Utusan Pemerintah dan DPR Setuju Syarat Usia Capres-Cawapres 35 Tahun, Begini Respon Hakim MK
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - DPR dan pemerintah kompak memberikan sinyal setuju untuk mengubah batas minimal usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang diatur di UU Pemilu dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
Perwakilan DPR dan pemerintah memberikan keterangan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (1/8) ini. Dalam sidang tersebut, DPR diwakili oleh Anggota Komisi III DPR Fraksi Gerindra Habiburokhman dan pemerintah diwakili oleh Staf ahli Kementerian dalam Negeri (Kemendagri) Togap Simangunsong.
Habiburokhman lebih dulu memberikan keterangan. Awalnya, dia menjelaskan pembatasan minimal usia capres dan cawapres penting agar orang yang akan menduduki jabatan tersebut bisa menjalankan tugas dan kewajibannya secara bijak kepada masyarakat dan bangsa dan negara
Dia mengatakan batasan minimal usia itu juga berguna sebagai parameter untuk menentukan seseorang dengan batas usia tertentu dianggap sudah memiliki kapasitas atau kemampuan baik dari segi intelektualitas, spiritualitas, dan emosi.
Dia meyakini reformasi birokrasi dituntut bisa menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat dalam lingkup nasional maupun global. Oleh sebab itu, kata dia, dibutuhkan pemimpin yang mumpuni dan berpengalaman.
"Banyaknya tantangan dan kompleksitas yang harus dihadapi dalam memimpin negara dengan luas wilayah dan penduduk demikian besar, tentu tidak dibutuhkan yang memiliki pengalaman buruk sebagai penyelenggara negara," ujarnya.
Habiburokhman menyampaikan penetapan batas usia minimal untuk jabatan dalam pemerintahan merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy. Namun, dalam beberapa putusan MK, terdapat pergeseran pendirian.
Dari beberapa putusan MK, dia melihat mahkamah akan mengubah batasan usia yang telah berlaku jika dalam keadaan yang mendesak atau sangat penting. Beberapa yang menjadi pertimbangan Mk untuk mengubah itu yakni jika aturan saat ini jelas melanggar nilai moralitas, bertentangan dengan hak politik hingga melanggar UUD 1945.
Meski demikian, Habiburokhman menjelaskan beberapa pertimbangkan yang mengisyaratkan sinyal persetujuan batas usia minimal cawapres diubah. Pertama, dia memaparkan terkait bonus demografi dan kesempatan anak muda menduduki jabatan tinggi di sebuah negara.
Dia menyebut berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS), Indonesia memasuki masa bonus demografi dengan periode puncak antara 2020-2030. Dia berkata penduduk usia produktif yang lebih banyak itu akan berperan banyak dalam pembangunan negara.
"Jumlah penduduk produktif menyediakan sumber tenaga kerja, pelaku usaha dan konsumen potensial yang sangat berperan dalam percepatan pembangunan," kata dia.
"Sebab itu penduduk usia produktif dapat berperan serta dalam pembangunan nasional di antaranya untuk mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres," lanjutnya.
Sinyal kedua yang diungkapkan oleh Habiburokhman yaitu dengan membeberkan banyak negara yang juga menerapkan batas usia minimal capres dan cawapres 35 tahun.
"Mengacu pada aturan yang ada di berbagai negara di dunia yang mengatur syarat usia minimal pencalonan capres cawapres 45 negara di dunia memberikan syarat minimal 35 tahun," katanya.
Hal serupa juga disampaikan perwakilan pemerintah. Togap mengatakan jika berdasarkan ketentuan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 menyatakan setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
"Mengandung makna bahwa siapapun WN memiliki hak yang sama untuk mengabdikan diri dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan memerhatikan penalaran logis atas kemampuan melaksanakan tugas-tugas kenegaraaan," kata Togap dalam sidang.
Lebih lanjut, Togap mengatakan UUD 1945 tidak menentukan batas usia minimum tertentu sebagai kriteria yang berlaku umum untuk jabatan pemerintahan. Aturan itu diserahkan kepada pembentuk undang-undang.
"Mungkin saja batas usia bagi keikutsertaan WN dalam jabatan/aktivitas pemerintahan diubah sewaktu-waktu oleh pembentuk UU sesuai kebutuhan perkembangan yang ada. Hal itu sepenuhnya kewenangan pembentuk UU yang tidak dilarang," ucapnya.
Namun, baik DPR maupun pemerintah mengaku menyerahkan sepenuhnya kepada hakim Mahkamah Konstitusi. Keterangan dari DPR dan pemerintah itu direspons hakim konstitusi Saldi Isra. (*)