Kecelakaan Kerja Tewaskan Buruh Migas di Blok Rokan Cuma Menjerat Kontraktor, Kenapa PT Pertamina Hulu Rokan Selamat dari Hukum?
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Penegakan hukum terhadap kasus kecelakaan kerja yang menelan korban nyawa lebih dari 10 buruh migas di Blok Rokan dinilai tidak tuntas. Sejauh ini, Dinas Tenaga Kerja Provinsi Riau serta kepolisian hanya menjerat secara hukum mitra kerja (kontraktor) PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Sementara, PHR sebagai pemilik wilayah operasional dan pemberi kerja masih selamat dari jerat hukum.
PHR adalah anak perusahaan PT Pertamina Hulu Energi (PHE) yang merupakan Sub Holding Upstream dari PT Pertamina (Persero). PHR mengelola Blok Rokan pasca-habisnya kontrak PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) di ladang minyak terbesar di Tanah Air ini, sejak 9 Agustus 2021 silam.
Berdasarkan data yang diolah SabangMerauke News, dari sedikitnya 7 kecelakaan kerja yang terjadi di Blok Rokan di era pengelolaan PHR sejak 9 Agustus 2021 lalu, hanya dua kasus saja yang naik ke proses hukum. Itu pun, dari dua kasus yang naik ke proses hukum, hanya menjerat mitra kerja PHR sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab.
Kedua kasus tersebut yakni kecelakaan kerja yang melibatkan pekerja kontraktor PT Asrindo Citraseni Satria (ACS). Dalam kasus ini, 3 orang telah ditetapkan sebagai tersangka yakni Octa Fiandri, Bayu Chetil Wibisono dan Afridal.
Ketiganya bahkan telah diadili di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Pada 12 September mendatang, Octa dkk akan menghadapi sidang dengan agenda pembacaan tuntutan.
Dalam kasus kecelakaan kerja PT ACS, seorang buruh bernama Derikson Siregar tewas pada Rabu (18/1/2023) lalu usai tertimpa besi FOSV di Rig-06 pengeboran minyak milik PT PHR di Areal Minas yang dikelola PT ACS.
Kasus kecelakaan kerja kedua di Blok Rokan yang naik ke proses hukum yakni yang melibatkan PT Pamunah Prasdah Limbah Industri (PPLI). Dalam kecelakaan kerja ini, sebanyak 3 buruh PPLI tewas karena masuk ke dalam tangki pengelolaan limbah di CMTF Balam, Rokan Hilir.
Ketiga korban tersebut bernama Hendri, Dedi Krismanto dan Ade Ilham. Kejadian naas ini berlangsung pada Jumat (24/2/2023) silam.
Dalam perkara ini, Project Manager PT PPLI bernama Harry Rahmadi dihukum percobaan oleh hakim Pengadilan Negeri (PN) Rokan Hilir, Riau. Hakim menjatuhkan pidana penjara terhadap Harry selama 3 bulan dengan masa percobaan 6 bulan. Sidang putusannya digelar pada Jumat (10/3/2023) lalu.
Masih dalam kasus kecelakaan kerja PPLI, sejumlah orang dari unsur perusahaan juga telah diproses hukum. Di antaranya Romi Zamri yang menjabat Supervisor Balam CMTF.
Romi didakwa dengan pasal 359 KUHPidana di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Saat ini agenda persidangan masih dalam pemeriksaan saksi-saksi.
Satu tersangka lain dari pihak PPLI yang ditetapkan Polda Riau sebagai tersangka bernama Harry Rahmady. Ia menjabat sebagai Project Manager Balam CMTF.
Namun, hasil penelusuran SabangMerauke News di laman SIPP Pengadilan Negeri Pekanbaru, Sabtu (9/9/2023), berkas perkara Harry belum teregistrasi dalam daftar perkara yang masuk ke pengadilan.
Sebelumnya, Polda Riau menyatakan kalau Harry sudah ditahan dan sempat diperpanjang penahanannya. Harry juga dijerat dengan pasal 359 KUHPidana. Belum diketahui mengapa perkara Harry tak kunjung dilimpahkan ke pengadilan, sementara koleganya Romi Zamri sudah disidangkan.
Disorot Serikat Buruh
Penanganan hukum kasus kecelakaan kerja di Blok Rokan yang dinilai tak tuntas ini disorot oleh aktivis buruh. Ketua DPC Federasi Pertambangan dan Energi (FPE) Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Siak, Suwando Hutasoit SH mempertanyakan transparansi kasus ini.
Ia menyatakan, sampai saat ini hasil investigasi dan rekomendasi pihak terkait yakni Dinas Tenaga Kerja Provinsi Riau terhadap pemeriksaan kasus kecelakaan kerja belum pernah diumumkan secara resmi.
"Publik khususnya buruh tidak mengetahui apa hasil investigasi atas kasus-kasus kecelakaan kerja yang terjadi di Blok Rokan," kata Suwandi, Sabtu pagi ini.
Ia juga mempertanyakan mengapa tanggung jawab manajemen PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) tidak ditarik dalam kasus-kasus kecelakaan kerja tersebut. Padahal, kata Suwandi, PHR adalah pihak pemberi kerja yang harusnya bertanggung jawab atas peristiwa kecelakaan kerja yang terjadi.
"Hal itu telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pemberi kerja harusnya bertanggung jawab," kata Suwandi.
Menurutnya, tanggung jawab PHR dalam melakukan pengawasan kepada kontraktor harusnya dipertanyakan.
"Jangan hanya mitra kerja (kontraktor) saja yang diminta pertanggungjawaban dan dipersalahkan. Dimana tanggung jawab pemberi kerja dalam hal ini PHR?" tanya Suwandi.
Ia meminta agar institusi dan otoritas terkait memberikan sanksi dan penanganan hukum yang sama terhadap PHR.
"Harusnya ada sanksi tegas kepada PHR ketika lalai melakukan pengawasan kepada kontraktornya. Semuanya sama di depan hukum. Agar ada efek jerah dan kejadian kecelakaan kerja tidak berulang dan kambuh lagi," tegas Suwandi. (*)