Gawat! PT Rifansi Dwi Putra Kontraktor PT Pertamina Hulu Rokan Dilaporkan ke KPK dan Kejagung, Terkait Dugaan Tanah Urug Ilegal
SabangMerauke News, Pekanbaru - Kasus dugaan pengambilan tanah urug (tanah timbun) diduga ilegal yang dipakai oleh PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) untuk keperluan operasional blok migas Rokan memasuki babak baru. Kasus tersebut kini sudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung dan Mabes Polri serta Kemenko Polhukam RI.
Adalah Lembaga Pencegah Perusak Hutan Indonesia (LPPHI) yang membawa kasus ini ke lembaga penegak hukum. LPPHI dalam laporannya tersebut menyeret PT Rifansi Dwi Putra (RDP) dan dua sub kontraktornya yakni PT Bahtera Bumi Melayu (BBM) dan PT Batatsa Tunas Perkasa (BTP).
BERITA TERKAIT: PT Pertamina Hulu Rokan Pakai Tanah Urug Dari Perusahaan Tambang Diduga Ilegal
Berdasarkan dokumen surat yang beredar, LPPHI melaporkannya ke KPK pada 28 Januari krmarin, disusul pelaporan ke Kejagung dan Kemenko Polhukam.
BERITA TERKAIT: Profil PT Rifansi Dwi Putra, Perusahaan Beken yang Terseret Kasus Tanah Urug Diduga Ilegal untuk Tapak Sumur Minyak Blok Rokan
LPPHI menyatakan telah melakukan investigasi, penghimpunan data dan peninjauan lapangan sebelum melakukan pelaporan.
"Benar, sudah kita laporkan," kata Ketua Umum LPPHI, Rafik SH kepada media, Sabtu (29/1/2022).
BERITA TERKAIT: Heboh Tanah Urug Ilegal untuk Tapak Minyak Sumur Blok Rokan, Diduga PT Rifansi Dwi Putra Pindah Lokasi Penggalian Tanah
Kasus dugaan tanah urug ilegal ini heboh dua pekan lalu. Namun, meski sudah menjadi isu besar tampaknya tidak ada aparat hukum yang mengambil tindakan keras terukur kendati lingkungan hidup sudah rusak akibat penggalian tanah, salah satunya dipakai untuk tapak (wellped) sumur minyak Blok Rokan. Blok migas terbesar di Indonesia ini sejak 9 Agustus 2021 lalu beralih pengelolaannya dari PT Chevron Pacifik Indonesia ke PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), anak perusahaan Pertamina.
BERITA TERKAIT: Demo Tanah Timbun Sumur Minyak Blok Rokan Diduga Ilegal di Kantor Pertamina: Copot Dirut PHR, Putuskan Kontrak PT Rifansi Dwi Putra!
Sebelumnya diwartakan, dua perusahaan pertambangan tanah yakni PT Bahtera Bumi Melayu (BBM) dan PT Batatsa Tunas Perkasa (BTP) disebut oleh Inspektur Tambang Kementerian ESDM Provinsi tidak memiliki izin lengkap alias beroperasi ilegal. Kedua perusahaan adalah rekanan PT Rifansi yang menjadi vendor PT PHR, bahkan sejak Blok Rokan masih dikelola oleh PT Chevron (CPI).
Pakar hukum pidana, Dr Muhammad Nurul Huda SH, MH menilai kasus usaha pertambangan ilegal yang menjerat PT Bahtera Bumi Melayu (BBM) dan PT Batatsa Tunas Perkasa (BTP) mestinya diusut secara pidana. Tak hanya untuk kedua perusahaan tersebut, namun pihak lain sebagai pengguna tanah urug (tanah timbun) yang diduga ilegal itu juga bisa diseret secara hukum.
"PT Rifansi Dwi Putra dan PT PHR dapat dikenakan sebagai penadah," terang Dr Muhammad Nurul Huda dalam keterangan tertulis kepada SabangMerauke News, Jumat pekan lalu.
Nurul Huda mendesak aktivitas penambangan tanah ilegal diusut oleh aparat hukum, khususnya kepolisian. Termasuk soal potensi adanya kerugian negara akibat tidak menerima pemasukan keuangan negara dari kegiatan penambangan tanah diduga ilegal yang dilakukan oleh kedua perusahaan tersebut.
"Pelakunya mesti diusut secepat mungkin. Jika dibiarkan bisa berdampak buruk bagi lingkungan. Untuk itu, harus ada upaya yang tegas dari penegak hukum untuk menindaknya," tegas Nurul Huda.
Adapun undang-undang yang bisa dikenakan terhadap perusahaan tersebut yakni pasal 160 Undang-undang nomor 3 tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa setiap orang yang mempunyai IUP pada tahap kegiatan eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar.
"PT Rifansi Dwi Putra dan PT Pertamina Hulu Rokan tak bisa lepas dari kasus ini. Harus juga ikut mempertanggungjawabkannya secara hukum. Aparat mestinya bertindak. Bisa dijerat sebagai penadah," tegas Nurul yang merupakan Direktur Eksekutif Formasi Riau ini.
Selain itu, mestinya Pertamina memberikan contoh ketegasan dalam kepatuhan terhadap hukum dan perundang-undangan. Apalagi, impian Pertamina go internasional seharusnya terwujud dari kepatuhan seluruh stakeholder kerja, termasuk para vendornya terhadap peraturan.
"Jadi jangan sekadar jargon saja. Seharusnya, kontrak kerja dengan vendor itu ditinjau ulang. Agar ada efek jerah. Ini kesannya terjadi pembiaran oleh PT PHR. Ini akan merugikan citra Pertamina sebagai perusahaan negara yang membiarkan terjadinya pelanggaran hukum dan undang-undang," tegas Nurul Huda.
Pihak PT Rifansi Dwi Putra sejak awal tak pernah memberikan keterangan dan klarifikasi soal tudingan pemanfaatan tanah urug diduga ilegal tersebut. Presiden Direktur PT Rifansi Dwi Putra, Ricky Sinambela tak kunjung membalas pesan konfirmasi yang dikirim SabangMerauke News sejak kasus ini heboh.
Sementara PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) mengaku telah memberikan teguran kepada mitra kerja (vendor) pemasok tanah urug untuk penimbunan area kerja sumur minyak Blok Rokan yang diduga ilegal. Anak perusahaan PT Pertamina itu tidak memberikan sanksi keras, meski diduga telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-undang oleh perusahaan yang melakukan penambangan tanah diduga ilegal dan pemanfaatan tanah urug oleh PHR diduga juga secara ilegal.
"Kami berikan teguran," terang Vice President Corporate Affairs PT PHR wilayah kerja Rokan, Sukamto Thamrin lewat pesan singkat kepada SabangMerauke News, Selasa (18/1/2022) lalu. (*)