Miliki Kebun Sawit 2,86 Juta Hektare, Riau Cuma Dapat Total Rp 392 Miliar DBH Kelapa Sawit, Sebanding dengan Kerusakan Infrastruktur dan Ekologi?
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Pemerintah pusat segera meluncurkan dana bagi hasil (DBH) kelapa sawit mulai tahun ini. Guyuran uang sawit ini akan dicairkan menyusul telah ditandatanganinya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 91 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Dana Bagi Hasil (DBH) Perkebunan Kelapa Sawit oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 8 September lalu.
Dalam aturan itu, termuat rincian alokasi DBH kelapa sawit yang akan diterima pemerintah provinsi, kabupaten dan kota yang merupakan daerah penghasil di seluruh wilayah Indonesia.
Total ada sebanyak 351 daerah penghasil meliputi provinsi, kabupaten dan kota yang mendapat guyuran DBH kelapa sawit tersebut.
BERITA TERKAIT: Daftar Lengkap Perbandingan Uang DBH Kelapa Sawit yang Diterima Tiap Daerah di Pulau Sumatera, Provinsi Riau Paling Besar
Berdasarkan lampiran PMK tersebut, sebanyak 13 pemerintah daerah di Riau (kabupaten/ kota) termasuk Pemprov Riau akan menerima guyuran DBH Sawit total Rp 392 miliar. Provinsi Riau menjadi penerima DBH sawit terbesar di Indonesia mencapai Rp 83 miliar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 14,99 juta hektare pada 2022.
Berdasarkan wilayahnya, Riau menjadi provinsi yang memiliki perkebunan kelapa sawit terluas mencapai 2,86 juta hektare.
Itu artinya, dengan total penerimaan DBH sawit sebesar Rp 392 miliar, maka rata-rata tiap kebun sawit di Riau dihargai besaran DBH sawit sekitar Rp 137 ribu per hektare.
Adapun DBH kelapa sawit bersumber dari bea keluar dan pungutan ekspor yang dikenakan atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah, dan/ atau produk turunannya.
Sementara itu, dasar pengalokasian besaran DBH kelapa sawit yang ditentukan yakni sebesar 50 persen dari pagu DBH Sawit berdasarkan luas lahan perkebunan sawit. Sementara 50 persen lainnya dialokasikan berdasarkan produktivitas lahan sawit.
Nah, apakah nilai DBH sawit yang diterima Riau sudah adil dan setimpal dengan efek sosial dan lingkungan yang terjadi dampak dari perkebunan kelapa sawit yang membuka lahan-lahan baru termasuk kawasan hutan?
Kerusakan Ekologi, Infrastruktur dan Buruh Murah
Keberadaan kebun kelapa sawit tentu saja memiliki dampak positif dari segi ekonomi, di antaranya menyerap tenaga kerja. Namun, soal ini masih bisa diperdebatkan. Faktanya, kehidupan pekerja sawit, khususnya buruh sawit masih jauh dari kata sejahtera. Kebijakan upah murah masih terus berlanjut di sektor kelapa sawit, termasuk minimnya perlindungan sosial yang diberikan.
Sementara, dampak negatif dari keberadaan perkebunan sawit secara signifikan memengaruhi penurunan kualitas ekologi, termasuk pemanasan global dan pencemaran lingkungan dari limbah-limbah yang dihasilkan industri kelapa sawit di Riau.
Pembukaan kawasan hutan secara ilegal untuk kebun kelapa sawit oleh individu masyarakat maupun kelompok tani dan koperasi yang kerap berkolaborasi (tameng) dengan korporasi sawit, telah menurunkan daya dukung lingkungan.
Selain itu, perkebunan kelapa sawit telah menjadi salah satu pemicu konflik agraria berkepanjangan dan tergerusnya ruang hidup komunitas adat terpencil (KAT) di Riau, sekaligus hilangnya tradisi budaya setempat.
Dampak lain yang sangat terasa saat ini yakni makin massifnya terjadi konflik antara satwa liar dilindungi dengan manusia, menyebabkan terancamnya populasi flora dan fauna yang kian menurun.
Pada sisi lain, keberadaan industri kelapa sawit dari hulu hingga hilir telah menyebabkan kerusakan infrastruktur yang massif oleh lalu lintas kendaraan pengangkut tandan buah segara (TBS), cangkang, maupun minyak sawit (CPO/ PKO) serta produk turunan lainnya.
Banyak jalan-jalan di provinsi Riau, baik jenis jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota hingga jalan lingkungan di pelosok desa di Riau yang hancur.
Nah, dengan total DBH sawit sebesar Rp 392 miliar tersebut, sejumlah kalangan menilai angka itu tidak sebanding dengan dampak yang dihasilkan oleh industri perkebunan kelapa sawit di Riau.
Berikut rincian DBH Sawit yang akan diterima Pemprov Riau dan 12 kabupaten/ kota di Riau:
1. Provinsi Riau: Rp 83.132.939.000
2. Kabupaten Bengkalis: Rp 22.160.404.000
3. Kabupaten Indragiri Hilir: Rp 43.397.030.000
4. Kabupaten lndragiri Hulu: Rp 27.305.271.000
5. Kabupaten Kampar: Rp 34.756.301.000
6. Kabupaten Kuantan Singingi: Rp 16.998.738.000
7. Kabupaten Pelalawan: Rp 33.873.165.000
8. Kabupaten Rokan Hilir: Rp 39.293.736.000
9. Kabupaten Rokan Hulu: Rp 33.687.684.000
10. Kabupaten Siak: Rp 27.419.188.000
11. Kota Dumai: Rp 16.782.649.000
12. Kota Pekanbaru: Rp 13.227.487.000.
Tahun Ini Segera Didistribusikan
Pendistribusian DBH Kelapa Sawit akan dimulai pada September hingga paling lambat 27 Desember 2023 mendatang.
Syarat pencairan dapat dilakukan jika kepala daerah provinsi dan kabupaten/ kota menyusun Rencana Kerja Penggunaan (RKP) DBH Sawit tahun anggaran 2023 sebagai dasar penggunaan dan penyaluran DBH Sawit yang diserahkan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. Adapun penyampaian RKP DBH Sawit dilakukan paling lambat 30 November 2023.
Bagi daerah provinsi dan kabupaten/ kota tidak menyampaikan RKP DBH Sawit sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan, maka penyaluran DBH Sawit dilakukan secara sekaligus paling lambat 27 Desember 2023.
"Seluruh DBH Sawit yang disalurkan, dianggarkan dalam APBD tahun anggaran 2024 dan RKP DBH Sawit tahun anggaran 2024,” demikian bunyi PMK tentang DBH Sawit tersebut.
Pada 2023, pemerintah pusat melalui Menteri Keuangan akan memberikan DBH sawit kepada 351 daerah dengan total anggaran sebesar Rp 3,4 triliun.
Untuk tahun-tahun selanjutnya, penyaluran akan terbagi menjadi dua tahap. Pada tahap I, penyaluran DBH sawit sebesar 50 persen dari alokasi, paling lambat Mei tahun anggaran berjalan.
Sementara tahap II sebesar 50 persen dari alokasi paling lambat bulan Oktober tahun anggaran berjalan. (*)