3 Pekerja Lapangan Kontraktor Pertamina Hulu Rokan PT Asrindo Citraseni Satria Dituntut Ringan 8 Bulan Penjara, Kasus Kematian Buruh di Blok Rokan
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Jaksa penuntut kasus kecelakaan kerja yang menyebabkan kematian Derickson Siregar, buruh migas PT Asrindo Citraseni Satria di Blok Rokan, menuntut ringan tiga orang terdakwa dalam perkara tersebut. Jaksa penuntut Benhard Siahaan hanya menuntut ketiga terdakwa hukuman 8 bulan penjara.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 8 bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan," tulis jaksa penuntut dalam surat tuntutan yang dibacakan pada Selasa (12/9/2023).
Sebelumnya, sidang pembacaan tuntutan perkara ini sudah ditunda sebanyak dua kali yakni sejak 29 Agustus dan 5 September lalu. Di laman SIPP disebutkan alasan penundaan karena surat tuntutan belum siap.
PT Asrindo Citraseni Satria merupakan mitra kerja atau kontraktor PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang sejak 9 Agustus 2021 lalu menjadi pengelola Blok Rokan, pasca berakhirnya konsesi PT Chevron Pacific Indonesia di blok migas terbesar di Tanah Air ini.
Dalam kasus kematian Derickson yang tertimpa peralatan kerja, tiga orang duduk sebagai pesakitan. Ketiganya hanya merupakan pekerja lapangan, bukan berasal dari level manajemen perusahaan ACS.
BERITA TERKAIT: Kecelakaan Kerja Tewaskan Buruh Migas di Blok Rokan Cuma Menjerat Kontraktor, Kenapa PT Pertamina Hulu Rokan Selamat dari Hukum?
Ketiga terdakwa yakni Octa Fiandri yang bertugas sebagai floorman pada pekerjaan pembuatan sumur minyak di Minas tersebut. Terdakwa kedua adalah Bayu Cherly Wibisono yang bertugas sebagai drillers console. Terdakwa terakhir bernama Afridal bertugas sebagai supervisor bagian perencanaan kerja dan pengawasan. Ketiga terdakwa disidang dalam perkara terpisah.
Ketiga terdakwa berada di lokasi sumur minyak Rig-06 pengeboran minyak milik PT PHR di areal Minas yang dikerjakan oleh PT ACS. Kejadian kecelakaan kerja ini berlangsung pada Rabu (18/1/2023) lalu. Korban Derikson Siregar tewas usai tertimpa besi FOSV dalam proses pembuatan sumur minyak.
Dalam tuntutannya, jaksa Benhard menyebut ketiga terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana karena kelalaiannya menyebabkan orang lain mati sebagaima telah diatur Pasal 359 KUHPidana pada dakwaan tunggal. Adapun ancaman hukuman paling maksimal dalam pasal 359 KUHPidana yakni 5 tahun penjara.
Adapun agenda sidang pembacaan tuntutan Selasa lalu, langsung dilanjutkan dengan pembelaan secara lisan oleh ketiga terdakwa. Pengadilan Negeri Pekanbaru telah menjadwalkan sidang pembacaan putusan digelar pada Kamis (21/9/2023) mendatang.
Penegakan Hukum Tak Tuntas
Diwartakan sebelumnya, penegakan hukum terhadap kasus kecelakaan kerja yang menelan korban nyawa lebih dari 10 buruh migas di Blok Rokan dinilai tidak tuntas. Sejauh ini, Dinas Tenaga Kerja Provinsi Riau serta kepolisian hanya menjerat secara hukum mitra kerja (kontraktor) PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Sementara, PHR sebagai pemilik wilayah operasional dan pemberi kerja masih selamat dari jerat hukum.
PHR adalah anak perusahaan PT Pertamina Hulu Energi (PHE) yang merupakan Sub Holding Upstream dari PT Pertamina (Persero).
Berdasarkan data yang diolah SabangMerauke News, dari sedikitnya 7 kecelakaan kerja yang terjadi di Blok Rokan di era pengelolaan PHR sejak 9 Agustus 2021 lalu, hanya dua kasus saja yang naik ke proses hukum. Itu pun, dari dua kasus yang naik ke proses hukum, hanya menjerat mitra kerja PHR sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab.
