Diduga Santri Pondok Pesantren di Kampar Dianiaya, Orangtua Korban Melapor ke Polda Riau
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Seorang santri di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Ishlah di Kecamatan Kampar Kiri Hilir, Kampar diduga menjadi korban perundungan disertai penganiayaan oleh sejumlah santri lainnya. Korban AA mengalami luka memar, bibir berdarah dan trauma sehingga memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan di ponpes tersebut.
Peristiwa dugaan perundungan dan penganiayaan ini terjadi pada Rabu (24/5/2023) lalu. Kasus ini pun telah dilaporkan oleh ibu korban Desi Lestari Astuti ke Polda Riau.
Kuasa hukum korban, Hendry Gunawan SH, MH dari Kantor Advokat Hendry Gunawan SH, MH & Assosiates menyatakan, laporan ke Polda Riau dibuat pada 11 Agustus lalu dengan nomor LP /B/313/VIII/2023/SPKT/POLDA RIAU.
Menurutnya, anak kliennya AA yang duduk di kelas 8 Ponpes Al Ishlah diduga kuat telah mendapat tindakan bullying dan kekerasan fisik oleh temannya sesama santri. Sebagai terlapor adalah santri inisial MA yang diduga merupakan pelaku utama. Namun, dperkirakan pelaku turut serta yang memiliki peran lain berjumlah lebih dari 6 orang.
"Tentu, penyidik yang memastikan siapa saja pelakunya. Kami berharap Polda Riau menindaklanjuti laporan tersebut, ” kata Hendry Gunawan didampingi anggota tim kuasa hukum Musnadul Firdausi SH dan Ovandi Laranda SH dalam konferensi pers, Rabu (30/8/2023).
Hendry menerangkan, peristiwa kekerasan terhadap AA ini terjadi di Ponpes Al Ishlah, Jalan lintas Pekanbaru-Talukkuantan, Kilometer 30, Kelurahan Sei Pagar, Kecamatan Kampar Kiri Hilir, Kampar, Rabu, 24 Mei 2023 lalu sekira pukul 21.00 WIB.
"Korban dipukul di bagian muka kanan yang mengakibatkan memar dan bibir bagian bawah pecah. Ada pelaku lain yang lain ikut memegang tangan korban. Ada santri lain bertindak sebagai provokator," terang Hendry.
Hendry menerangkan, pihaknya juga sudah melaporkan peristiwa tersebut ke unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Provinsi Riau. Soalnya, kondisi korban saat ini masih diliputi trauma.
Akibat dari peristiwa tersebut, adik korban yang sempat mendaftar ke ponpes tersebut pun menarik diri dan memilih bersekolah di tempat lain.
Hendry menerangkan, pihak ponpes harus bertanggung jawab atas dugaan peristiwa perundungan dan kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan agama tersebut. Selama ini, pihaknya telah melakukan upaya dialog dan musyawarah untuk menyelesaikan masalah ini. Namun, kata Hendry, pihak ponpes tidak menunjukkan langkah konkret penyelesaian yang memadai.
"Upaya menempuh langkah hukum sebagai pilihan terakhir kami, ketika proses dialog dan mediasi tidak berlangsung secara efektif. Dimana, ponpes seharusnya ikut bertanggung jawab dalam penyelesaian kasus ini," kata Hendry yang merupakan Ketua DPC Pergerakan Seluruh Advokat Indonesia (Persadi) Kota Pekanbaru.
Pengawas Ponpes Al Ishlah, Armansyah mengaku pihaknya telah berupaya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Ia juga meminta agar narasi peristiwa tersebut tidak dibesar-besarkan. Sebaliknya ia menyebut peristiwa itu merupakan perkelahian, meski menurut kuasa hukum korban tindakan kekerasan yang masuk ke ranah Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Uundang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Ia menyebut baru mengetahui kalau peristiwa di ponpes telah dilaporkan ke Polda Riau.
"Itu hak mereka, tentu kita akan dipanggil saksi. kita berikan bahan bahan yang kita punya,” tutupnya. (*)