Indonesia Berpotensi Alami Kiamat Makanan, Ternyata Ini Penyebabnya
SABANGMERAUKE NEWS, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan Indonesia masih dihantui dengan ketidakpastian harga-harga komoditas memasuki paruh kedua tahun ini. Khususnya soal pasokan komoditas bahan makanan.
Salah satunya akibat fenomena el-nino ditambah dengan penangguhan Kesepakatan Biji-bijian Laut Hitam atau Black Sea Grain Initiatives yang telah diumumkan Rusia pada Senin (17/7/2023) imbas dari tensi perang di Ukraina.
"Dan ini berarti pada paruh kedua tahun ini kita akan sangat dipengaruhi ketidakpastian dari komoditas, hampir mirip seperti 2022, ditambah dengan nanti el nino, ini menjadi sesuatu yang harus kita waspadai pada paruh kedua 2023 ini," ucap Sri Mulyani dalam acara Penyerahan Insentif Fiskal Kinerja Pengendalian Inflasi Daerah di Jakarta, Senin (31/7/2023).
Sri Mulyani mengatakan, permasalahan itu akan berpengaruh terhadap Indonesia karena bahan pangan Indonesia masih dipengaruhi oleh produk panganan yang termasuk dalam Black Sea Grain Initiatives, seperti gandung hingga biji bunga matahari.
"Siapa yang pagi tadi sarapannya nasi atau roti atau bakmi atau makanan lain. Kalau ada kandungan wheat berarti anda mengambil atau mendapatkannya most likely dari Ukraina dan Juli lalu Rusia mengakhiri perjanjian untuk distribusi di laut hitam yg merupakan lalu lintas dari wheat termasuk sunflower," ungkapnya.
Oleh sebab itu, ia memastikan, berbagai komoditas yang terkait dengan perjanjian itu akan mengalami lonjakan harga seperti pada 2022, di antaranya yang paling terhubung dengan Indonesia adalah minyak mentah kelapa sawit atau CPO yang berimplikasi langsung ke harga minyak goreng.
"Tapi kalau sunflower enggak keluar dari Ukraina harga minyak goreng melonjak tinggi, makanya CPO kita pasti kena. Mengingatkan juga maka waktu itu krisis minyak goreng terjadi pada 2022 pada saat awal dari perang di Ukraina, ini yang saya sampaikan bahwa fenomena global akan mempengaruhi dan merembes ke seluruh negara di dunia, termasuk di Indo yang harus kita waspadai," tegas Sri Mulyani.
Dengan kondisi ini, ia memastikan persoalan inflasi di tingkat global belum akan berakhir, meski trennya sudah menuju pada normalisasi. Dengan belum pulihnya daya beli secara global itu ia memastikan tren perdagangan global belum akan membaik.
"Jadi masalah inflasi belum selesai, kita lihat kalau inflasi tinggi akan sebabkan banyak komplikasinya inflasi menggerus daya beli masyarakat dan oleh karena itu sebabkan demand turun. Kalau permintaan turun, maka kegiatan produksi juga akan mulai menurun," ucapnya.
Bagi Indonesia sendiri, ia memastikan dari sisi inflasi di Indonesia dan perkembangan ekonomi makro secara keseluruhan masih sangat baik, ditandai dengan angka inflasi pada Juni 2023 yang terkendali di kisaran sasaran 3,5 persen secara tahunan dan pertumbuhan ekonomi masih di atas 5% atau tepatnya 5,03% pada kuartal I-2023.
"Karena kita tahu inflasi waktu itu berasal karena harga wheat gara-gara perang, karena distribusi tidak lancar, panen yang gagal, ada kondisi perdagangan dunia yang terdisrupsi, maka Indonesia kemudian mengatasi inflasi tidak hanya tergantung atau mengandalkan BI dengan menaikkan suku bunga tinggi," tegas Sri Mulyani.
Keberhasilan Indonesia mengendalikan inflasi sejauh ini menurutnya karena cara yang tidak konvensional dan ortodoks, yaitu mengendalikan inflasi sisi produksi, distribusi, dan logistik, bukan berdasarkan masalah dari sisi permintaan yang melaju tinggi akibat jumlah uang beredar yang banyak.
"Ini upaya luar biasa, waktu saya menyampaikan keberhasilan, itu banyak negara-negara G20 yang kemudian melihat oh caranya kayak gitu, karena saya sampaikan Indonesia negara besar, geografinya besar, populasinya besar, jadi kalau kita cerita kita itu kredibel," tutur Sri Mulyani. (*)