Terkuak! Ini Alasan MA Selamatkan Ferdy Sambo dari Hukuman Mati Hingga Jatuhkan Vonis Seumur Hidup
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Ferdy Sambo sudah dijebloskan ke Lapas Salemba untuk menjalani hukuman penjara seumur hidup. Hukuman itu sejatinya lebih rendah usai Mahkamah Agung (MA) membatalkan vonis mati untuk Ferdy Sambo.
Batalnya vonis mati untuk Sambo itu dalam kasasi yang diadili oleh ketua majelis hakim Suhadi dibantu anggota Suharto, Supriyadi, Desnayeti, dan Yohanes Priyana pada 8 Agustus 2023. Putusan MA itu menganulir vonis mati yang sudah dijatuhkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) sekaligus dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
"Mengadili: menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi I/penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dan pemohon kasasi terdakwa Ferdy Sambo," tulis majelis hakim kasasi dalam salinan putusan yang diterima.
"Memperbaiki Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 53/PID/2023/PT DKI, tanggal 12 April 2023 yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 796/Pid.B/2022/PN Jkt.Sel., tanggal 13 Februari 2023 tersebut mengenai kualifikasi tindak pidana dan pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa menjadi menyatakan terdakwa Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melakukan pembunuhan berencana secara bersama-sama dan tanpa hak melakukan tindakan yang berakibat sistem elektronik tidak bekerja sebagaimana mestinya yang dilakukan secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara seumur hidup," imbuhnya.
Dalam salinan putusan itu disebutkan pula pertimbangan majelis kasasi. Disebutkan bila majelis kasasi mengamini putusan PN Jaksel dan PT DKI perihal unsur pidana tetapi lamanya hukuman perlu dipertimbangkan lebih lanjut.
"Bahwa telah menjadi fakta hukum bahwa terdakwa memang terbukti bersalah karena menyuruh Richard Eliezer Pudihang Lumiu menembak korban Nofriansyah Yosua Hutabarat dan terdakwa juga turut menembak korban hingga korban meninggal dunia, akan tetapi hal tersebut dipicu oleh motif atau alasan adanya peristiwa Magelang yang oleh Terdakwa peristiwa tersebut telah mengguncang jiwanya, menjadikan terdakwa marah besar dan emosional karena peristiwa tersebut dipahami terdakwa menyangkut harkat dan martabat serta harga diri terdakwa dan keluarganya. Meskipun tidak dapat dibuktikan peristiwa apa yang sesungguhnya terjadi di Magelang yang telah menjadikan terdakwa terlanjur marah besar, emosional dan tidak mampu mengontrol amarahnya tersebut, akan tetapi hal tersebut jelas tidak mungkin dapat menghilangkan sifat melawan hukum perbuatan terdakwa dan tidak pula menggugurkan pertanggungjawaban pidananya. Hal tersebut tetap dipertimbangkan dalam menjatuhkan pidana yang adil bagi terdakwa dilihat dari segi alasan mengapa terdakwa melakukan tindak pidana karena telah menjadi fakta hukum di persidangan," ucapnya.
"Selain itu, sejalan dengan amanat Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Maka riwayat hidup dan keadaan sosial terdakwa juga tetap harus dipertimbangkan karena bagaimanapun Terdakwa saat menjabat sebagai Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan jabatan terakhir sebagai Kadiv Propam pernah berjasa kepada negara dengan berkontribusi ikut menjaga ketertiban dan keamanan serta menegakkan hukum di tanah air, terdakwa telah mengabdi sebagai anggota Polri kurang lebih 30 tahun, terdakwa juga tegas mengakui kesalahannya dan siap bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan, sehingga selaras dengan tujuan pemidanaan yang ingin menumbuhkan rasa penyesalan bagi pelaku tindak pidana. Bahwa dengan pertimbangan tersebut, dihubungkan dengan keseluruhan fakta hukum perkara a quo, maka demi asas kepastian hukum yang berkeadilan serta proporsionalitas dalam pemidanaan, terhadap Pidana Mati yang telah dijatuhkan Judex Facti kepada Terdakwa perlu diperbaiki menjadi pidana penjara seumur hidup," imbuhnya. (*)