Kisah Kelam Kerja Paksa Terusan Tano Ponggol yang Kini Disulap Jokowi Jadi Jembatan Megah di Danau Toba
SABANGMERAUKE NEWS, Sumut - Jembatan Aek Tano Ponggol di Kawasan Danau Toba (KDT) diresmikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersamaan dengan peresmian sejumlah proyek strategis lainnya di Sumatera Utara, Jumat (25/8/2023).
Jembatan sepanjang 382 meter tersebut menghubungkan sisi daratan dengan Pulau Samosir di Pangururan sebagai bagian dari Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Prioritas/ Destinasti Pariwisata Super Prioritas (DPSP).
Dengan panjang bentang utama 99 meter dan lebar 8 meter, proyek ini menghabiskan dana mencapai Rp 173 miliar dikerjakan oleh PT Wijaya Karya (Persero).
Pada jembatan utama terdapat 3 bentang, dengan bentang utama menggunakan struktur utama box girder. Sedangkan jembatan pendekat juga terdiri dari 3 bentang dengan struktur utama prestressed I girder.
Jembatan Aek Tano Ponggol adalah satu satunya akses darat untuk menuju Pulau Samosir yang berada di tengah Danau Toba. Proyek ini selesai digarap pada Desember 2022 silam.
Kisah Kelam Tano Ponggol
Penamaan jembatan ini berasal dari bahasa lokal setempat yakni suku Batak Toba. 'Tano' berarti tanah dan 'ponggol' bermakna patah. Terjemahan halus Tano Ponggol yakni tanah yang terpisah.
Jejak jembatan Tano Ponggol menyimpan sejarah kelam di masa lalu. Tidak seperti yang terlihat saat ini, Pulau Samosir berada di tengah-tengah Danau Toba, dulu sebenarnya ada daratan yang menghubungkan Pulau Samosir dengan wilayah sekitarnya.
Proyek Tano Ponggol dirintis oleh pemerintah kolonial Belanda. Sekitar tahun 1907, Belanda melakukan ekspansi secara massif menguasai Tanah Batak, khususnya di wilayah Samosir.
Belanda menetapkan kebijakan untuk membangun semacam terusan (kanal besar) sehingga memisahkan Pulau Samosir dengan daratan.
Disebutkan, kanal ini selesai dan diresmikan pada tahun 1913 oleh Ratu Wilhelmina sehingga sempat dijuluki Terusan Wilhelmina.
Tanah yang dikeruk bertujuan agar air Danau Toba berasal dari pesisir Silalahi dapat melewati Pangururan dan sebaliknya, sehingga kapal-kapal dapat mengelilingi Danau Toba.
Proyek ini dieksekusi dengan sistem rodi alias kerja paksa. Itu sebabnya, jembatan Tano Ponggol menjadi semacam saksi bisu penderitaan rakyat Samosir dari kolonial Belanda sekitat 120 tahun silam.
Dilansir pariwisatasumut.net, saat proyek Tano Ponggol di era penjajahan Belanda, para pekerja rodi diwajibkan menggali tanah sepanjang 1,5 kilometer dari daerah Sitanggang Bau hingga ke ujung lokasi Tajur.
Pengerjaan terusan ini dilakukan selama beberapa tahun melibatkan rakyat setempat di bawah pengawasan ketat tentara Belanda menggunakan senapan.
Namun, belum diketahui berapa jumlah korban rakyat yang meninggal dalam kerja paksa pembangunan Tano Ponggol ini.
Kini, Jembatan Tano Ponggol telah disulap menjadi jembatan yang megah dan merupakan salah satu ikon baru Pulau Samosir yang terus dipoles keindahannya.
Selain pembangunan jembatan tersebut, telah dilakukan pula pekerjaan pelebaran alur Tano Ponggol. Dari lebar semula 25 meter menjadi 80 meter sepanjang 1,2 km sehingga nantinya dapat dilewati oleh kapal pesiar.
Jembatan ini diyakini akan memikat para wisatawan datang ke Danau Toba untuk memulihkan kembali kunjungan wisatawan di era tahun 1990 lalu. Danau Toba kala itu mahsyur dan sangat dikagumi oleh turis mancanegara.
Namun, selama puluhan tahun, kemolekan Danau Toba ditinggalkan begitu saja. Faktor penyebabnya karena infrastruktur publik yakni jalan yang kerap rusak dan tak diperbaiki.
Di era pemerintahan Presiden Jokowi, Danau Toba kembali dibangkitkan. Kini, akses menuju Danau Toba kian baik. Apalagi, pemerintah tengah mengerjakan jalan tol Medan-Parapat yang membuat mobilitas kian cepat dan mudah. Sementara, jalan yang mengitari Pulau Samosir kini sudah mulus, tapi seperti kondisi belasan tahun silam. (*)