Penjabat Gubernur Pengganti Syamsuar Dari Internal Pemprov Riau Vs Pejabat Pusat, Apa Pentingnya?
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Jelang berakhirnya masa jabatan Gubernur Riau Syamsuar yang dipersingkat pada akhir 2023 ini, polemik sosok penggantinya menjadi isu politik panas. Dikotomi kandidat mengemuka antara Penjabat Gubernur Riau yang berasal dari internal pejabat Pemprov Riau dengan pejabat vertikal pemerintah pusat.
Diketahui, satu-satunya penjabat Pemprov Riau yang memenuhi kriteria sebagai kandidat penjabat gubernur adalah SF Hariyanto yang merupakan Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Riau. Selain itu, sebenarnya juga berpotensi kandidat lain dari kalangan kampus yakni rektor perguruan tinggi negeri di Riau.
Lantas, apa plus minus jika Penjabat Gubernur Riau berasal dari internal Pemprov dengan yang merupakan titisan pemerintah pusat?
Pengamat politik FISIP Universitas Riau, Dr Tito Handoko menyatakan, dikotomi antara pejabat daerah dengan pusat yang diangkat menjadi Penjabat Gubernur Riau sebenarnya tidak substansial. Ia menegaskan, siapapun bisa menempati posisi tersebut sepanjang memenuhi kriteria yang ditetapkan.
"Menurut saya, kita tidak perlu memperdebatkan hal itu. Yang masyarakat harapkan yakni apakah Penjabat Gubernur pilihan Presiden Jokowi mampu menjalankan tugas dengan efektif dan berdampak nyata pada pembenahan di daerah," kata Tito dihubungi SabangMerauke News, Kamis (8/9/2023).
Tito menilai Penjabat Gubernur Riau kendati pun berasal dari internal Pemprov Riau, namun tidak memenuhi syarat di luar persyaratan administrasi, maka tidak akan memberi manfaat apapun untuk masyarakat. Adapun syarat krusial lain yang disebut Tito yakni menyangkut syarat integritas dan moralitas.
"Jadi yang paling pokok itu menyangkut syarat integritas, moralitas dan rekam jejak. Kalau syarat administratif itu sudah jelas ukurannya, yakni setingkat eselon satu," kata Tito.
Ia menegaskan, syarat administratif kandidat Penjabat Gubernur yakni pejabat setara eselon I sudah merupakan kriteria baku yang dianggap memiliki kapasitas memimpin. Oleh sebab itu, dari manapun asal Penjabat Gubernur Riau yang direstui 'Istana', sebenarnya dianggap sudah memenuhi kecakapan, layak dan ideal.
"Seseorang yang sudah menyandang level pejabat eselon I itu kan berarti sudah memiliki pengalaman yang panjang dalam birokrasi. Artinya telah memiliki kecakapan manajerial lewat proses panjang dalam karir birokrasi di pemerintahan, Polri maupun TNI," katanya.
Ditanya apakah pejabat pemerintah pusat yang diangkat menjadi Penjabat Gubernur Riau harus belajar menyesuaikan kondisi sosial daerah, menurut Tito, hal tersebut bukan merupakan hal yang rumit dan menjadi halangan. Tito menegaskan birokrasi pemerintahan telah memiliki sistem dan mekanisme yang baku, sehingga tak harus mempelajari dari awal.
"Kan pemerintahan ini sudah punya sistem yang jelas. Tinggal menggerakkan dan menjalankan fungsi kontrol saja. Saya kira tak perlu membutuhkan waktu lama untuk melakukan penyesuaian," katanya.
Terkait dukungan kekuatan sosial dari elemen daerah, menurut Tito hal tersebut pun tidak terlalu signifikan. Seandainya, pemerintah pusat mengangkat pejabat 'Jakarta' menjadi Penjabat Gubernur Riau, maka upaya pendekatan terhadap tokoh-tokoh dan kelompok kepentingan lain akan bisa dilakukan secara cepat.
"Kalau faktor dukungan sosial dari kelompok lokal di daerah, saya kira itu hanya faktor tambahan. Karena siapa pun yang diangkat menjadi Penjabat Gubernur, pastinya akan bisa mengondisikan hal tersebut," kata Tito.
Riau Bukan Magnit Politik
Di sisi lain, kata Tito, Provinsi Riau bukanlah merupakan daerah yang diperebutkan dari sisi politik. Soalnya, jumlah penduduk Riau terbilang lebih kecil dibanding provinsi lain di wilayah Indonesia, apalagi dibandingkan dengan Pulau Jawa.
"Dari sisi ceruk suara, Riau tidak masuk dalam target-target politik nasional," katanya.
Namun, bisa saja perebutan posisi Penjabat Gubernur Riau menarik dari sisi potensi ekonomi dan kapital. Mengingat banyaknya korporasi besar di Riau, khususnya yang bergerak di sektor ekstraktif dan sumber daya alam.
"Jadi, Riau tidak terlalu menarik dari sisi ceruk politik. Namun, lebih pada daya tarik dari sisi potensi ekonomi dan sumber-sumber kapital," kata Tito yang merupakan dosen di jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Riau. (*)