Sengketa Indomie Dituding Plagiat Mie Gaga, Nilai Pasar PT Indofood CBP Sukses Makmur Turun
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Polemik antara pendiri dua produsen mi instan menjadi topik viral di berbagai media sosial. Sengketa Indomie yang dituding produk plagiat Mie Gaga menyebabkan nilai pasar PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) turun Rp 6,7 triliun.
Hal tersebut berawal dari unggahanyang ramai diTikTok soal komisaris produsen Mie Gaga PT Jakarana Tama Djajadi Djaja yang disebut sebagai penemu Indomie, sebelum akhirnya berpolemik dengan Sudono Salim, pendiri Grup Salim sekaligus pemilikbrandIndomie saat ini.
Melansir Refinitiv, saham ICBP ambles 4,9% menjadi Rp11.125 per saham (8/9), terhitung sejak kontraversi dari Indomie dan Mie Gaga mencuat pada 18 Agustus 2023.
Penurunan saham ICBP ini menyebabkan nilai pasarnya hilang Rp 6,7 triliun dalam tiga pekan terakhir. Kapitalisasi pasar ICBP menguap dari Rp136,44 triliun pada 18 Agustus menjadi Rp129,71 triliun pada 8 September 2023.
Dengan demikian, saham ICBP ditutup terkoreksi tiga pekan beruntun berurutan dari penurunan pertama 2,35%, 1,97%, dan 0,67%.
Melansir data EuroMonitor pada 2017, Indomie besutan Grup Indofood (via Indofood CBP Sukses Makmur/ICBP) milik keluarga Salim menjadi penguasa pasar. Menurut riset Euromonitor (2017), setidaknya selama 2012-2017, Indomie memiliki pangsa pasar di kisaran 70%.
Sementara, produsen Mie Gaga PT Jakarana Tama milik Djajadi Djajamemiliki pangsa pasar lebih dari 2%.
Skenario Sengketa Indomie dan Mie Gaga
Persoalan bermula dari unggahan Instagram @indomie pada 17 Agustus 2023, seorang netizen dengan akun @dthnry, misalnya, berkomentar, "Indomie anak kandung pak djajadi djaja."
Kemudian,kiriman Indomie lainnya, pada 27 Agustus 2023, pengguna @adityasprtmn42 menulis, "BISNIS HASIL MALING KO BANGGA."
Beberapa netizen lainnya membeli Mie Gaga dengan menyebut, "Mie gaga kebanggaanku," seperti tulis @anisa_rahmawatiiii pada 31 Agustus 2023 dalam postingan @indomie pada 3 hari lalu.
Tidak hanya itu, netizen beramai-ramai 'menggeruduk' kolom komentar postingan Indomie lainnya, termasuk kiriman pada dua hari lalu.
PenggunaInstagramdenganusername@_dionsptrr, misalnya, berkomentar, "Tombol yang suka mie gaga ==== >." Komentarnya pun disukai oleh 4.823likesper 31 Agustus 2023, pukul 00.03 WIB.
Djajadi Djaja Buka Suara
PT Jakarana Tama akhirnya buka suara menanggapi kabar yang sedang beredar mengenai salah satu komisarisnya yang diakui sebagai penemu produk Indomie.
Dalam pernyataan resmi, Jakarana Tama dengan tegas membantah klaim bahwa komisaris mereka, Djajadi Djaja, terlibat dalam penciptaan, perintah pembuatan, penyebaran, atau memberikan komentar terkait berita-berita yang beredar seputar Indomie.
Mereka juga menegaskan bahwa Djajadi tidak pernah dimintai keterangan terkait isu ini.
"Djajadi Djaja dan PT Jakarana Tama tidak akan memberikan tanggapan apa pun terkait berita yang telah tersebar," ujar Djajadi dalam pernyataan resmi yang dikutip pada Jumat (25/8/2023).
Sebelumnya, berita telah mencuat bahwa Djajadi Djaja adalah salah satu tokoh di balik kemunculan produk Indomie bersama dengan pengusaha Liem Sioe Liong atau Sudono Salim. Keduanya mendirikan PT Indofood Eterna pada tahun 1984.
