatif yang digunakan pemerintah.
"Peta ini penting agar bisa dikawal oleh masyarakat sipil. Tapi prosesnya saat ini cenderung tidak transparan," ujar Andy kepada Tempo, Rabu, 20 September 2023.
Adapun pemerintah berniat menyelesaikan masalah kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan melalui rezim Undang-undang Cipta Kerja yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
SPKS menilai langkah itu hanya menjadi penyelesaian untuk gerbong perusahaan, tetapi tidak operasional dengan sawit rakyat. Padahal, menurut SPKS, penyelesaian sawit rakyat harus dibedakan.
Andy menyebutkan kebijakan ini tidak akan operasional untuk sawit rakyat karena beberapa hal. Pertama, sawit rakyat dalam kawasan hutan tidak bisa disamakan dengan skema self reporting dalam penyelesaiannya.
Seperti diketahui, pemerintah mensyaratkan kepada pemilik lahan untuk melaporkan semua data perizinan dan luas lahan yang dimiliki lewat situs Sistem Informasi Perizinan Perkebunan (SIPERIBUN).
"Petani enggak punya kemampuan untuk itu. Data itu enggak ada dan siapa yang akan memfasilitasi ini pun enggak ada hingga di tingkat kabupaten," ujarnya.
Selain itu, ia mengatakan kelembagaan penyelesaian ini terpusat di nasional. Sementara di daerah belum ada tim yang memastikan pemetaan serta verifikasi inventarisasi kebun-kebun sawit rakyat dalam kawasan hutan. Ditambah belum ada petunjuk teknis untuk menyiapkan infrastruktur, yang menghubungkan penyelesaian dari masyarakat yang belum terpetakan ke tim satgas.
Karena beberapa hal tersebut, ia meyakini skema penyelesaian dalam PP Nomor 24 Tahun 2021 itu sulit dioperasionalkan untuk sawit rakyat. Demikian juga strategi penataan kawasan hutan dalam PP Nomor 23 khususnya kebun sawit rakyat dibawah 5 hektar. "Problemnya sama. Akan sulit dioperasionalkan untuk sawit rakyat," ucap Andy.
Dengan demikian, menurut Andy, seharusnya pada tahap awal pemerintah fokus melakukan pendataan secara keseluruhan di lapangan. Penyelesaiannya harus dilakukan di daerah agar lebih efektif dan lebih proaktif, mulai dari pelaksanaan pemetaan, inventarisasi dan verifikasi.
"Sehingga penanganan untuk sawit rakyat dapat berbeda dengan gerbong perusahaan," ujarnya.
Rencana pemerintah ini pun telah digugat oleh Sawit Watch dan Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS) ke Mahkamah Agung pada Rabu, 20 September kemarin. Musababnya, rencana itu dinilai telah mengabaikan proses penegakan hukum dengan mengedepankan sanksi administratif dan mengabaikan proses pidana.
Lebih lanjut, Sawit Watch dan IHCS menilai langkah pemerintah ini dapat menjadi preseden buruk dalam upaya perbaikan tata kelola sawit. Regulasi tersebut juga berpotensi membuat perusahaan melakukan penyerobotan lahan dalam kawasan hutan karena ada kemungkinan semacam jaminan akan diputihkan lagi di kemudian hari. (KB-07)