Bertambah Lagi, Jumlah Caleg DPR dan DPD RI Mantan Narapidana Korupsi Jadi 15 Orang, Ini Daftarnya
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) kembali menambah daftar calon anggota DPR dan DPD RI yang merupakan mantan narapidana kasus korupsi. Sebelumnya ICW melansir jumlahnya hanya sebanyak 12 orang, namun kini bertambah 3 orang lagi sehingga menjadi 15 orang.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyatakan, pihaknya mendapat informasi tambahan dari masyarakat pasca melansir nama-nama bakal calon anggota legislatif mantan narapidana korupsi pada Jumat (25/8/2023) kemarin.
"Setelah dicek kembali, ada tiga orang lagi mantan terpidana korupsi yang sedang mencalonkan diri, baik sebagai anggota DPR RI maupun DPD RI," kata Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Sabtu (26/8/2023).
Adapun data tambahan 3 calon anggota DPR dan DPD RI yang merupakan mantan narapidana korupsi tersebut yakni:
1. Budi Antoni ALjufri, daerah pemilihan Sumatera Selatan II, Partai Nasdem, nomor urut 9. Budi merupakan mantan terpidana korupsi dalam perkara suap Ketua Mahkamah Konstitusi, mantan Bupati Empat Lawang.
2. Eep Hidayat, daerah pemilihan Jawa Barat IX, Partai Nasdem, nomor urut 1. Mantan terpidana korupsi dalam perkara biaya pungut pajak bumi dan bangunan Kabupaten Subang, mantan Bupati Subang.
3. Ismeth Abdullah, daerah pemilihan Kepualauan Riau, DPD RI, nomor urut 8. Mantan terpidana korupsi dalam perkara pengadaan mobil kebakaran, mantan Gubernur Kepulauan Riau.
Sebelumnya, ICW telah merilis 12 mantan narapidana korupsi yang masuk dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon anggota legislatif (bacaleg) DPR. Berikut nama-namanya:
1. Abdillah, tingkatan pencalonan DPR RI, Partai NasDem, Dapil Sumatera Utara I, nomor urut 5, kasus korupsi pengadan mobil pemadam kebakaran dan penyelewengan dana APBD.
2. Abdullah Puteh, tingkatan pencalonan DPR RI, Partai NasDem, Dapil Aceh II, nomor urut 1, kasus korupsi pembelian 2 unit helikotpter saat menjadi gubernur Aceh
3. Susno Duadji, tingkatan pencalonan DPR, PKB, nomor urut 2, korupsi pengamanan Pilkada Jabar 2009 dan korupsi penanganan PT SAL
4. Nurdin Halid, tingkatan pencalonan DPR, Partai Golkar, Dapil Sulsel II, nomor urut 2, korupsi distribusi minyak goreng Bulog
5. Rahudman Harahap, caleg DPR, Partai NasDem, Dapil Sumut I, nomor urut 4, korupsi dana tunjangan aparat desa Tapanuli Selatan saat menjadi Sekda Tapanuli Selatan
6. Al Amin Nasution, caleg DPR, PDIP, Dapil Jawa Tengah VII, nomor urut 1, kasus: menerima suap dari Sekda Kab Bintan Kepri Azirwan untuk memuluskan proses alih fungsi hutan lindung di Kab Bintan
7. Rokhmin Dahuri, caleg DPR, PDIP, Dapil Jabar VIII, nomor urut 1, korupsi dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan
8. Patrice Rio Capella, caleg DPD, Dapil Bengkulu, nomor urut 10, kasus: menerima gratifikasi dalam proses penanganan perkara bantuan daerah, tunggakan dana bagi hasil, dan penyertaan modal sejumlah BUMD di Sumut oleh Kejaksaan.
9. Dody Rondonuwu, caleg DPD, dapil Kalimantan Timur, nomor urut 7, kasus: korupsi dana asuransi 25 orang anggota DPRD Kota Bontang periode 2000-2004 (saat itu Dody masih menjadi anggota DPRD Kota Bontang)
10. Emir Moeis, caleg DPD, Dapil Kaltim, nomor urut 8, kasus suap proyek pembangunan PLTU di Tarahan, Lampung, 2004
11. Irman Gusman, caleg DPD, Dapil Sumbar, nomor urut 7, kasus suap dalam impor gula oleh Perum Bulog
12. Cinde Laras Yulianto, DPD, Yogyakarta, nomor urut 3, kasus: korupsi dana purna tugas Rp 3 miliar.
Desak KPU Ungkap Data
ICW dalam pernyataannya menyebut Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI terkesan menutupi karena tidak kunjung mengumumkan status hukum para caleg tersebut.
Ketiadaan pengumuman status terpidana korupsi dalam DCS tentu akan menyulitkan masyarakat untuk berpartisipasi memberikan masukan dan tanggapan terhadap DCS secara maksimal. Terlebih, informasi mengenai daftar riwayat hidup para bakal caleg juga tidak disampaikan melalui laman KPU.
"Jika pada akhirnya pada mantan terpidana korupsi tersebut lolos dan ditetapkan dalam Daftar Calon Tetap (DCT), tentu probabilitas masyarakat memilih calon yang bersih dan berintegritas akan semakin kecil. Padahal hasil survei jajak pendapat yang dipublikasikan oleh Litbang Kompas menunjukan bahwa sebanyak 90.9% responden tidak setuju mantan napi korupsi maju sebagai caleg dalam Pemilu," tulid ICW dalam pernyataannya.
Hal ini berbeda dengan kondisi di Pemilu 2019, di mana KPU RI pada saat itu justru sangat progresif karena mengumumkan daftar nama caleg yang berstatus sebagai mantan terpidana korupsi. Artinya langkah KPU RI saat ini jelas sebuah langkah mundur, tidak memiliki komitmen antikorupsi dan semakin menunjukan tidak adanya itikad baik untuk menegakkan prinsip pelaksanaan pemilu yang terbuka dan akuntabel sebagaimana disinggung dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Ketidakberanian KPU RI ini semakin menambah rentetan kontroversi sejak awal penyelenggaraan tahapan pemilu," tulis ICW lagi.
Atas sejumlah persoalan ini Indonesia Corruption Watch mendesak agar KPU RI segera mengumumkan nama bacaleg, baik tingkat DPRD kota/kabupaten/provinsi, DPR RI, dan DPD RI yang berstatus sebagai mantan koruptor. (*)