Lomba Tari Joget Sonde Dharma Wanita Kepulauan Meranti Dikritik Keras, Ciri Khas dan Kesakralan Hilang Menjadi Lucu-lucuan
SABANGMERAUKE NEWS, Riau - Perlombaan tarian Joget Sonde yang digelar Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kabupaten Kepulauan Meranti dalam rangka memeriahkan Hari Kemerdekaan RI ke 78 mendapat sorotan dan kritikan. Lomba yang dibuka oleh Pelaksana Tugas Bupati Kepulauan Meranti Asmar di Aula Kantor Bupati, Selatpanjang, Minggu (27/8/2023) dinilai telah menghilangkan kesakralan tarian asli daerah tersebut. Terkesan justru menjadi ajang lucu-lucuan, padahal tarian itu sarat akan makna budaya.
Pegiat kebudayaan, Rio Nugraha menyatakan Joget Sonde yang diperlombakan tersebut tidak mencerminkan ciri khas dari tarian itu sendiri dan terkesan merusak apa yang telah menjadi tradisi.
"Untuk sebuah pelestarian budaya, lomba Joget Sonde itu bagus. Tetapi yang salah itu tidak dibarengi dengan pengetahuan ataupun pemahaman lomba itu sendiri. Joget Sonde ini kan punya kita, punya Meranti, ini secara tak langsung sama dengan merusak punya kita sendiri," kata Rio, Senin (28/8/2023).
Lomba tarian Joget Sonde kreasi, menurutnya bertolak belakang dengan program yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kepulauan Meranti. Dimana saat ini Dinas sedang melakukan pembakuan ragam gerakan Tarian Joget Sonde.
"Joget Sonde itu saat ini sedang dilakukan pembakuan gerak, pola lantai dan musiknya. Hal itu dibuat sebagai bentuk pelestarian tradisi dan sebagai tujuan pembelajaran agar kelak ini bisa diperlombakan karena sudah ada gerakan dan pakem yang jelas. Tetapi kenapa kita harus membuat yang kreasi. Jadi ini lucu, istilahnya semacam berbanding terbalik apa yang dilakukan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dengan apa yang dilakukan Dharma Wanita. Makanya pelaksana harus dibarengi pengetahuan dan pemahaman Joget Sonde," ungkap Rio.
Dikatakan Rio, Project Besame yang saat ini menggesa upaya pelestarian kebudayaan merasa kecewa karena dengan banyaknya diciptakan kreasi membuat tarian Joget Sonde hilang kesakralannya.
"Kami merasa betul-betul sangat kecewa dengan hal tersebut. Kami banyak bertemu dengan pelaku Joget Sonde tradisi ini, mereka marah kenapa Joget Sonde dikreasikan seperti itu dan mereka tidak mau hal tersebut disebut Joget Sonde karena pada prinsipnya Joget Sonde tidak seperti itu," kata Rio lagi.
"Nah yang diperlombakan seperti itu, siapa yang jadi jurinya yang paham gerak, pola lantai dan musiknya. Joget Sonde yang dikreasikan banyak menambahkan atribut seperti bunga di kepala, menambahkan kaca mata, ditambahkan tompel pula, goyang pinggul semacam ditambahkan sehingga itu menjadi tarian lelucon dan ini sudah melenceng jauh dari aslinya," tutur Rio.
Rio yang juga Ketua Sanggar Kreasi Muda Bernas (Kemas) Meranti ini menyatakan sudah memperjuangkan agar Joget Sonde dibakukan geraknya.
"Intinya pelaksana harus punya pengetahuan dan pemahaman tentang Joget Sonde itu seperti apa. Ini sama saja dengan menghancurkan, padahal kami sudah beberapa kali memperjuangkan terkait hal ini hingga akhirnya ini dibakukan. Harusnya kita bangga kita punya yang aslinya," ucapnya.
Ia khawatir kegiatan tersebut akan menjadi kebiasaan yang berujung pada tindakan memalukan.
"Itukan awalnya dibuat oleh sanggar di Pekanbaru kemudian ditiru oleh sanggar di sini dengan mengkreasikan yang harusnya tidak menghilangkan nilai joget itu sendiri. Kita melihatnya menjadi miris. Kami sudah berbicara hal ini dengan kawan-kawan pemerhati budaya bahkan gubernur Riau, jangankan orang lain, kita sendiri tak bisa menghargai joget asli kita sendiri, malah kreasi yang ditampilkan. Kami sudah seringkali bicara terkait hal ini, jangan sampai kita pula yang memalukan diri sendiri," tukasnya.
Ia menyoroti salah satu contoh kebiasaan tak baik yang terjadi pada tarian penyambutan tamu yang menggunakan tepak sirih. Dimana ada beberapa kejadian tepak sirih yang dibawa penari justru menjadi tempat untuk menyelipkan uang.
"Inikan menjadi hilang nilai historisnya, ini lucu, sehingga nanti akan menjadi salah pengertian, dimana tepak itu bukanlah untuk mencari duit. Jika ada orang luar datang dan melihat itu bisa jadi fatal karena kita yang membiasakan hal itu, ini harus cepat diubah dan jangan sampai latah," pungkasnya.
Anugerah Warisan Tak Benda
Sebelumnya, Ketua Tim Joget Sonde Tradisi, Alam juga merasakan kecewa dengan kondisi dimana lebih banyak Tarian Joget Sonde kreasi yang ditampilkan ketimbang tradisi aslinya.
"Kami merasa kecewa, karena yang dikreasikan dan ditampilkan atas nama Joget Sonde, tapi yang ditampilkan itu bukan asli Joget Sonde. Anggota kami juga merasa sedih, karena sesekali kami juga ingin joget asli ini ditampilkan. Saya tak marah juga Joget Sonde kreasi yang ditampilkan, tapi ini malah yang asli jarang dibawakan," kata Alam.
Ditambahkan Alam, Joget Sonde kreasi selain tidak sesuai filosofi juga terkesan tidak sopan.
"Gerakan yang dibawa pun tidak sesuai dengan filosofi Joget Sonde itu sendiri. Yang asli terlihat agak sopan di mana gerakannya tak terlalu mengangkat ketiak, langkah juga tidak terlalu lebar," ucapnya.
Ditambahkan Alam, Joget Sonde sudah mendapatkan anugerah Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2016 lalu. Seharusnya, kata Alam, hal itu menjadi perhatian bersama untuk melestarikannya.
"Kami terus latihan untuk menjaga tradisi, tapi yang ditampilkan sering pula yang kreasi. Setelah mendapatkan WBTB ini artinya ada peran dan tanggung jawab bersama untuk melestarikan yang tradisi ini. Sekali lagi kami tidak marah bagi yang mengkreasikan, tapi yang tradisi ini jangan dilupakan, takutnya nanti hilang," ujarnya. (R-01)