Namun, pada tahun 1993, perusahaan Djajadi mengalami masalah keuangan yang menyebabkan Grup Salim memutuskan hubungan dan mengeluarkannya dari Indofood.
Dalam perkembangan selanjutnya, Djajadi melanjutkan usaha penjualan mie instan di bawah naungan PT Jakarana Tama. Menurut situs resmi Gagafood.co.id, Djajadi masih tercatat sebagai komisaris di perusahaan tersebut yang memasarkan produk Mie Gaga, Mie "100", "1000", Mie Gepeng, dan Mie Telor A1.
Perseteruan Djajadi Versus Indofood
Pada 1999, Djajadi diketahui sempat melayangkan gugatan kepada PT Indofood Sukses Makmur dan empat mantan pejabatnya atas pembelian merek dagang yang dilakukan perusahaan tersebut pada pertengahan tahun 1980an.
Mengutip dari artikel Wall Street Journal yang terbit 2 Februari 1999, menurut dokumen pengadilan yang diperoleh Dow Jones News Wire kala itu, perusahaan Djajadi PT Wicaksana Overseas International juga pernah menjadi distributor produk Indofood.
Dalam gugatannya, yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Djajadi menuntut ganti rugi sebesar Rp620 miliar dari Indofood sendiri, ada pula Chief Executive Officer (CEO) Salim Group Anthony Salim dan tiga mantan pejabat Indofood, Ibrahim Risjad, Djuhar Sutanto dan Sudwikatmono.
Saifullah, pengacara firma hukum Lubis, Santosa & Maulana di Jakarta, yang mewakili Djajadi, membenarkan bahwa Indofood dan keempat eksekutifnya dituntut karena praktik bisnis tidak sehat terhadap Djajadi terkait perjanjian jual beli saham pada pertengahan tahun 1980an.
Djajadi terpaksa menjual 11 merek makanan kepada para terdakwa hanya dengan harga 30.000 rupiah dan tiga di antaranya merupakan merek paling populer di Tanah Air pada saat itu," klaim Saifullah.
Pada saat itu, WSJ tidak dapat mendapat komentar dari eksekutif Indofood.
Lebih rinci, berdasarkan dokumen yang diajukan ke pengadilan, Djajadi mengklaim awalnya memiliki 11 merek makanan termasuk Indomie dan Chiki Snack & Lukisan yang populer. Merek-merek tersebut digunakan oleh PT Sanmaru Food Produsen Co., sebuah perusahaan milik Pak Djajadi yang bekerja sama dengan tiga mitra.
Dalam perjanjian yang ditandatangani pada 1984, empat mantan eksekutif Indofood membeli 42,5% saham Sanmaru. Mereka kemudian memperoleh saham mayoritas di Sanmaru melalui peningkatan modal disetor Sanmaru, menurut dokumen pengadilan.
"Strategi menambah jumlah saham yang diterbitkan menjadi 8.000 dari 400 dan meningkatkan modal disetor menjadi satu miliar rupiah dari 50 juta rupiah menguntungkan para terdakwa karena mereka adalah investor besar dan mampu membeli sebagian besar perusahaan tersebut. dan menjadi pemegang saham pengendali," kata dokumen itu.
Djajadi mengaku terpaksa menjual perusahaannya beserta merknya kepada PT Indofood Interna Corp. dengan harga yang sangat murah pada tahun 1986. Kesebelas merek tersebut dijual dengan total harga 30.000 rupiah.
Djajadi menuntut agar transaksi penjualan tersebut dibatalkan karena ia menuduh perjanjian jual belinya diambil dengan paksa. Dia bersikeras bahwa merek tersebut adalah miliknya secara pribadi dan tidak seharusnya dimasukkan sebagai aset Sanmaru. Jadi, meski Sanmaru sudah dijual, dia tetap menjadi pemilik sah merek tersebut. (*)