Perkara yang menimpa 3 pekerja kontraktor PT Asrindo Citraseni Satria (ACS) adalah salah satu dari dua kasus hukum yang naik dari sejumlah kecelakaan kerja yang terjadi di Blok Rokan.
Kasus kecelakaan kerja kedua di Blok Rokan yang naik ke proses hukum yakni yang melibatkan PT Pamunah Prasadah Limbah Industri (PPLI). Dalam kecelakaan kerja ini, sebanyak 3 buruh PPLI tewas karena masuk ke dalam tangki pengelolaan limbah di CMTF Balam, Rokan Hilir.
Ketiga korban tersebut bernama Hendri, Dedi Krismanto dan Ade Ilham. Kejadian naas ini berlangsung pada Jumat (24/2/2023) silam.
Dalam perkara ini, Project Manager PT PPLI bernama Harry Rahmadi dihukum percobaan oleh hakim Pengadilan Negeri (PN) Rokan Hilir, Riau. Hakim menjatuhkan pidana penjara terhadap Harry selama 3 bulan dengan masa percobaan 6 bulan. Sidang putusannya digelar pada Jumat (10/3/2023) lalu.
Masih dalam kasus kecelakaan kerja PPLI, sejumlah orang dari unsur perusahaan juga telah diproses hukum. Di antaranya Romi Zamri yang menjabat Supervisor Balam CMTF.
Romi didakwa dengan pasal 359 KUHPidana di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Saat ini agenda persidangan masih dalam pemeriksaan saksi-saksi.
Satu tersangka lain dari pihak PPLI yang ditetapkan Polda Riau sebagai tersangka bernama Harry Rahmady. Ia menjabat sebagai Project Manager Balam CMTF.
Namun, hasil penelusuran SabangMerauke News di laman SIPP Pengadilan Negeri Pekanbaru, Sabtu (9/9/2023), berkas perkara Harry belum teregistrasi dalam daftar perkara yang masuk ke pengadilan.
Sebelumnya, Polda Riau menyatakan kalau Harry sudah ditahan dan sempat diperpanjang penahanannya. Harry juga dijerat dengan pasal 359 KUHPidana. Belum diketahui mengapa perkara Harry tak kunjung dilimpahkan ke pengadilan, sementara koleganya Romi Zamri sudah disidangkan.
Disorot Serikat Buruh
Penanganan hukum kasus kecelakaan kerja di Blok Rokan yang dinilai tak tuntas ini disorot oleh aktivis buruh. Ketua DPC Federasi Pertambangan dan Energi (FPE) Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Siak, Suwando Hutasoit SH mempertanyakan transparansi kasus ini.
Ia menyatakan, sampai saat ini hasil investigasi dan rekomendasi pihak terkait yakni Dinas Tenaga Kerja Provinsi Riau terhadap pemeriksaan kasus kecelakaan kerja belum pernah diumumkan secara resmi.
"Publik khususnya buruh tidak mengetahui apa hasil investigasi atas kasus-kasus kecelakaan kerja yang terjadi di Blok Rokan," kata Suwandi, Sabtu pagi ini.
Ia juga mempertanyakan mengapa tanggung jawab manajemen PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) tidak ditarik dalam kasus-kasus kecelakaan kerja tersebut. Padahal, kata Suwandi, PHR adalah pihak pemberi kerja yang harusnya bertanggung jawab atas peristiwa kecelakaan kerja yang terjadi.
"Hal itu telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pemberi kerja harusnya bertanggung jawab," kata Suwandi.
Menurutnya, tanggung jawab PHR dalam melakukan pengawasan kepada kontraktor harusnya dipertanyakan.
"Jangan hanya mitra kerja (kontraktor) saja yang diminta pertanggungjawaban dan dipersalahkan. Dimana tanggung jawab pemberi kerja dalam hal ini PHR?" tanya Suwandi.
Ia meminta agar institusi dan otoritas terkait memberikan sanksi dan penanganan hukum yang sama terhadap PHR.
"Harusnya ada sanksi tegas kepada PHR ketika lalai melakukan pengawasan kepada kontraktornya. Semuanya sama di depan hukum. Agar ada efek jerah dan kejadian kecelakaan kerja tidak berulang dan kambuh lagi," tegas Suwandi. (*)