Jargon Riau Hijau dan Bau Amis Buldoser Barang Bukti Tangkapan DLHK yang Hilang Itu
SabangMerauke News, Riau - Kita tersentak, kaget dan marah manakala mendengar alat berat buldoser tangkapan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau di hutan lindung Bukit Betabuh, Kuantan Singingi, akhir pekan lalu hilang. Aneh dan janggal rasanya. Barang bukti sebagai elemen krusial dari sebuah dugaan tindak pidana raib.
Sejurus kemudian, bau amis tercium. Buldoser ditemukan oleh sekelompok aktivis lokal peduli lingkungan sudah berada dalam penguasaan miliknya di Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. Pengakuan Raisa, istri pemilik alat berat itu, ia telah menyerahkan uang sebesar Rp 50 juta kepada oknum yang disebutnya orang DLHK di Pekanbaru. Kata Raisa, usai menyerahkan 'upeti', alat berat di dalam kawasan hutan bisa dipindahkan.
BERITA TERKAIT: Astaga! Setor Rp 50 Juta ke Oknum DLHK Riau, Alat Berat Tangkapan Polhut di Kuansing Bebas Dibawa Pemiliknya ke Sumbar
DLHK Riau merespon datar, meski sedikit kaget. Lewat pejabatnya, Mohammad Fuad, DLHK dilaporkan telah membentuk tim investigasi menelisik kebenaran informasi tersebut. Fuad juga menyebut akan memanggil pihak-pihak yang terlibat dalam operasi pengamanan kawasan hutan yang menemukan alat berat itu. Surat panggilan telah dilayangkan, namun entah kapan akan dilakukan pemeriksaan. Tentu yang namanya pemeriksaan internal sifatnya tertutup. Akses publik pasti terbatas.
BERITA TERKAIT: Alat Berat Barang Bukti Perambahan Hutan Lindung di Kuansing Hilang, Akademisi: Periksa Oknum yang Terlibat!
Itu sebabnya, suara untuk mengambil alih kasus ini oleh instansi hukum eksternal muncul. Pakar hukum pidana, Dr Nurul Huda meminta agar Kejaksaan Tinggi maupun Polda Riau turun memeriksa pengakuan Raisa. Nurul Huda kurang yakin jika kasus itu ditangani secara internal oleh DLHK akan mendapat hasil objektif. Jeruk makan jeruk, istilahnya.
Anggota DPRD Riau, Mardianto Manan sejak awal mendengar kabar hilangnya barang bukti alat berat sudah curiga. Ia merespon keras. Menurutnya, kejadian itu sangat memalukan, khususnya bagi DLHK Riau. Barang seberat dan sebesar itu bisa raib, tanpa diketahui oleh petugas. Beralasan memang komentar dosen yang juga politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini.
"Ini sangat memalukan sekali," kata Mardianto menyindir DLHK Riau kepada media.
Wajar rasanya publik menuntut DLHK untuk membuka kasus ini secara tuntas. Sebagai organisasi perangkat daerah (OPD) yang tugasnya melakukan melakukan pengelolaan dan juga penjagaan kawasan hutan di wilayah otoritasnya, DLHK perlu mempertanggungjawabkan peristiwa ini. Jangan ditutup-tutupi.
Kasus ini menjadi 'tamparan' keras pula bagi duet Syamsuar-Edy Natar, pemimpin pemerintahan yang pernah dulu di awal pemerintahannya menggelorakan jargon 'Riau Hijau'. Slogan itu awalnya dinilai kontekstual dengan kondisi lingkungan Riau yang kian rusak dan terkoyak-koyak.
Pertanggungjawaban publik terhadap jargon 'Riau Hijau' sedang diuji. Apakah hanya sekadar kata-kata belaka. Atau cuma narasi di atas kertas penghias untuk memoles citra pemerintahan. Maklum, isu lingkungan kian nge-tren dan akan selalu aktual.
Publik menanti sikap Gubernur Riau, Syamsuar atas kasus hilangnya alat berat yang kemudian ditemukan oleh masyarakat, bukan oleh oleh aparat pemerintah. Apakah Syamsuar menganggap kasus ini sebagai problem kecil atau hal serius? Atau adakah anggapan kalau masalah alat berat yang hilang, terlalu kecil menjadi urusan seorang Gubernur?
Publik menilai, kasus ini bukan soal besar kecil, murah mahal dan isu viral atau terpendam. Tapi ini menyangkut isu moral penyelenggara pemerintahan. Jika pemberian uang (setoran) Rp 50 juta sebagai syarat pembebasan alat berat itu benar adanya, maka publik akan menilai begitu rusaknya moral etik aparat pemerintah. Ini seperti menembak burung di dalam sangkar. Merusak rumah sendiri yang seharusnya melindungi dan merawatnya.
Tudingan setoran uang Rp 50 juta juga memalukan. Itu uang receh yang mengotori mahalnya kredibilitas publik sebuah institusi. Publik akan mengingat-ingat dan mengaitkan jargon Riau Hijau dengan uang seharga Rp 50 juta. Ini masih satu kasus, kita tak tahu apakah ada kejadian sejenis lain yang sudah terjadi. Sangat miris.
Kasus-kasus lingkungan hidup dan kehutanan di Riau sungguh banyak. Daftarnya tebal dan panjang. Kasus pencemaran limbah perusahaan banyak terjadi, tapi negara seakan tak berdaya. Belum lagi kasus perampokan lahan hutan negara, sungguh tak terhitung jumlahnya. Lagi-lagi pemerintah terkesan menutup mata. Kita tak tahu apa motifnya.
Kini, langkah tegas harus diambil Gubernur Riau untuk membereskan birokrasi pemerintahannya. Itupun jika ia masih mau, meski belum terlambat.
Di luar negeri dengan peradaban moral etik pemerintahan yang sudah tinggi, kasus begini sudah tentu menjadi aib besar. Pejabat dan pemimpin organisasi pemerintahan terkait, pasti lebih memilih mengundurkan diri sebelum dipecat. Tapi di negara Pancasila Indonesia, pejabat mengundurkan diri adalah sesuatu yang langka. Sudah dipecat, tapi tetap melakukan perlawanan.
Perlu dicatat, ini masih satu kasus yang terungkap pada satu OPD. Kita tak tahu apakah praktik sejenis di OPD lain juga terjadi.
Gubernur Syamsuar sedang diuji. Apakah ia akan membiarkan kasus ini berhembus begitu saja atau mengambil langkah keras. Publik akan menyaksikannya. (*)