Menteri ATR/BPN Sebut Pulau Rempang Kawasan Hutan, Praktisi Resolusi Konflik: Itu Belum Memiliki Kepastian Hukum!
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto menyatakan lahan tinggal masyarakat sebagai pemicu kericuhan di lokasi proyek Rempang Eco City di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, tidak memiliki sertifikat. Ia juga menyebut kalau Pulau Rempang sebagian besar merupakan kawasan hutan.
Hadi merinci lahan yang akan dijadikan lokasi Rempang Eco City seluas 17 ribu hektare merupakan kawasan hutan. Dari jumlah itu, sebanyak 600 hektare merupakan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dari Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik, Ahmad Zazali SH, MH menilai penunjukan Pulau Rempang sebagai kawasan hutan belum memiliki kepastian hukum. Menurutnya, berdasarkan data BBKSDA Riau tahun 2018, penunjukkan Pulau Rempang sebagai kawasan hutan berdasarkan SK Menteri Kehutanan nomor 357 Tahun 1986.
Adapun isi SK Menteri Kehutanan tersebut menyatakan bahwa status tanah di Pulau Rempang sebagian besar masuk dalam kawasan hutan dengan fungsi hutan taman buru seluas 16 ribu hektare dan hutan lindung (HL). Sisanya sebagian kecil adalah hutan produksi (HP), hutan produksi tetap (HPT), hutan produksi dapat dikonversi (HPK), dan Areal penggunaan lain (APL).
Zazali menjelaskan, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara Nomor 45/PUU- IX/2011 telah menguji konstitusionalitas definisi kawasan hutan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap".
Sementara, kata Zazali, putusan MK telah menyatakan pasal tersebut inkonstitusional. Sehingga Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan berubah menjadi "Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap".
"Bahwa jika tanpa ada proses yang lengkap yakni sampai tahap penataan batas, pemetaan dan penetapan, maka pengukuhan kawasan hutan belum selesai. Karena pengukuhan kawasan hutan adalah untuk memberikan kepastian hukum tentang kawasan hutan itu sendiri," kata Zazali dalam keterangannya diterima SabangMerauke News, Kamis (14/9/2023).
Zazali menilai, karena Pulau Rempang masih sebatas dilakukan penunjukan sebagai kawasan hutan, maka dapat dinyatakan status hutannya belum memiliki kepastian hukum sebagai kawasan hutan.
"Maka memasukkan Pulau Rempang sebagai kawasan Otorita Batam pada 1992 patut dipertanyakan apa landasan hukumnya. Mengingat hak menguasai negara hanya berdasarkan sebatas penunjukan kawasan hutan. Begitu pula hak pengelolaan (HPL) yang diberikan setelah itu maka dapat diduga telah menjadi kabur landasan hukumnya," tegas Zazali yang juga merupakan Managing Partner AZ Law Office & Conflict Resolution.
Sebelumnya, konflik lahan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau mulai menjadi perhatian banyak pihak. Hal ini lantaran warga terlibat bentrok dengan aparat kepolisian mengenai rencana relokasi warga Pulau Rempang untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City yang digarap pengusaha Tomy Winata dan investor asal Tiongkok.
Sebagian besar warga menyatakan penolakan relokasi. Meski sebenarnya pemerintah berjanji sudah menyiapkan lokasi hunian yang lebih layak dan memiliki sertifikat.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Hadi Tjahjanto menegaskan bahwa lahan tinggal sebagai pemicu kericuhan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, tidak memiliki sertifikat.
Hadi mengatakan, sebelum terjadi konflik Pulau Rempang, pemerintah telah melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat.
Proyek Pulau Rempang Masuk PSN
Masyarakat Pulau Rempang bergeming, menolak relokasi atas rencana pemerintah yang akan membangun kawasan Rempang Eco City, di Pulau Rempang tersebut. Akibatnya, bentrok antara masyarakat dengan polisi pecah.
Presiden Joko Widodo pun mengutus Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia membangun komunikasi kepada masyarakat Rempang. Sebagaimana diketahui, kawasan di Pulau Rempang masuk sebagai Program Strategis Nasional (PSN).
Pemerintah akan menjadikan lokasi tersebut sebagai tempat industri, jasa, dan juga sektor pariwisata yang digarap oleh PT Makmur Elok Graha. Dari proyek ini, ditargetkan bisa meraup investasi hingga ratusan triliun di masa depan.
Untuk mewujudkan wacana tersebut, warga asli Pulau Rempang pun menolak keras relokasi dan penggusuran rumah yang sudah mereka tinggali.
Proyek Tak Bisa Jalan
Deputi Bidang Koordinasi dan Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang ruang, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Wahyu Utomo, mengatakan pengerjaan Rempang Eco City baru akan terlaksana jika pengadaan lahan telah selesai.
"Pokoknya kalau PSN kan sudah ditetapkan, tinggal mulainya atau apanya ya sama seperti PSN lain, pengadaan lahan, kalau pengadaan lahan belum selesai kan bagaimana mau bangun?" kata Wahyu dalam Infrastructure Forum, Sewindu Program Strategis Nasional di Kota Kasablanka, Rabu (13/9/2023).
Wahyu enggan mengomentari lebih jauh perihal situasi yang memanas di Pulau Rempang, Kota Batam. Yang jelas, imbuhnya, kelanjutan PSN di Pulau Rempang masih menunggu tahap awal, dalam hal ini pengadaan lahan.
"Kan sudah dibilang sama presiden harus direlokasi. Tanya BP Batam yang tahu detilnya. Dia kan baru masuk sebagai PSN, tapi kan projeknya belum jalan, baru nyiapin dulu," jelasnya. (*)