DPD RI Kebut Revisi UU Pemda, Fachrul Razi: Otonomi Daerah Sekarang Tinggal Cangkang!
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Ketua Komite I DPD RI Fachrul Razi menegaskan otonomi daerah saat ini dapat dikatakan tinggal cangkang saja. Alasannya, banyak kewenangan desentralisasi yang ditarik ke pemerintah pusat.
Fakta ini tidak terlepas dari inkonsistensi dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan juga dampak dari terbitnya beberapa undang-undang sektoral lain seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba dan lainnya yang telah menarik kewenangan daerah ke pusat.
"Tidak semua daerah merasa nyaman dengan penarikan kewenangan tersebut. Belum lagi dengan ambiguitas kedudukan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sekaligus sebagai kepala daerah otonom yang pelaksanaannya tidak efektif sehingga perlu dicarikan role model yang lebih tepat," kata Fachrul Razi, Selasa (12/9/2023).
Menurutnya, hakekat DPD RI tidak terlepas dari semangat otonomi daerah yang dilahirkan melalui semangat reformasi setelah masa-masa sebelumnya dikungkung oleh rezim sentralisasi. Karenanya, DPD RI melalui Komite I akan segera memprakarsai revisi UU Pemda untuk mengembalikan spirit otonomi daerah dan juga sebagai pintu masuk pemekaran daerah yang sudah cukup lama dilakukan moratorium.
Ia menjelaskan, Komite I DPD RI telah melakukan evaluasi dan identifikasi materi perubahan UU Pemda melalui kunjungan kerja ke Pemerintah Provinsi Jawa Timur di Surabaya (11/9/2023) kemarin. Senator Fahrul Razi menyebut, Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi yang telah siap secara struktur dan infrastruktur dan dianggap berhasil dalam merespon pergeseran kewenangan otonomi dari daerah ke pusat.
"Komite I perlu melakukan sharing experience sebagai bahan masukan revisi UU Pemda," katanya.
Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setdaprov Jatim, Benny Sampirwanto menilai peran ganda gubernur sebagaimana disampaikan senator Fahrul Razi memang menimbulkan masalah. Peranan gubernur dalam kedudukan sebagai wakil pemerintah pusat seringkali dilangkahi oleh pemerintahan kabupaten/ kota dalam banyak urusan.
"Misalnya, dalam urusan sosial, seringkali pemerintah kabupaten/ kota langsung bypass ke instansi pusat (Kementerian Sosial) dan tidak melalui gubernur. Akibatnya, ketika provinsi membutuhkan suatu data, maka harus meminta ke pemerintah pusat yang seharusnya data tersebut diberikan oleh kabupaten/ kota kepada provinsi," kata Benny.
Ia mengusulkan dilakukannya penataan ulang kedudukan provinsi yang dipimpin oleh gubernur. Misalnya penetapan secara jelas titik berat otonomi ada di provinsi, sementara kabupaten/ kota harus bertanggungjawab kepada provinsi.
Terkait dengan efek negatif dari cengkraman sentralisasi akibat penarikan kewenangan otonomi daerah ke pusat, ternyata dinas-dinas daerah yang hadir dalam acara kunjungan kerja ini ikut merasakan. Misalnya, ada aturan teknis pusat yang membelenggu keleluasaan daerah dalam melakukan revisi APBD.
"Dampaknya, muncul kesulitan pemerintah daerah, misalnya, dalam relokasi anggaran untuk bantuan orang miskin. Sementara itu di sisi lain pemerintah pusat mendesak daerah untuk mengentaskan kemiskinan ekstrem," kata Benny.
Selain itu, kebijakan pemerintah pusat dalam kemudahan perizinan berefek pada minimnya verifikasi lapangan. Proses verifikasi izin kebanyakan secara formalitas saja (di atas meja). Hal ini dapat menyulitkan daerah dalam melakukan pengawasan dan pengendalian kelak setelah izin tersebut diterbitkan.
Di bidang kesehatan, juga belum ada suatu sistem yang dapat menjamin kendali mutu dalam pelayanan kesehatan ataupun menatakelola distribusi, ketersediaan anggaran dan perpindahan sumber daya tenaga kesehatan.
Sementara di bidang ESDM, cukup banyak pula kewenangan yang ditarik ke pusat seperti kewenangan bidang pertambangan, air tanah dan mineral logam.
Menurut Senator Ajiep Pandindang, benang kusut dari persoalan otonomi daerah saat ini sebenarnya terletak pada adanya pengaturan kewenangan atau urusan pemerintahan yang tidak jelas batas-batasnya antara pusat dengan daerah. Dengan kata lain, dalam UU Pemda, pembagian kewenangan atau urusan pemerintahan tidak dikemas secara konkrit.
Hal ini seolah-olah sengaja didesain demikian agar kewenangan tersebut setiap saat bisa ditarik ke pusat. Oleh sebab itu perlu rekonstruksi ulang pembagian kewenangan atau urusan pemerintahan antara pusat dengan daerah secara jelas dalam revisi UU Pemda yang sedang digagas oleh DPD RI. (KB-05/Mohamad Ichsan)