Terus Dikeruk, Cadangan Nikel Indonesia Menipis
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mencatat cadangan nikel Indonesia semakin menipis dan dipastikan tidak bertahan lama. Hal itu karena produksi nikel digenjot untuk dalam negeri untuk menyuplai ke fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) yang kian menjamur di Tanah Air.
Oleh karena itu, Perhapi menyarankan kepada pemerintah untuk segera menyetop atau moratorium smelter nikel di dalam negeri. Khususnya untuk smelter nikel dengan fase satu.
Ketua Umum Perhapi Rizal Kasli mengatakan bahwa pihaknya sudah beberapa kali mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan moratorium smelter nikel.
"Kami beberapa kali usul dilakukan moratorium pembangunan smelter pirometalurgi karena menggunakan nickel ore kadar tinggi, saprolit, yang minim. Kalau digenjot terus, kita khawatir ketahanan cadangan nikel riskan," jelas Rizal, dikutip Selasa (8/8/2023).
Rizal menjelaskan, bijih nikel terbagi menjadi dua jenis. Pertama, bijih nikel kadar tinggi di atas 1,5% atau saprolit yang diproses melalui smelter pirometalurgi. Jenis kedua adalah bijih nikel kadar rendah atau limonit yang diproses melalui smelter hidrometalurgi atau High Pressure Acid Leaching (HPAL).
Khusus jenis saprolit, Rizal menjelaskan bahwa cadangannya tidak sebanyak limonit. Pihaknya memperkirakan bahwa umur cadangan saprolit di Indonesia paling lama hanya mencapai 7 tahun lagi. Ini dengan asumsi penyerapan bijih nikel kadar tinggi mencapai 460 juta ton per tahun.
"Kami kira apabila semua smelter terutama yang pirometalurgi selesai dibangun, cadangan saat ini bertahan sekitar 5-7 tahun, karena jumlah kebutuhan nikel 460 juta ton (per tahun) apabila semua smelter dibangun," bebernya.
Sedangkan, untuk jenis nikel kadar rendah atau limonit, Rizal mengatakan bahwa dengan cadangan yang ada saat ini bisa bertahan hingga 33 tahun ke depan. "Untuk limonit, data yang di bawah 1,5% kadarnya, untuk apabila semua refinery atau smelter hidrometalurgi selesai dibangun, bertahan sekitar 33 tahun kurang lebih," tandasnya.
Kabar terakhir, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga kini masih belum melakukan pembatasan pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) kelas dua yaitu untuk produk Nickel Pig Iron (NPI) dan Feronikel (FeNi).
Plt. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Muhammad Wafid mengatakan pihaknya hingga kini masih mempelajari rekomendasi dari Komisi VII DPR RI terkait pembatasan pembangunan smelter untuk produk NPI.
"Semua rekomendasi dari DPR tentu kita evaluasi lagi, semua kebijakannya yang terkait itu yang jelas kita melihat berapa sih sumber daya yang kita punya, berapa smelter yang mestinya bisa dibuat dan tentunya kita juga koordinasi dengan Kemenperin," ungkap Wafid saat ditemui di Gedung DPR RI, Kamis (8/6/2023).
Sementara itu, Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara Irwandy Arif mengungkapkan pembahasan terkait rencana pembatasan smelter nikel kelas dua sudah dilakukan antar kementerian. Adapun pelaksanaannya sendiri masih menunggu data data secara komprehensif.
"Mulai dari sumber daya, jumlah cadangan, serapan smelternya. Sebagai contoh misalnya sekarang ini kalau kita lihat NPI ditambah Fero Nikel itu kalau dijumlah keduanya kan gila-gilan itu, kalau semuanya terjadi," kata dia dalam diskusi Peningkatan Kapasitas Media Sektor Minerba, Rabu (8/3/2023).
Irwandy mencontohkan, untuk smelter NPI saja misalnya, dibutuhkan bijih nikel sebanyak 160 juta ton. Sementara apabila semua smelter kelas dua terbangun, maka kebutuhan untuk bijih nikel diperkirakan mencapai kurang lebih 450 juta ton.
"Akibatnya, jumlah cadangan nikel itu cuma 5,2 miliar ton, bisa bayangkan bagaimana cadangan cepat habis kalau eksplorasi dan penemuan baru gak ada. Jadi ini cukup kritis kondisinya kalau kita gak ambil satu langkah," kata dia. (*)